Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum mereda, Indonesia harus menghadapi serentetan bencana alam pada awal tahun 2021. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sejak 1 Januari 2021 hingga 2 Februari 2021 terdapat 387 kejadian bencana, mulai dari banjir, puting beliung,
tanah longsor, gempa bumi, hingga gelombang pasang.
Jika melihat tren sejak tahun 2016-2020, rata-rata setiap tahun terjadi kejadian bencana sebanyak 2.815 kejadian. Jumlah yang tidak sedikit tentunya, apalagi setiap kejadian pasti menimbulkan korban jiwa dan kerusakan atas harta benda dan fasilitas umum. Tingginya kejadian bencana alam tersebut tidak terlepas dari posisi wilayah Indonesia yang terletak di antara Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik yang membentang dari Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatra, Himalaya, Mediterania, dan berujung di Samudra Atlantik.
Kondisi geografis tersebut membuat wilayah Indonesia sangat rawan terjadi bencana letusan gunung api, gempa bumi, dan tsunami. Belum lagi bencana alam yang ditimbulkan akibat perilaku buruk manusia yang mengeksploitasi kekayaan bumi tanpa mempedulikan kelestarian alam sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan longsor. Ditambah lagi bencana nonalam seperti pandemi Covid-19 yang saat ini masih belum usai.
Sayangnya, potensi kerawanan bencana yang nyata tersebut belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai sebuah risiko yang harus diasuransikan. Saat ini, kesadaran untuk mengasuransikan harta benda dari risiko kerugian akibat bencana alam masih sangat rendah. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencatat penetrasi asuransi bencana alam saat ini masih terbilang kecil meskipun ada peningkatan 0,5 persen sepanjang 2020.
Padahal, dengan mengasuransikan harta benda, kerugian material yang terjadi akan diganti oleh perusahaan asuransi. Dan bila ditambahkan dengan asuransi jiwa, keluarga atau ahli waris yang ditinggalkan akan mendapatkan pembayaran klaim sesuai polis yang dibeli.
Praktik di industri perasuransian Tanah Air, pertanggungan atas risiko kerugian akibat bencana alam umumnya merupakan bagian dari perluasan manfaat yang dibundel dengan produk asuransi umum seperti asuransi properti, asuransi harta benda, asuransi kendaraan bermotor, asuransi rekayasa, asuransi pengangkutan barang, asuransi peralatan elektronik, dan lainnya. Pesertanya pun kebanyakan pelaku usaha besar dan masyarakat menengah atas.
Di pihak lain, pelaku UMKM yang jumlahnya mencapai 64,2 juta atau 99,99 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia, masih belum tergarap maksimal. Nilai premi untuk perlindungan bencana yang dianggap mahal sering menjadi alasan rendahnya penetrasi asuransi bencana kepada pelaku UMKM.
Alhasil, setiap terjadi bencana alam dengan pelaku UMKM menjadi korbannya, pemerintah harus turun tangan memberikan bantuan yang diambil dari kas negara. Ujungnya, kas negara tekor alias defisit karena dana kedaruratan yang dianggarkan seringkali tidak mencukupi kebutuhan penanganan bencana akibat besarnya kerugian yang dialami alias financing gap yang besar.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat selama periode 2005-2017, pemerintah rata-rata mengalokasikan dana cadangan bencana sebesar Rp3,1 triliun. Akan tetapi, rata-rata kerugian ekonomi langsung per tahun akibat bencana pada periode 2000-2017 adalah sebesar Rp22,8 triliun. Artinya, terdapat gap pembiayaan sebesar Rp19,75 triliun atau 78 persen. Contoh paling mutakhir adalah bagaimana defisit APBN harus diperlebar hingga 6 persen untuk menanggulangi pandemi Covid-19 yang ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.
Oleh karena itu, dalam penanganan bencana alam dan nonalam, pemerintah sudah seharusnya melibatkan perusahaan asuransi melalui mekanisme yang terintegrasi dalam rangka menjaga keseimbangan anggaran negara dan peningkatan kapasitas industri asuransi. Bahkan, AAUI menilai sudah saatnya pemerintah memasukkan unsur asuransi sebagai bagian dari mitigasi bencana agar tidak lagi mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Revisi UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah momentum yang tepat untuk memasukkan mitigasi risiko bencana melalui asuransi.
Langkah mitigasi risiko bencana melalui asuransi sudah diterapkan oleh sejumlah negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana alam yang tinggi yaitu Jepang, Turki, dan Taiwan. Jepang memiliki Japan Earthquake Reinsurance yang menangani asuransi untuk rumah hunian hewan, Turki memiliki Turkey Catastrophe Insurance Pool, dan Taiwan memiliki Taiwan Residential Earthquake Insurance Fund.
Jadi, apakah masih mau tergagap-gagap dalam menghadapi setiap bencana?. Achmad Aris