Site icon Media Asuransi News

Penerbitan Obligasi Tetap Marak di Tahun 2017

Semua pelaku industri keuangan tentu menyadari betapa ketatnya likuiditas di tahun 2016 yang telah berlalu. Untuk mengurangi dampak ketatnya likuiditas, perbankan sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat untuk kemudian disalurkan dalam bentuk kredit dan pembiayaan untuk bank syariah, bahkan harus masuk ke pasar modal dengan menerbitkan obligasi. Multifinance yang seperti bank, menyalurkan pembiayaan ke masyarakat, juga ikut-ikutan menerbitkan obligasi untuk mendapatkan pendanaan. Di sisi lain, penerbitan obligasi oleh perbankan dan multifinance, mengindikasikan bahwa imbal hasil atau yield obligasi relatif rendah.

Jumlah obligasi korporasi yang diterbitkan pada tahun 2016 mencapai jumlah sekitar Rp110 triliun. Berdasar data Mandiri Securitas, dari jumlah itu sekitar 28,5 persen diterbitkan oleh perbankan dan disusul multifinance dengan porsi 26,5 persen. Selain sebagai sumber pendanaan, penerbitan obligasi oleh bank dapat memperbaiki struktur pendanaan mereka. “Selain obligasi, bank-bank pada tahun ini juga banyak mengeluarkan negotiable certificate deposit (NCD), di mana nilai yang diterbitkan naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu,” kata Head of Fixed Income Research Mandiri Securitas Handy Yunianto dalam diskusi Prospek Ekonomi, Perbankan, dan Pasar Modal 2017 di Jakarta, akhir Desember 2016.
Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyebutkan bahwa hingga Desember 2016 nilai emisi obligasi perbankan senilai Rp29,73 triliun, di luar NCD, MTN (medium term note), sukuk, dan surat berharga lainnya. Trend tersebut diperkirakan akan berlanjut di tahun 2017 ini karena bank masih mempertimbangkan kemungkinan untuk mencari sumber pendanaan di pasar modal dengan cost yang tidak terlalu tinggi.
Kemungkinan itu juga diakui oleh Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Haru Koesmahargyo beberapa waktu lalu. Menurutnya, setelah menerbitkan Obligasi Berkelanjutan II BRI Tahap I Tahun 2016 senilai Rp4,6 triliun, perseroan akan menerbitkan kembali pada tahun ini. BRI memiliki izin menerbitkan obligasi sampai Rp20 triliun hingga 2018 mendatang. “Jumlah penerbitan akankami sesuaikan dengan kebutuhan kredit dan profil jatuh tempo obligasi sebelumnya. Secara umum, penerbitan akan kami bagi menjadi dua, Rp8 triliun di 2017 dan Rp7 triliun di 2018,” ujarnya.
Bank terbesar di Indonesia dari sisi aset, PT Bank Mandiri Tbk (Mandiri) juga masih memiliki sisa penerbitan PUB (penawaran umum berkelanjutan) sebesar Rp9 triliun setelah pada tahun 2016 menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap I senilai Rp5 triliun. Pada tahun 2017 direncanakan emisi obligasi sebesar Rp5 triliun. Secara keseluruhan, rencana penerbitan obligasi berkelanjutan I adalah sebesar Rp14 triliun yang akan dilakukan dalam kurun waktu dari 2016 hingga 2018 mendatang.
Bank BUMN lainnya yakni PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) juga berencana untuk menerbitkan obligasi berkelanjutan baru pada tahun ini. Jumlah emisi surat utang tersebut diperkirakan sekitar Rp10 triliun. Direktur BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan perseroan saat ini belum mengajukan izin penerbitan ke OJK. Izin penawaran umum berkelanjutan obligasi yang baru akan diajukan pada tahun 2017. “Belum kami ajukan, tetapi kira-kira senilai Rp10 triliun untuk tahun depan (2017) dan 2018,” ujarnya Desember lalu. Sebelumnya BTN telah menerbitkan PUB Obligasi II tahap I pada 2015 dan tahap II pada 2016. Total emisi PUB Obligasi II tersebut senilai Rp6 triliun dengan masing-masing tahap sebesar Rp3 triliun.
Sementara itu PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) yang mengantongi mandat emisi surat utang korporasi sebesar Rp21,03 triliun, memproyeksi total emisi obligasi korporasi pada tahun 2017 mencapai Rp119,6 triliun atau lebih tinggi dari capaian tahun 2016 sekitar Rp110 triliun. Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra, menuturkan emisi obligasi korporasi di Indonesia terus meningkat. Jika di tahun 2016 jumlahnya sekitar Rp110 triliun, di tahun 2015 nilainya Rp62,57 triliun, sebelumnya pada tahun 2014 hanya sebesar Rp46,26 triliun.
“Tahun 2016 penerbitan obligasi capai rekor baru. Sampai akhir tahun mungkin bisa Rp110 triliun lebih karena ada beberapa yang belum listing, tapi ada juga yang menunda listingke bulan depan,” kata Salyadi di Jakarta, akhir Desember 2016. Sampai dengan Desember 2016, mandat pemeringkatan obligasi Pefindo yang belum listing mencapai Rp21,3 triliun. Mandat tersebut tidak termasuk program penawaran umum berkelanjutan (PUB) dan diberikan oleh 28 perusahaan, termasuk dari tujuh perusahaan pembiayaan, empat bank, dan empat perusahaan properti.
Menurut Salyadi, sejumlah emiten yang menunda emisi obligasi pada akhir tahun 2016 khawatir terhadap ketatnya likuiditas di pasar surat utang nasional yang berisiko mengerek tingkat kupon. “Demand agak kurang bagus. Emiten diminta naikkan bunga tidak mau, jadi menunda satu bulan. Karena memang likuiditas di pasar. Mudah-mudahan ini temporary dan minat investor bisa meningkat,” ujarnya. Dia memperkirakan mandat emisi obligasi tersebut kemungkinan akan diterbitkan pada kuartal pertama 2017atau paling lambat sepanjang semester pertama 2017.
Potensi emisi obligasi korporasi pada 2017 juga bersumber dari besarnya sejumlah obligasi yang jatuh tempo. Pefindo mengestimasi nilai obligasi jatuh tempo mencapai Rp79 triliun atau paling tinggi sejak 2009. Untuk melunasi nilai pokok obligasi, emiten cenderung menerbitkan surat utang baru untuk refinancing dibandingkan dengan menggunakan uang dari kas perseroan. “Kalau dijumlahkan, mandat Pefindo yang belum listing dan obligasi jatuh tempo pada 2017 sudah lebih dari Rp100 triliun. Itu belum termasuk PUB dan mandat untuk emisi pada semester kedua 2017,” papar Salyadi Saputra.
Atas dasar itu, Pefindo memperkirakan total nilai emisi obligasi korporasi pada 2017 mencapai Rp119,6 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi membaik ke level lima persen, inflasi terjaga, bunga relatif rendah, dan tingkat bunga obligasi yang meningkat.
Bukan hanya korporasi yang sibuk menerbitkan surat utang. Pada awal tahun 2017 ini pemerintah melalui Kementerian Keuangan melelang lima seri surat utang melalui sistem lelang Bank Indonesia (BI), yakni seri SPN03170404, SPN12180104, FR0059, FR0061, dan FR0072. Melalui lelang yang digelar pada 3 Januari tersebut, total penawaran yang masuk untuk kelima seri itu mencapai Rp36,9 triliun. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan dari penawaran yang masuk itu, pemerintah hanya akan menyerap sebesar Rp15 triliun.
Di tahun 2017 ini Kementerian Keuangan menargetkan penerbitan bruto Surat Berharga Negara (SBN) Rp597,03 triliun dan penerbitan neto SBN Rp399,99 triliun. Selisih antara target bruto dan neto akan digunakan untuk membiayai bunga SBN yang jatuh tempo pada 2017 sebesar Rp164,04 triliun, manajemen kas sebesar Rp30 triliun, dan rencana buyback SBN sebesar Rp3 triliun. Komposisi penerbitan SBN dalam mata uang rupiah mencapai 80 persen, sebesar 73 persen akan diterbitkan dengan lelang dan tujuh persen non lelang. Sementara itu, penerbitan SBN dalam mata uang asing mencapai 20 persen. Namun, penerbitan SBN valas dapat dimaksimalkan hingga 25 persen dari target bruto sesuai kebutuhan pembiayaan. Jumlah peneribitan SBN di tahun ini lebih rendah dibanding tahun lalu yang tercatat sebesar Rp651,8 triliun untuk SBN gross dan sebanyak Rp407,3 triliun untuk netto-nya.
Secara terpisah Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting menjelaskan bahwa penerbitan obligasi internasional untuk prefunding sebesar 3,5 miliar dolar AS sudah mencukupi. Menurut dia, penerbitan SUN berdenominasi dolar AS ini tidak begitu terpengaruh oleh dinamika politik di AS setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS. Transaksi penjualan surat utang tersebut tercatat mengalami kelebihan permintaan sebesar 3,4 kali dari target.
Tiga seri SUN berdenominasi dolar AS yang dilelang yaitu seri RI0122, RI0127 dan RI0147, dengan total nilai penerbitan sebesar 3,5 miliar dolar AS. Transaksi ini merupakan bagian dari Program Global Medium Term Notes (GMTN) Republik Indonesia senilai 50 miliar dolar AS. Tercatat, total penawaran yang masuk (total order book) atas ketiga seri SUN tersebut mencapai 12 miliar dolar AS, angka terbesar yang pernah diperoleh Pemerintah dalam transaksi prefunding. “Hal ini menunjukkan masih tingginya tingkat kepercayaan dan sentimen positif investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tingkat inflasi yang terkendali,” kata Loto.
Sementara itu, tahun 2017 ini ada kecenderungan Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) terus turun seiring dengan dominasi faktor positif domestik, seperti cadangan devisa naik, defisit fiskal rendah, surplus perdagangan tinggi, serta BI yang lebih dovish terhadap prospek kebijakan moneter. Hal ini sejalan dengan anjloknya anjloknya dolar index berdampak pada turunnya imbal hasil obligasi global. Analis Riset Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengatakan bahwa imbal hasil global terus turun setelah pasar AS yang buka setelah libur, memfaktorkan pernyataan Trump yang tidak menyukai penguatan tajam dolar AS. “Tidak hanya dolar index yang turun drastis, tetapi juga imbal hasil US Treasury,” ujar Rangga, 18 Januari 2017.
Dia menjelaskan, imbal hasil global yang saat ini berada di tren penurunan akibat koreksi shock tengah Desember 2016 lalu, akan mempertajam derajat penurunannya. “SUN juga diperkirakan menikmati ruang penguatan lebih lebar, walaupun akan terbatasi ekspektasi inflasi yang tinggi,” katanya. Selain proporsi asing di SUN mulai kembali naik, lelang SUN di pertengahan Januari 2017 dengan kelebihan permintaan yang tinggi, menjadi bukti kuat. S. Edi Santosa

Exit mobile version