Site icon Media Asuransi News

Memiliki dan Merawat VW Klasik Sensasi yang Sulit Diungkapkan

    Memiliki mobil klasik Volkswagen atau biasa disingkat VW, menjadi obsesi sebagian orang. Ada yang ingin selalu mengendarai mobil ini, ada pula yang ingin menjadikannya sebagai koleksi. Bentuknya yang unik menjadikan mobil ini banyak digemari berbagai kalangan, termasuk eksekutif di lembaga keuangan. Karena termasuk barang vintage, tentu sejarah mobil lawas ini juga menjadi menarik untuk dikenang dan diperbincangkan.

    Selain sebagai mobil koleksi, VW klasik ternyata juga dapat dijadikan sebagai obyek investasi. Jika dirawat dengan telaten dan dijaga orisinilitasnya, dapat menjadi incaran para hunter atau kolektor. Pastinya dengan penawaran menggiurkan. Semakin tua dan antik akan memiliki nilai jual kian tinggi.

   Hal ini juga yang menjadi pertimbangan Direktur Keuangan PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) Drajat Irwansyah yang memiliki beberapa VW klasik. Pria kelahiran Jayapura 52 tahun silam ini, pertama kali menyukai VW di tahun 1990, meski saat itu masih minim pengetahuan tentang mobil tersebut. Kepada Media Asuransi, Drajat mengaku memang menyukai kendaraan klasik. VW Klasik ini langsung menjadi tambatan hati sejak awal menemukannya. VW pertama yang dimiliki adalah jenis VW Kodok tahun 1957 dengan bentuk kaca belakang besar. “Ada cerita terkait kaca mobil itu yang karetnya harus diganti. Waktu memesan kaca pengganti ternyata yang datang malahan karet kaca kecil,” kenangnya.

   Dari situ terbersit dalam pikiran Drajat untuk memiliki VW Kodok dengan bentuk kaca kecil. Akhirnya bukan karet kaca yang diganti, tapi hunting VW Kodok yang bentuk kacanya kecil. Dia menemukan yang lebih antik lagi, yaitu VW Kodok Oval Ragtop keluaran 1953 yang atapnya dapat dibuka (convertible).

   Seiring perjalanan waktu, Drajat berkeinginan memiliki VW Sliding Roof keluaran tahun 1967, namun yang didapat malahan VW Combi Camper atau VW Dakota produksi 1966. VW Dakota diperoleh tahun 1994 dengan harga sekitar Rp10 jutaan. Mobil ini terus dirawat dengan baik sehingga masih mulus dan orisinil. Keunikan dari kendaraan antik ini adalah atapnya bisa dinaikkan cukup tinggi dan jendelanya masih memakai kaca nako. Begitu juga kaca depan dapat dibuka dengan mendorong ke depan. Dia mengklaim jenis VW miliknya ini satu-satunya di Indonesia. Untuk kendaraan ini, dirinya mengaku bahwa improvisasi terhadap reparasi mobil ini sangat tinggi. “Saya juga pernah memiliki VW Combi High Roof. Sesuai namanya, jenis mobil Leisureini memiliki atap tinggi, sehingga orang dewasa bisa berdiri di dalam mobil. Mobil VW ini dulunya pernah dipergunakan sebagai ambulance di sebuah rumah sakit,” kisah Drajat.

   Drajat menceritakan, dirinya juga terobsesi memiliki VW Karmann Ghia yang memiliki bentuk berbeda dari VW lainnya. Selain bentuknya yang klasik, body mobil lawas ini ada nuansa sport-nya. Saat ini Drajat memiliki dua unit VW Karmann Ghia, yakni satu VW Karmann Ghia convertible yang atapnya dapat dibuka dan satu lagi VW Karmann Ghia hardtop atau dengan atap tertutup. Keduanya keluaran tahun 1969.

   Sekalipun semua koleksi VW-nya keluaran di bawah tahun 1970-an, Drajat masih sering mengendarainya, bahkan untuk perjalanan jauh sekalipun. Malahan baru-baru ini dirinya outing bersama keluarga ke Yogyakarta dengan Karmann Ghia kesayangannya. Terkadang dia memakai salah satu koleksi langkanya itu ke kantor. “Mobil ini boleh-boleh saja dipakai setiap hari, namun rasanya sayang sekali. Kalau di bagasi, koleksi VW saya posisikan di paling dalam agar tidak kehujanan dan kepanasan,” ungkapnya pada Media Asuransi beberapa waktu lalu.

    Soal perawatan, Drajat tidak mau ambil risiko dengan menyerahkan ke sembarang bengkel. Servis rutin mobil klasiknya diserahkan kepada bengkel langganannya di daerah Serpong, Tangerang. Semua VW koleksinya tidak menggunakan radiator layaknya mobil saat ini. Sebagai pendingin mesin semuanya memakai sistem pendingin udara dan oil cooler.

    Pengalaman unik yang pernah dirasakan Drajat saat mengendarai mobil VW Kodoknya, adalah saat ‘berlari’ stabil tiba-tiba ban mobil yang dikendarai copot tanpa sadar. “Karena memang sudah tua, barangkali sebagian materialnya sudah aus termasuk mur di ban. Akhirnya mobil sedang jalan, ban-nya malah mengglinding sendiri. Kalau diingat-ingat mirip kejadian di film Dono Kasino Indro, atau Mr Bean, …he… he…,” ujarnya dengan terkekeh.

   Senang merawat VW Klasik juga dirasakan oleh Head of Corporate Affairs PT Bank Muamalat Indonesia Tbk (Bank Muamalat) Hayunaji. Pria yang biasa dipanggil Iyun itu, memiliki VW Kodok jenis Beetle 1200 lansiran tahun 1961. Mobil tersebut warisan kakeknya, Prof Dr Slamet Iman Santoso yang dibeli dari PT Piola sebagai agen tunggal dan importir mobil Volkswagen rentang tahun 1950-1970-an. Setelah dari kakeknya, mobil yang lahir di negara Adolf Hitler tersebut turun kepada paman Iyun dan akhirnya jatuh ke tangan dia tahun 1989.

   Iyun melanjutkan, dulu itu di rumah ada tiga unit VW yang diwariskan sang kakek. “Saat ini dipegang oleh sepupu, kakak, dan saya sendiri. Sejak tahun 1989 hingga saat ini mobil tersebut masih nyaman dipakai, karena memang dirawat dengan intens,” ujarnya.

    Menurut pria yang suka nge-band itu, merawat VW memang susah susah gampang, namun kalau sudah hobi semua dijalani dengan senang hati. Waktu awal di tangan, lanjutnya, banyak yang mesti direstore ulang untuk dikembalikan ke bentuk aslinya. Termasuk jika ada aksesoris yang mesti dipesan langsung dari Jerman, tempat lahirnya mobil klasik ini. Bahkan, untuk mendapatkan satu aksesoris saja, adakalanya perlu mengunjungi berbagai pameran. Jika ada kesempatan manggung di Jerman pasti disempatkan mampir ke Wolfsburg, pabrik VW di negara tersebut atau mencari auto classic part untuk mencari sparepart yang diinginkan.

    Soal pemeliharaan, menurut Iyun biayanya tidak terlalu mahal. Karena memang mobil lama, pajakpun hanya sekitar Rp350-ribuan saja. Justru yang mahal itu aksesorisnya. Jika spion mobil ini pecah misalnya, untuk mencari lagi benar-benar harus hunting agar dapat yang asli. Untuk menjaga keorisinilan mobil itu, ayah dua anak ini belum menambahkan alat pendingin. Sementara udara Jakarta sangat panas. “Masih mempertimbangkan. Sebab jika dipasang AC pasti ada yang dirombak. Kalau untuk saya ‘sih tidak masalah tidak pakai AC, tapi kalau jalan bersama anak-anak memang jadi repot. Kalau dipasang AC mobil ini pasti dibolong-bolongi, saya merasa kasihan saja. ‘Ga tega. he… he… he..,” ungkap pria berdarah Arab-Belanda ini.

    Untuk mengajak rutin VW Kodoknya ‘jalan-jalan’, Iyun mengaku kalau itu hanya dilakukan saat weekend saja. Itu pun hanya dilakoni di sekitar kompleks rumahnya saja. Namun terkadang juga sengaja mengajak keluarga kecilnya keliling Jakarta.

   Selain VW Kodok, sebetulnya Iyun juga memiliki mobil klasik lainnya, yaitu Mercy Tiger keluaran tahun 1986 dibeli sekitar tahun 2000-an. Namun begitu, merawat VW masih dirasakan lebih asyik ketimbang lainnya, disamping simpel juga lebih unik dari segi bentuk. Untuk mobil klasik ini, dia memang lebih cenderung memilih mobil Eropa, karena dari segi mengendarai, ada rasa yang berbeda antara mobil Eropa dan Asia. “Sekalipun mobil Eropa ini jadul tapi ada sensasi tersendiri,” ujarnya kepada Media Asuransi beberapa waktu lalu.

   Menikmati hobi merawat mobil classic vintage ini, Iyun bukanlah tipe yang harus ngumpul-ngumpul atau touring bersama komunitas dan saling memamerkan koleksinya. Di samping waktunya tidak banyak, bagi dia koleksinya itu cukup dinikmati sendiri bersama keluarga. “Tapi kalau ketemu tanpa sengaja dengan orang yang juga punya mobil sejenis ini, sering juga ngobrol. Seru ‘aja, walau belum kenal sebelumnya. Dari dulu obsesi saya ingin memiliki VW Combi atau VW Dakota, namun hingga saat ini belum tercapai. Mungkin suatu saat ini ada moment yang pas untuk itu,” tandasnya. B. Firman

Exit mobile version