Hari Raya Idulfitri di banyak negara Islam identik dengan masakan dan hidangan istimewa. Tak terkecuali di Indonesia, momen besar ini menjadi tradisi paling membahagiakan dengan menghadirkan sajian makanan khas Lebaran menurut budaya yang beragam. Setiap daerah memiliki ciri khas rasa dan jenis masakan masing-masing. Bahkan ciri khas masakan tersebut merupakan warisan turun-temurun yang biasa dipersembahkan setiap 1 Syawal.
Menjelang datangnya hari Lebaran, sudah lazim bertebaran ketupat di pasar-pasar tradisional yang berbahan pokok daun kelapa sebagai wadah (sarang) untuk beras ataupun ketan. Nantinya ketupat akan ditanak dan menjadi kerabat dari makanan jenis lontong. Bagi kebanyakan kaum muslim, ketupat menjadi makanan utama di setiap acara Lebaran. Bukan hanya di Indonesia saja, tapi juga di beberapa negara etnis Melayu yang merayakan Idulfitri. Namun yang menjadi perbedaan adalah jenis makanan pendamping ketupat ini, disesuaikan daerah dan kebiasaan masing masing.
Bagi sebagian masyarakat Jawa, teman sejati ketupat saat Lebaran adalah opor ayam dan sambal goreng kentang hati. Namun dalam tradisi di kalangan muslim Melayu di wilayah Sumatera dan Kalimantan, ketupat biasa dihidangkan dengan berbagai macam gulai dan rendang. Akan tetapi sejalan dengan pergeseran kebiasaan masyarakat, ketupat ini bisa saja disandingkan sesuai keinginan. Seperti yang diungkapkan Chief Sales & Distribution Officer PT Asuransi Adira Dinamika Auralusia Rimadiana, di setiap Lebaran selalu menyajikan menu ketupat berikut opor ayam dan rendang Padang.
Lebih lanjut, wanita yang biasa dipanggil Ima ini mengungkapkan keunikannya di setiap momen suci ini, lantaran ibunya dari Jawa dan ayahnya berdarah Minang, maka menu masakannya adalah gabungan dari dua suku tersebut. Oleh karenanya ketupat pun dipadankan dengan opor dan rendang. Menu ini sudah menjadi tradisi di hari Lebaran sedari dia kecil hingga saat ini. Bahkan, menu tersebut sudah menjadi makanan favorit bagi anak-anaknya di hari Lebaran.
Selain makanan berat, Ima juga biasa mempersiapkan makanan ringan kue-kue kering seperti kastengel dan nastar untuk menyambut hari yang berkah. “Saya masak sendiri kue-kue itu. Bagi saya, aroma kue itu memberikan suasana berbeda ke sekeliling ruangan rumah. Itu sangat saya sukai. Namun ada juga beberapa kue yang beli, karena tidak cukup waktu membuatnya,” ungkapnya pada Media Asuransi beberapa waktu lalu.
Soal tempat menyantap menu Lebaran bersama keluarga, Ima menyampaikan semenjak orangtuanya meninggal dunia, ada dua opsi tempat berkumpulnya, yaitu di rumah mertua, atau di rumah saudara secara bergantian setiap tahun. Sesekali Ima juga dapat jatah sebagai tuan rumah untuk gelaran silaturrahim antar keluarga di hari Fitri ini.
Selesai shalat Idulfitri, lanjut Ima, semua makanan yang telah dipersiapkan dimasukkan ke dalam wadah untuk dibawa ke lokasi silaturrahim. Masing-masing keluarga membawa makanan yang berlainan untuk dinikmati bersama-sama. “Kerabat kita itu berasal dari pelbagai daerah dan suku yang datang dengan membawa masakan khasnya. Jadi kami berkumpul dan menikmati aneka macam makanan. Bahkan ada juga yang membawa Nasi Mandhi, khas Arab… he… he…,” lanjutnya.
Khusus tahun ini, pada hari kedua Lebaran, Ima bersama saudara-saudaranya sengaja mengadakan tour ke Bandung dengan menginap di salah satu pondokan di bilangan Cimenyan sembari berburu kuliner. Lebaran kali ini, Ima sengaja hunting hidangan Se’i Sapi, masakan daging sapi asap yang disajikan dengan sambal matah, khas Bali.
Jika pada Lebaran ini Ima sangat menikmati hasil masakannya, berbeda dengan Director and Chief Marketing Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Novita Rumngangun yang tidak memasak sama sekali di Lebaran tahun ini. Pasalnya, wanita yang biasa dipanggil Nona ini jauh-jauh hari telah berniat untuk mengajak keluarganya menginap di hotel saat mudik ke Medan, yang juga permintaan para anggota keluarganya.
Sekalipun menginap di hotel, beberapa hari selama di Medan, Nona tetap bersilaturrahim di hari yang Fitri dengan mengunjungi sanak saudaranya. Di sanalah dia berkesempatan menyantap menu Lebaran bersama seluruh anggota keluarga. Seperti yang lain, ketupat sayur ala Medan tetap menjadi menu andalan keluarga. Di samping itu ada satu masakan khas Batak asli yang selalu dirindukan, yaitu arsik ikan mas. Nona menuturkan khusus untuk makanan ini, dirinya tidak ada tawar-menawar lagi jika sudah di kampung halaman, karena sangat langka didapatkan di luar Medan. Apalagi, arsik yang dinikmati merupakan hasil masakan keluarga yang rasanya sudah khas dengan bumbu dan cara masak secara turun-temurun.
Nona juga sangat menikmati menu tauco udang saat bersama keluarganya. Menurutnya masakan tradisi keluarga saat Lebaran seperti ini tidak akan pernah tergantikan. Dia mengaku, aroma pedas masakan ini terkadang membuatnya sering lupa diet. “Untuk dessert-nya lupis. Bagi saya lupis termasuk makanan berat. Tapi di Medan hanya makanan cemilan. Tapi ya sudahlah, saya nikmati saja semuanya… ha… ha…ha…,” katanya sambil tertawa lepas, saat ngobrol dengan Media Asuransi beberapa waktu lalu.
Kalau untuk kue-kue kering yang biasa dihidangkan, Nona mengaku tidak begitu tergoda, sekalipun di Medan juga banyak tersedia makanan khasnya. Setelah beberapa hari ‘bergerilya’ di rumah-rumah saudara untuk bersilaturrahim seraya mencicipi berbagai jenis masakan tradisional keluarga, barulah Nona mengajak keluarganya hunting ke pelbagai tempat untuk berburu kuliner khas Medan. Soto Medan menjadi tujuan pasca Lebaran. Soal rasa, tentu ada perbedaan antara yang dijual di Medan dan di Jakarta. Sekalipun namanya sama-sama lontong Medan. Dan, satu yang tidak terlupakan saat berburu kuliner adalah lemang Tebing Tinggi. Lemang ini, kenang Nona, selalu mengingatkannya terhadap neneknya yang berasal dari Tebing Tinggi. Lemang dimakan dengan sarikaya. “Jujur saya katakan, Lemang Tebing Tinggi ini memang yang paling juara. Gimana tidak juara! Bule saja suka makanan ini. Suami saya sangat menyukainya,” jelas wanita yang bersuamikan pria asal Australia ini.
Ada satu lagi makanan yang harus Nona dapatkan jika berkunjung ke tanah leluhurnya, yaitu mie balap Medan. Untuk yang satu ini, dirinya tidak mengkhususkan saat Idulfitri saja, karena makanan ini sebetulnya tidak hanya tersedia saat Lebaran.
Rupanya sajian-sajian saat Idulfitri bukan hanya menjadi concern para wanita saja, Head of Sharia PT FWD Life Indonesia Satrio Wicaksono juga termasuk yang sangat menunggu-nunggu sajian saat Lebaran tiba. Hidangan favoritnya adalah ketupat, opor ayam, dan sambal goreng hati.
Kepada Media Asuransi, pria yang hobi bernyanyi dan menciptakan lagu ini menceritakan bahwa seharian saat Lebaran, sudah terbiasa bagi dirinya tidak makan nasi. Pasalnya dalam setiap acara silaturrahim bersama keluarga dan sanak saudara selalu yang tersedia adalah ketupat dengan aneka jenis makanan lainnya. Sekalipun juga disediakan nasi, namun ketupat tetap menjadi pilihannya. Tentu diantara macam hidangan yang tersedia, hasil masakan sang istri yang tetap di hati.
Bagi Satrio, opor ayam saat Lebaran itu bukanlah menu yang membosankan, ke mana dia bersilaturrahim selalu disuguhkan makanan bersantan ini. Bahkan dalam tiga hari pasca Lebaran masih berjumpa dengan menu opor ayam, dirinya mengaku masih enjoy-enjoy saja. “Sekalipun disuguhi terus opor ayam tidak bosan karena cara memasak dan bumbunya pasti berbeda setiap orang. Ditambah lagi saya memang menyukainya. Inilah yang membuat saya tidak bosan,” ungkapnya saat ditemui Media Asuransi beberapa hari lalu.
Sedangkan untuk kue-kue kering, Satrio lebih cenderung menyukai kastengel dan nastar, sebagaimana umumnya kue Lebaran. Namun yang unik dari kesukaannya ini adalah kisah dirinya menyukai dua jenis kue ini, yaitu saat kecil membantu sang ibu membuat kue-kue Lebaran. Keisengannya sering muncul dengan menyembunyikan beberapa potong kue-kue ini untuk dimakan sendiri. Itu dilakukan tanpa sepengetahuan ibunya. “Kebiasaan waktu kecil itu membuat saya memahami tahapan-tahapannya. Bahkan saat sekarangpun, kalau istri sedang membuat kue menjelang Lebaran saya juga sering membantu. Dan, terkadang keisengan waktu kecil juga terulang kembali,” tandas Satrio. B. Firman