Di saat rencana wisata ke pantai dihantui oleh adanya kekhawatiran terhadap risiko gempa dan tsunami, wisata gunung tetap menjadi salah satu destinasi bagi para traveller. Pada edisi ini, Media Asuransi menghadirkan cerita keseruan berwisata di salah satu daerah pegunungan yang dingin, di bilangan Bandung Selatan. Jawa Barat terkenal dengan wisata pegunungannya yang indah. Salah satunya adalah kawasan yang sudah tak asing lagi, yaitu Ciwidey dengan Gunung Patuhanya, dimana Kawah Putih berada. Area wisata ini berada sekitar 50 km di selatan Kota Bandung. Ketinggian lokasi wisata Kawah Putih ini mencapai 2.400 mdpl (meter di atas permukaan laut), walau ada juga yang menyebut ketinggiannya sekitar 2.200 mdpl.
Awalnya tempat ini merupakan sebuah danau belerang yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha (2.434 mdpl). Dinamakan Kawah Putih karena permukaan area ini didominasi oleh tanah berwarna putih. Warna air kawah yang kehijauan jika dipandang dari jauh, memberikan sensasi tersendiri tempat ini. Menurut sejarahnya, Kawah Putih ditemukan oleh seorang geolog berkebangsaan Belanda, Franz Wilhelm Junghuhn pada tahun 1837. Mitos sebelum kawah ini ditemukan, para penduduk setempat mempercayai keangkeran Gunung Patuha. Kepercayaan ini bersumber dari peristiwa tewasnya setiap burung yang melintasi gunung ini. Pada akhirnya Franz penasaran dan melakukan riset ke puncak Gunung Patuha, dan ditemukanlah Kawah Putih ini dengan kandungan kadar belerang yangsangat tinggi, hingga menyebabkan kematian burung-burung tersebut.
Kenapa Patuha? Patuha artinya Pak Tua. Karena gunung api tipe B ini dipercaya termasuk gunung yang paling terdahulu (paling tua) ditemukan, ketimbang dataran tinggi lainnya di sekitar Kota Bandung.
Tak sabar untuk menikmati suasana Patuha dan Kawah Putih yang konon terkenal dengan pemandangan indahnya, Penulis bertolak dari bilangan Jakarta Pusat pagi hari pukul 07.30 WIB. Perkiraan normal hingga sampai tujuan, akan menempuh sekitar 3-4 jam perjalanan mobil. Artinya sekitar jam 11 siang rombongan akan menginjak tanah Rancabali, daerah di mana gunung ini berada. Dari Jakarta mobil diarahkan menuju tol Cipularang, kemudian keluar di pinto tol Kopo untuk masuk ke daerah Soreang.
Dari Soreang hingga Rancabali inilah, suasana pegunungan nan asri mulai terasa. Jalan berliku, menanjak dan menurun memberikan nuansa berbeda. Hawa dingin sudah mulai terasa merasuk. Di kiri dan kanan terpampang nyata, dataran-dataran tinggi menjadi hiasan keindahan alam. Bagi Anda yang melakukan perjalanan ke daerah ini, jika ditakdirkan saat musim berbuahnya Strawberi, perjalanan akan semakin ceria dengan pemandangan titik-titik merah di perkebunan petani yang berada di sepanjang kanan-kiri jalan.
Jam di tangan menunjukkan pukul 11.10 WIB. Tidak meleset jauh dari perkiraan hingga sampailah di sebuah area yang cukup luas. Tiba di lereng Gunung Patuha, pintu gerbang masuk kawasan Kawah Putih. Di tempat ini, rombongan membayar retribusi masuk kawasan wisata dengan harga Rp20 ribu per orang. Di area ini juga tempat parkir bus besar yang tidak dibenarkan naik ke lokasi kawah, dan para penumpang diberangkatkan dengan mobil kecil yang telah dimodifikasi. Mobil ini dikenal dengan nama Ontang-Anting. Jika Anda berkendaraan hingga naik ke kawasan kawah, akan dikenakan biaya lingkungan sebesar Rp150 ribu.
Dan, mobil kamipun tancap gas menyusuri hutan kayu rindang dengan jalan yang sangat menanjak hingga ke lokasi kawah. Ingat, mengendarai mobil di sini harus memperbanyak dzikir dan mempersedikit gonta-ganti persneling mobil, cukup di gigi rendah. Kalau tidak hati-hati akibatnya fatal. Karena Anda berada di area pegunungan yang curam. Bagi para penumpang jangan terlalu banyak bicara hingga mengganggu konsentrasi pak supir. Cukup nikmati saja suasana itu dalam diam dan senyap. Tak perlu harus tahan napas.
Setelah sekitar lima kilometer mobil mengaum membelah hutan dengan kelokan dan tanjakannya yang garang, terkadang bau menyengat mulai merangsang penciuman. Jangan sekali-kali berpikir bau itu bersumber dari ‘gas’ teman Anda. Itu adalah bau belerang. Artinya kendaraan sudah memasuki area Kawah Putih. Carilah tempat parkir di area yang cukup luas.
Turun dari mobil menggeliatlah, luruskan badan yang terasa pegal setelah berjam-jam dari Jakarta. Di area parkir juga tersedia toilet yang cukup memadai. Setelah itu mulailah aktivitas wisata Anda, termasuk bagi yang ingin berfoto atau berselfi ria. Sebelum memasuki area pusat kawah, bacalah dulu aturan dan petunjuk yang terpampang di kawasan tersebut. Patuhilah untuk menjaga keselamatan, termasuk mengenakan masker.
Melalui papan arah, pengunjung akan dituntun menuruni puluhan anak tangga menuju kawah. Di sinilah pemandangan luar biasa itu kita nikmati. Bagaikan di negeri dongeng, pengunjung seolah berada alam maya. Ya, di lokasi yang serba putih, dikelilingi kabut tipis, dengan bebatuan, di antara hutan kayu mati. Di seberang danau, dibalik kabut tipis ada bebukitan hijau. Begitu indah dan sangat romantis. Namun, dipadu dengan bau belerang yang cukup menyengat. Air danau Kawah Putih yang berwarna putih kehijauan dan dapat berubah warna sesuai dengan tinggi rendahnya suhu, kadar belerang, dan cuaca.
Di tempat ini para pengunjung berekspresi sebebas mungkin. Tentu masih dalam batas wajar dan mengikuti aturan. Bahkan tak jarang tempat ini dimanfaatkan bagi banyak pasangan untuk mengambil poto prewedding. Namun karena kadar belerang yang tinggi, dan akan membuat napas sesak, pengunjung tidak disarankan berlama-lama di lokasi ini, cukup 1-2 jam saja. Bahkan ada peringatan untuk anak anak dan orang tua (lansia) maksimal 15 menit berada di area kawah. Karena dikhawatirkan ‘keangkeran’ Gunung Patuha akan memakan korban kembali.
Matahari sudah melawati garis kepala. Perut pun sudah minta diisi. Saatnya turun gunung, mencari tempat makan yang lezat di bawah sana. Kendaraan langsung meluncur ke arah utara. Sekitar 25 menit perjalanan dari kawasan Kawah Putih, kemudian kami mampir di restoran Saung Gawir untuk santap siang bersama. Wah, patutlah kami merasa sangat lapar, ternyata hari sudah jam 13.15 WIB. Sudah lewat waktu makan siang.
Di tempat ini kami memilih saung lesehan agar tercipta suasana akrab, dan langsung memesan berbagai menu makanan. Sembari menunggu makanan matang dan dihidangkan, kami tunaikan terlebih dahulu kewajiban sebagai insan, wujud rasa syukur kepada yang kuasa di mushalla yang telah disediakan pihak restoran. Setelah shalat berjamaah, kami kembali menuju saung dan hidangan pun sudah di depan mata.
Sejenak keseruan saat-saat di Kawah Putih terlupakan. Tidak ada kabut tipis, tidak ada hutan mati, tidak ada negeri dongeng. Saat itu yang ada hanyalah ayam bakar, ikan bakar, tahu-tempe goreng, lalapan dan sambal yang menantang. Perut kami begitu laparnya.
Tak butuh waktu lama untuk melumatkan seluruh hidangan yang tersedia. Yang tersisa hanya tulang belulang yang tidak lagi menempati posisinya semula dengan teratur. Dan, kami pun lemas kekenyangan. Tidak mau berlama-lama meresapi lezatnya hidangan siang itu, tepat pukul 15.00 WIB rombongan bertolak ke Kota Bandung, sekadar membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Jakarta. Tujuannya adalah pusat oleh-oleh yang tidak asing lagi bagi para pelancong, yaitu toko kue Kartika Sari, yang berada di dekat Stasiun Kota Bandung. Kemudian kendaraan pun mengarah masuk tol kembali pulang menuju Jakarta.
Di perjalanan pulang, seakan tidak ada letihnya peserta tour ini masih saja melemparkan guyon-guyon ringan melengkapi keceriaan hari itu. Hari yang penuh keakraban. Keakraban yang mendatangkan hubungan persaudaraan yang lebih erat. B. Firman