1
1

Mencermati Efek Gejolak Global bagi Bisnis Asuransi

Ilustrasi Industri Asuransi. | Foto: freepick

Ekonomi global tampaknya akan kembali menghadapi ‘badai’ yang berpotensi menyeret ke dalam jurang krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat tajam dan tingkat inflasi berada pada level tertingginya dalam beberapa dekade terakhir. Sejumlah negara pun terancam bangkrut. Bahkan Pemerintah Sri Lanka telah mengangkat bendera putih dan menyatakan bangkrut setelah gagal membayar utang luar negerinya.

Lalu bagaimana prospek bisnis asuransi di tengah gonjang-ganjing ekonomi global? Riset terbaru Swiss Re Institute yang termaktub dalam Sigma kuartal IV/2022 memperkirakan total premi asuransi global pada tahun ini masih bertumbuh yaitu akan menembus angka US$7 triliun atau level tertinggi dalam sejarah. Angka ini tumbuh sekitar 6,1 persen baik untuk premi asuransi jiwa maupun asuransi umum. Sebagai catatan, pada tahun 2021 total premi asuransi global yang dicatatkan adalah US$6,86 triliun atau naik 9 persen dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar US$6,29 triliun.

Perhitungan premi tersebut didasarkan pada pemulihan pasar yang kuat dari posisi terendah yang disebabkan oleh pandemi, berlanjutnya rate hardening di asuransi umum akibat inflasi, dan pertumbuhan premi yang lebih kuat di pasar negara berkembang. Menurut Kepala Ekonom Grup Swiss Re, Jerome Jean Haegeli, asuransi tetap akan menjadi industri yang berkembang ke depannya. Namun, dia mengingatkan kepada perusahaan asuransi agar tetap mengawasi tren inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Pasalnya, inflasi tinggi dan perlambatan ekonomi akan membebani pasar asuransi. Perlambatan ekonomi biasanya akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap asuransi, sedangkan inflasi tinggi akan memicu kenaikan biaya klaim terutama di asuransi umum. Menurut Swiss Re, asuransi properti dan motor diperkirakan lebih cepat terdampak. Untuk konstruksi, peningkatan klaim akan dipicu oleh peningkatan biaya perbaikan dan pembangunan akibat gangguan pasokan dan kekurangan tenaga kerja. Sementara itu, kekurangan suku cadang akan menyebabkan kenaikan biaya klaim pada asuransi motor. Lini kecelakaan diri, motor liability, dan general liability juga bakal terdampak tingginya inflasi yang berpengaruh terhadap klaim cedera tubuh.

Dalam rangka mengatasi situasi kenaikan biaya klaim tersebut, Swiss Re menyarankan perusahaan asuransi untuk memahami pendorong inflasi, melakukan tindakan pada neraca, dan pengelolaan cadangan yang sesuai.

Meski berdampak negatif terhadap premi dan biaya klaim, krisis inflasi akan mendorong return investasi pada portofolio obligasi yang dimiliki oleh perusahaan asuransi.

Di asuransi umum, tingginya eksposur inflasi dan rate hardening dinilai akan mendorong pertumbuhan premi terutama di Amerika Utara dan Eropa. Secara riil, premi diperkirakan naik sebesar 0,8 persen pada tahun ini dan 2,2 persen pada tahun 2023 yang sebagian besar ditopang oleh berlanjutnya rate hardening terutama di lini komersial.

Pertumbuhan premi di negara berkembang pada tahun ini diperkirakan melampaui pertumbuhan di negara maju yaitu 3 persen pada 2022 dan 4,2 persen pada 2023. Penggeraknya adalah permintaan yang kuat untuk asuransi kesehatan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat di tengah pendemi.

Meski diuntungkan dari sisi peningkatan premi, asuransi umum akan mendapatkan tekanan dari sisi profitabilitas. Swiss Re memperkirakan Return on Equity (ROE) asuransi umum akan berkisar 5 persen-6 persen pada 2022 atau turun dari 6 persen pada 2021. Namun kondisinya akan membaik pada 2023 dengan rebound menjadi 6,6 persen seiring dengan membaiknya hasil underwriting dan investasi.

Di asuransi jiwa, pendapatan premi global diperkirakan terkontraksi sebesar 0,2 persen secara riil pada tahun ini. Premi dari saving plan yang mewakili lebih dari tiga perempat lini asuransi jiwa kemungkinan akan menderita akibat kondisi pasar keuangan yang bergejolak dan turunnya pendapatan yang dapat dibelanjakan. Namun, peningkatan kesadaran risiko pascapandemi diperkirakan mendorong permintaan untuk produk proteksi. Lebih lanjut, kenaikan suku bunga akan mendukung permintaan pada produk saving plan.

Swiss Re melihat premi asuransi jiwa akan naik 1,9 persen pada 2023 dengan peningkatan di pasar maju dan berkembang. Sementara itu, prospek profitabilitas asuransi jiwa pada tahun ini akan berasal dari kenaikan suku bunga. Adapun tingkat klaim akan berangsur mereda seiring dengan penyesuaian dunia terhadap pandemi.

Dalam skala global, posisi Amerika Serikat tercatat menguasai pasar asuransi global pada 2021 dengan premi US$2,72 triliun dan market share 39 persen. Posisi lima besar lainnya diisi oleh China, Jepang, Inggris, dan Prancis. Sementara itu, Indonesia berada di posisi ke-34 dengan total premi US$19,42 miliar dan market share 0,28 persen. Posisi Indonesia ini berada di bawah Thailand dan Malaysia yang mencatatkan total premi masingmasing US$27,61 miliar dan US$19,71 miliar.

Di tengah kondisi ekonomi global yang masih dalam ketidakpastian ini tentu menuntut pelaku industri asuransi nasional agar tetap waspada, disiplin, dan berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya.  Achmad Aris

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Agen Asuransi Masih Dibutuhkan?
Next Post Pasar Modal Jadi Barometer Perekonomian Indonesia Terkini

Member Login

or