Riak pemberitaan gempa bermagnitudo 7,1 di Miyazaki, Jepang pada 8 Agustus 2024 lalu memunculkan kekhawatiran akan kejadian serupa di Indonesia. Gempa ini berasal dari zona megathrust di Palung Nankai di selatan Jepang. Megathrust adalah jenis patahan besar yang terbentuk di sepanjang batas subduksi, pertemuan lempeng dunia di mana lempeng samudera yang lebih padat terdorong di bawah lempeng benua atau lempeng samudera lainnya.
Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan sebagai wilayah pertemuan lempeng dunia. Jepang adalah pertemuan lempeng Eurasia, Okhotsk (Amerika Utara), Pasifik, dan Filipina, sedangkan Indonesia adalah pertemuan dari lempeng Eurasia, Indo-Australia, Filipina, dan Pasifik.
Wilayah ini merupakan zona aktif gempabumi, tsunami, dan letusan gunung api. Gempa di zona megathrust ini memiliki karakteristik bermagnitudo besar dan menghasilkan tsunami (tsunamigenic). Gempa – tsunami Aceh 2004 dan Gempa – tsunami Tohoku 2011 adalah dua contoh kejadian gempabumi di zona megathrust.
Dalam seismologi, megathrust dibagi menjadi segmen-segmen berdasarkan kondisi fisik dan/atau kejadian gempanya. Masing-masing segmen berpotensi menghasilkan gempa besar dengan magnitudo maksimum yang bervariasi. Informasi mengenai segmen ini sangat bergantung kepada catatan gempa di masa lalu.
Wilayah Indonesia memilki pencatatan kegempaan yang relatif masih pendek, dengan catatan historis gempa Indonesia baru dapat ditelusuri hingga abad ke-16 pada era kolonial Belanda dan sebagian catatan peristiwa gempa memiliki missing pieces (Martin et al., 2022). Hal ini menghasilkan informasi pola kegempaan di Indonesia yang belum dapat diketahui utuh dibandingkan dengan Jepang, yang telah memliki catatan gempa hingga sejauh abad ke-7 dengan informasi esensial yang lebih lengkap (Garrett et al., 2016).
Implikasi catatan historis gempa yang terbatas akan segmen megathrust di Indonesia adalah terdapatnya beberapa segmen yang belum ditemukan pola kejadiannya. Sebagai contoh, segmen Selat Sunda dan segmen MentawaiSiberut. Kedua segmen ini ditandai sebagai Seismic Gaps.
Seismic Gap adalah wilayah yang tidak pernah atau belum menghasilkan gempabumi besar padahal berada pada zona seismik aktif. Ada dua wilayah Seismic Gap di Indonesia: selatan Selat Sunda dan pesisir Sumatera Barat. Berdasarkan data observasi diketahui belum ada gempabumi besar yang bersumber dari segmen ini dalam dua abad terakhir (Supendi et al., 2023).
Gempabumi besar terakhir di Selat Sunda diperkirakan sekitar tahun 1757 dengan estimasi kekuatan M7.5, sedangkan gempabumi besar terakhir di segmen Mentawai-Siberut tercatat pada tahun 1797 dengan kekuatan mencapai Mw 8.5 (Daryono (BMKG)).
Mengapa ketiadaan gempa bumi selama 2.5 abad tidak diabaikan saja? Sebagai sebuah sistem pengumpulan – pelepasan energi, semakin besar magnitudo gempa, maka semakin besar energi yang dikeluarkan. Semakin besar energi gempa, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan energi tersebut sebelum akhirnya dilepaskan dalam bentuk gempa.
Sehingga saat terjadi gempa besar seperti gempa Aceh 2004 M9.2, gempa Nias 2005 M8.7, atau gempa Bengkulu 2007 M8.4, maka segmen dari masing-masing gempa tersebut “telah melepaskan” akumulasi energi bumi yang terkumpul cukup lama.
Ada mekanisme lain yang dapat menjelaskan Seismic Gap tersebut. Suatu segmen palung dapat mengeluarkan energi nya sedikit demi sedikit setiap waktu sehingga menghasilkan pergerakan yang terekam sebagai gempa sangat kecil (Widiyantoro et al., 2020). Mekanisme ini disebut dengan rayapan (creeping) dan slow slip events (SSE).
Mengacu pada Gambar 5, segmen Selat Sunda dan MentawaiSiberut sering mengeluarkan gempa-gempa kecil. Gempa-gempa kecil ini juga terjadi di segmen lain yang pernah mengeluarkan gempa besar, sehingga tidak menutup kemungkinan gempa besar akan terjadi di segmen Selat Sunda dan Mentawai. Misteri yang masih ingin diungkap para peneliti adalah mekanisme segmen Seismic Gap dalam mengumpulkan energi. Belum ada metode atau teknologi yang dapat memperkirakan kapan energi tersebut akan dirilis sebagai gempa, sehingga kita kembali menggarisbawahi bahwa gempa belum dapat diprediksi.
Wilayah Seismic Gap tentu harus menjadi perhatian perusahaan asuransi umum Indonesia karena berpotensi menimbulkan kerugian. Sebagaimana mandatnya, MAIPARK melakukan serangkaian penelitian terkait topik ini. Pada tahun 2020 MAIPARK bekerjasama dengan ITB telah memodelkan skenario gempabumi dan tsunami dari Seismic Gap megathrust selatan Jawa. Pada skenario kejadian terburuk, tinggi tsunami berpotensi mencapai 20 meter di beberapa wilayah terdampak. Penelitian ini sudah
dipublikasikan di Jurnal Q1 dunia, Scientific Reports Nature.
Penelitian lain yang akan dilakukan MAIPARK adalah pemodelan time-dependent gempabumi. Berbeda dengan model gempa yang umum, model ini menghitung peluang kejadian gempabumi di masa depan berdasarkan selang waktu kejadian terakhir pada suatu sumber gempabumi. Pendekatan ini lebih reflektif terhadap sifat alamiah gempabumi. Pada gilirannya ini akan menjadikan tariff asuransi gempabumi Indonesia menjadi lebih tepat.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News