Site icon Media Asuransi News

Teknologi Digital: Antara Kebutuhan dan Keamanan

    Kegiatan bisnis sekarang ini tampaknya sulit untuk terlepas dari penggunaan teknologi digital. Baik untuk promosi, penjualan, maupun untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Tak terkecuali dalam bisnis jasa keuangan. Termasuk di Indonesia, tentunya.
Tapi penggunaan teknologi digital dalam kegiatan bisnis, termasuk jasa keuangan, ternyata mesti mempertimbangkan aspek keamanan atau security. Karena, penggunaan teknologi digital ini tampaknya bisa rentan dari serangan kejahatan siber (cyber crime).
Suatu survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers (PwC), salah satu kantor akuntan publik terbesar di dunia, yang bertajuk PwC Global Investor Survey 2018 mengungkapkan bahwa investor, analis dan pemimpin bisnis (eksekutif) ternyata secara bersamaan menganggap cyber security merupakan hal yang prioritas dalam pandangan mereka.
Menurut hasil survei PwC tersebut, 41 persen investor dan analis menyatakan sangat prihatin dengan ancaman siber (cyber threats) yang dianggap sebagai ancaman terbesar bagi perusahaan atau bisnis. Ini berarti ancaman siber tersebut, bagi para investor dan analis, naik ke posisi pertama dibanding hasil survei yang sama pada 2017. Sedangkan bagi para eksekutif bisnis, walaupun 40 persen menyatakan ancaman siber sebagai salah satu ancaman dari tiga ancaman yang besar, tapi mereka menempatkan terlalu banyaknya regulasi (over-regulation) dan terorisme lebih tinggi dari ancaman siber dalam survei global ini.
Untuk meningkatkan kepercayaan nasabah atau pelanggan, para investor menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan haruslah memprioritaskan investasi dalam perlindungan keamanan siber (cyber security protection), sebagaimana pernyataan investor sebanyak 64 persen dan CEO sebanyak 47 persen dalam survei ini.
Yang menarik, baik investor maupun CEO dalam survei PwC 2018 ini lebih optimistis dengan prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari pada tahun lalu. Sebanyak 54 persen dari investor yang disurvei yakin pertumbuhan ekonomi global tahun ini lebih baik, yang berarti naik sembilan persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan CEO lebih optimistis, yaitu 57 persen menyatakan pertumbuhan ekonomi global membaik pada 2018, yang berarti lebih banyak yang optimistis dibandingkan tahun lalu.
Terlepas dari optimisme dari investor dan CEO mengenai prospek pertumbuhan ekonomi global yang membaik pada 2018 ini, sebagaimana diungkapkan dalam PwC Global Investor Survey 2018, tapi ancaman siber masih merupakan hal yang perlu diperhatikan. Karena, kerugian yang diderita perusahaan karena kejahatan siber (cyber crime) mendekati 600 miliar dolar atau 0,8 persen dari global pendapatan domestik bruto (GDP), dan perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik diperkirakan menderita kerugian 380 miliar dolar atau 0,9 persen dari regional GDP.
Angka kerugian bagi perusahaan-perusahaan karena kejahatan siber tersebut terungkap dari hasil kajian yang dilakukan oleh perusahaan keamanan siber McAfee dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Laporan yang bertajuk “Economic Impact of Cyber Crime – No Slowing Down” yang diterbitkan pada akhir Februari 2018 ini menyatakan bahwa kerugian yang diderita perusahaan-perusahaan akibat kejahatan siber saat ini lebih besar ketimbang kerugian pada 2014 yang sebesar 445 miliar dolar, di mana perusahaan-perusahaan di kawasan Asia Pasifik saat itu rugi sebesar 180 miliar dolar.
Menurut kajian McAfee dan CSIS ini, cyber crime ini termasuk di antaranya: hilangnya kekayaan intelektual dan informasi bisnis yang rahasia, kejahatan online dan kejahatan keuangan yang seringkali merupakan hasil dari dicurinya informasi data pribadi dan rusaknya reputasi serta risiko tanggung gugat.
Dunia digital memang telah mengubah hidup kita, kata salah seorang eksekutif di McAfee. Tapi, ia mengingatkan, hal tersebut termasuk risiko dan kejahatan, yang membantu kejahatan lebih efisien, lebih menguntungkan dan lebih mudah untuk dilakukan dibandingkan sebelumnya. Mucharor Djalil

Exit mobile version