Site icon Media Asuransi News

Selama Pandemi Covid-19 Pinjaman Online Makin Dicari Masyarakat

Media Asuransi – Perkembangan Fintech P2P lending selama Pandemi Covid-19 sangat pesat. Data per Mei 2021, total outstanding penyaluran pembiayaan adalah sebesar Rp21,75 triliun, angka ini meningkat sebesar 69,06% dibanding periode yang sama tahun lalu (year on year/ YoY).

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akumulasi penyaluran telah mencapai Rp207,07 triliun. Sementara kualitas pinjaman dikatakan masih terjaga, dimana Tingkat Keberhasilan 90 hari berada pada angka 98,46%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat Non Performance Loan (NPL) relatif masih rendah.

“Tentu masih banyak hal yang harus menjadi perhatian bagi masyarakat. Terutama terkait pemahaman mengenai platform yang terdaftar dan berizin di OJK. Dengan segala kemudahan meminjam dana secara online, masyarakat tentunya harus berhati-hati jika tidak ingin terjebak pada pinjaman dari Fintech illegal yang ujungnya akan merugikan masyarakat sendiri,” ungkap Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB, dalam Forum Diskusi Salemba 55, Waspada Jebakan Pinjaman Online Ilegal, Rabu (30/6).

Baca juga: Setahun COVID-19, Saham Kimia Farma Sudah Cuan 176%

Status illegal ini untuk membedakan operasionalnya dengan platform yang sudah terdaftar dan berizin di OJK. Di lapangan OJK melihat kondisi masyarakat ada yang memang sedang membutuhkan dana dan juga melihat peluang kemudahan yang ditawarkan oleh platform illegal. Tanpa disadari secara system platform illegal ini dapat mengambil data-data pribadi seperti nomer telepon, foto, video, dan berbagai hal yang tersimpan di ponsel konsumen.

Akses pada hal-hal yang sebetulnya dilarang tersebut akhirnya menjadi ramai di publik, terutama pada proses collection. Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan fintech legal yang hanya bisa melakukan akses terhadap tiga hal saja yakni kamera, mikrofon dan lokasi.

OJK juga secara periodik menampilkan daftar FintechP2P apa saja yang yang terdaftar dan berizin di OJK melalui website resmi OJK.

“Selain itu, channel media sosial juga kami gunakan untuk diseminasi informasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu masyarakat yang hendak menggunakan jasa P2P, agar terlebih dahulu melakukan pengecekan ke website OJK. Kami menyadari bahwa untuk menyelesaikan pinjaman illegal ini, OJK tidak mungkin melakukannya sendiri,” ujar Riswinandi.

Baca juga: Pandemi Covid-19, Pendapatan BEI Justru Naik Jadi Rp1,62 Triliun

Menurutnya banyak hal yang diluar yuridiksi pengawasan OJK, terutama dalam konteks dan tatanan siber. Misalnya dalam hal mengontrol aplikasi-aplikasi yang tersedia di Application Store maupun pesan-pesan berantai dari nomor handphone yang dengan sangat mudah berganti.

Berangkat dari hal tersebut, OJK bersama-sama Kementerian/Lembaga membentuk Satgas Waspada Investasi, dimana anggotanya selain OJK ada dari pihak APH (Kejaksaan dan Kepolisian RI) dan Kementerian/Lembaga (Kominfo, Kemendag, kemenkop, BKPM dan Kemendag) terus melakukan penyisiran dan penindakan terhadap Fintech illegal.

Setidaknya sejak tahun 2018 sudah lebih dari 3.193 fintech illegal sudah berhasil ditindak. “Di sisi internal kami, kami juga terus melakukan review salah satunya melalui moratorium pendaftaran, dimana OJK tidak menerima pendaftaran Fintech P2P baru selama lebih dari setahun terakhir,” lanjut Riswinandi.

Selain untuk memastikan status izin dari platform P2P, moratorium ini juga untuk melihat dan menelaah kembali, melakukan scrutinize pada platform-platform yang belum comply pada regulasi, maupun tidak memliki kapasitas SDM dan operasional yang memadai untuk menjalankan bisnis.

Dimana pada Februari 2020 saat dimulainya moratorium pendaftaran fintech P2P, terdapat 165 perusahaan yang terdaftar dan berizin di OJK namun sekarang tinggal 125 perusahaan dengan rincian 60 Fintech P2P yang statusnya terdaftar serta 65 yang telah memiliki status berizin.

“Saat ini kami sedang menyelesaikan status 60 perusahaan yang terdaftar tersebut menjadi berizin,” pungkas Riswinandi. Aha

Exit mobile version