Site icon Media Asuransi News

OJK Dorong Perkembangan Fintech dan Permodalan BPR

   Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga Maret 2019 akumulasi pinjaman yang telah disalurkan perusahaan layanan keuangan digital (financial technology/fintech lending) mencapai Rp33,20 triliun. Angka ini tumbuh sebesar 46,68 persen (year to date/ytd) dibandingkan posisi pada Desember 2018 senilai Rp22,67 triliun. Pencapaian tersebut berasal dari total pemberi pinjaman (lender) sebanyak 272.548 entitas, yang tumbuh 31,34 persen ytd. Sedangkan jumlah peminjamnya mencapai 6.961.993 entitas, tumbuh 59,70 persen ytd.

   “Sementara outstanding pinjaman hingga Maret 2019 mencapai Rp7,79 triliun dengan pertumbuhan 54,34 persen (ytd),” kata Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar dalam acara Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta yang diselenggarakan OJK di Bandung, 3 Mei 2019, yang dihadiri Media Asuransi. Ditambahkan bahwa rata-rata pinjaman terendah hingga Maret 2019 mencapai Rp9,23 juta. Sementara rata-rata nilai pinjaman yang disalurkan mencapai Rp82,19 juta.

    Menurut Sukarela, hingga akhir April tercatat sudah ada 106 perusahaan fintech yang terdaftar dan berizin, tiga diantaranya berbasis syariah. Dari jumlah tersebut 74 berstatus perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan 32 merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA). “Kalau secara domisili perusahaannya masih dominan di Jabodetabek, sebanyak 102 perusahaan. Sisanya ada satu perusahaan masing-masing di Bandung, dan Lampung, serta dua perusahaan di Surabaya,” jelasnya.

   Dia tegaskan bahwa OJK serius menggarap inovasi keuangan digital. Bahkan sejak 2017, OJK mempunyai tim khusus yang melakukan kajian tentang rumusan fintech ke depan. Harapannya, dapat mendorong inovasi untuk membangun ekosistem yang lebih baik. “Intinya adalah bagaimana kita me-review model bisnis dan juga proses bisnis serta tata kelola masing-masing fintech, sehingga memastikan inovasinya itu bertanggungjawab,” katanya.

   Menurutnya, OJK mengatur fintech dengan cara menyesuaikan regulasi. Sehingga tidak lagi hanya berbasis pada aspek prudential-nya saja, melainkan juga berbasis market conduct. “Artinya, mendorong tanggung jawab dari para pemain. Transparansi, risk management, tata kelola itu menjadi bagian dari tanggung jawab start up atau fintech. OJK juga mendorong fintech bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam riset,” kata Sukarela.

  Di sesi yang berbeda, Direktur Penelitian dan Pengaturan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) OJK Ahandayani mengingatkan bahwa BPR perlu memperkuat permodalannya untuk menghadapi ketatnya persaingan sektor jasa keuangan. Tantangan utama BPR saat ini, adalah kemunculan fintech, khususnya peer to peer lending (p to p). “Kemunculan fintech tersebut memaksa BPR untuk menyesuaikan, baik dari sisi teknologi, manajemen risiko, dan lainnya sehingga mampu bersaing di ranah jasa keuangan,” katanya.

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa saat ini terjadi perubahan pola masyarakat dalam mengakses lembaga keuangan. Perubahan tersebut kemudian mengharuskan BPR untuk mengimbangi dengan perkembangan teknologi yang ada. Sebab, dari pelayanan yang sebelumnya masih dilakukan secara tatap muka, kini sudah harus mulai diubah. “Dulu dengan hubungan pendekatan baik, tapi kini harus diimbangi dengan perkembangan teknologi. BPR harus menyadari pola perilaku kebutuhan masyarakat sudah mulai berubah,” tandas Ahandayani.

   Data OJK menunjukkan bahwa dari 1.597 BPR, saat ini ada 722 BPR yang modalnya masih kurang dari Rp6 miliar. Sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat, modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar.

    Menurut Ahandayani, dari 722 BPR yang modalnya masih di bawah Rp6 miliar itu, ada 348 BPR yang modalnya Rp3 miliar – Rp6 miliar. Mereka paling lambat tanggal 31 Desember 2019 harus memiliki modal inti minimal Rp6 miliar. Sedang 374 BPR lainnya yang saat ini modal intinya kurang dari Rp3 miliar, harus memiliki modal inti minimal sebesar Rp3 miliar per 31 Desember 2019 dan memiliki modal minimal sebesar Rp6 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2024. “Dari pantauan OJK, dari 374 BPR itu, sekitar sepertiganya diperkirakan akan memiliki modal mencapai Rp3 miliar di tahun ini,” katanya. S. Edi Santosa

Exit mobile version