– Pada akhir September 2017 lalu, industri perasuransian dikagetkan dengan adanya pejabat salah satu perusahaan asuransi jiwa di tanah ar yang dipidanakan nasabahnya, berkaitan dengan pembayaran klaim yang ditolak penanggung. Peristiwa itu pun menjadi pembicaraaan hangat berbagai kalangan. Menilik kasus yang masih hangat tersebut, Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) dan Lembaga Pendidikan Asuransi Indonesia (LPAI) mengadakan seminar bertema “Bedah Kasus Penolakan Klaim Hospital Cash/Fleksi Care dari Sudut Pandang Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku”.
– Seminar setengah hari itu menghadirkan beberapa praktisi sebagai pembicaranya. Adapun pembicara utamanya adalah Direktur Utama Asuransi Himalaya Pelindung Kornelius Simanjuntak, dalam kapasitasnya sebagai Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Ada Advokat yang juga bergelut di perasuransian Ketut Sendra, Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, serta pengacara dan konsultan hukum Hendro Saryanto. Seminar yang dipandu Ketua STIMRA Hotbonar Sinaga itu diadakan di Hotel Royal, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 18 Oktober 2017.
– Seminar diawali sambutan dari Ketua LPAI Mairizal Meirad yang mengatakan bahwa topik seminar ini merupakan isu yang masih hangat dibicarakan baik di kalangan profesional maupun praktisi perasuransian nasional, bahkan juga kalangan tertanggung. “Pada akhir September 2017, bisnis perasuransian dikejutkan dengan adanya pemberitaan tentang direksi dan manajer klaim salah satu perusahaan asurasi besar di Indonesia sebagai tersangka. Hal ini tentu saja ibarat petir di siang bolong dan bisa membuat direksi dan key position di perusahaan asuransi menjadi resah karena berisiko dipidanakan oleh tertanggung yang pengajuan klaimnya ditolak,” ucapnya.
– Dari hasil seminar ini, Mairizal mengharapkan agar masalah tersebut tidak melebar dan tidak mengganggu operasional perusahaan asuransi nasional ke depannya. Hasil seminar dapat dijadikan bahan baru bagi otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menetapkan kebijakan-kebijakan baru tentang fraud dan bagi asosiasi untuk pembinaan terhadap anggotanya.
– Sebagai pembicara utama Kornelius memaparkan bahwa dobel klaim tidak dikenal di asuransi kesehatan. Menurutnya, kalau sampai ada perusahaan asuransi yang menggunakan dobel klaim bisa jadi perusahaan tersebut mencontoh dari negara lain tapi di Indonesia tidak ada. Hal itu sampai sekarang juga masih diperdebatkan di pengadilan.
– Dikatakan Kornelius, penanggung untuk mengkaji ulang produk dobel klaim kalau sudah memilikinya. Manfaatnya apa? Tapi kalau sekarang sudah banyak kasus pasti akan dilakukan penelaahan lagi. Untuk itu peran BMAI harus lebih ditingkatkan terutama di daerah-daerah.
– Tulus Abadi mengatakan, pengaduan konsumen terkait asuransi berada di urutan ke-7. Permasalahan terkait asuransi yang diterima YLKI berbagai macam dan jumlah pengaduan asuransi terus bertambah jumlahnya. Dilanjutkan, kalau bisa OJK melakukan perombakan perjanjian-perjanjian standar di perbankan dan asuransi untuk membuat aturan perjanjian standar yang seragam. Hal ini untuk menghindari penyelundupan pasal-pasal yang tidak setiap pelaku usaha bisa memiliki perjanjian sendiri. “Dengan diseragamkan kontrak standar maka tidak ada lagi peluang bagi perusahaan untuk menyelewengkan hak konsumen dengan perjanjian yang tidak fair. Jadi kalau ada pasal susupan seperti kasus ini (permintaan rekam medis), OJK sebagai regulator bisa meyakinkan pada publik, bahwa tidak ada pasal itu. Jadi mesti ada kontrak standar sama OJK,” katanya.
– Sementara itu Ketut Sendra mengatakan bahwa perusahaan asuransi dan tertanggung harus ada saling keterbukaan. Dikatkan, kasus serupa tidak hanya terjadi di Allianz Life Indonesia tapi banyak pemegang polis
yang enggan melaporkan.
– Konsultan Hukum Hendro Saryanto menegaskan bahwa produk asuransi dobel klaim sudah menjadi komoditas bagi penjahat dan ada sindikatnya. “Bahkan mereka sampai membuat rumah sakit dan pasiennya merupakan komplotannya. Dalam satu bulan mereka bisa mendapat sampai ratusan juta rupiah. Jadi, menghadapi hal ini perlu effort luar biasa dari semua pihak. Karena banyak kami temukan kasus dari produk cash plan ini. Apalagi sekarang sudah ada UU Perlindungan Konsumen, paling enak mengambil uang asuransi dari produk tersebut. Untuk itu background calon tertanggung harus dicermati dulu oleh perusahaan asuransi,” jelas Hendro. W. Widiastuti