Media Asuransi News

BCA dan Kisah Sukses Pengepul Apel Malang

 –   Jauh sebelum sukses seperti saat ini, awalnya Sugeng Slamet (40 tahun) hanya satu dari sekian banyak karyawan yang bekerja pada pengepul dan distributor apel Malang. Selain itu dia juga memiliki kebun apel di daerah Nongkojajar, Malang, Jawa Timur, yang dikelola sejak tahun 1991. Usaha berkembang dengan baik hingga akhirnya pada tahun 1998, dia memutuskan untuk mengembangkan usahanya sendiri agar lebih maju. Dengan modal sekitar Rp7,5 juta pada saat itu, Sugeng menjadi pengepul buah-buahan khususnya apel dan jeruk di daerah Malang dan sekitarnya. Usahanya perlahan terus berkembang hingga dia mampu mendistribusikan buah, khususnya apel dan jeruk, ke berbagai kota.
    Di tahun 2005, Sugeng Slamet menjadi debitur kredit usaha kecil (KUK) BCA, dengan nilai pinjaman Rp250 juta. Dengan modal pinjaman ini dia melakukan pengembangan usaha pengepul buah, dengan nama UD Gelora. “Dari awalnya hanya mendistribusikan puluhan kilogram buah per hari hingga menjadi puluhan ton per hari, pada saat ini. Awalnya hanya membeli buah apel dan jeruk dari para petani, kemudian melakukan penyortiran dan mendistribusikannya ke penjual-penjual buah secara konvensional,” tuturnya kepada wartawan dari Jakarta dan Surabaya, peserta Media Gathering BCA 2017, di Kota Batu, Jawa Timur, 11 November 2017.
–   Dalam kesempatan terpisah, Senior Vice President (SVP) Divisi Bisnis Komersial dan SME BCA Daniel Darmawan mengatakan bahwa Sugeng Slamet salah satu contoh pengusaha usaha kecil menengah (UKM) yang didukung oleh BCA. Awalnya Sugeng adalah debitur KPR BCA tahun 2002 yang karena hubungannya yang engaged dengan BCA KCP Batu, dapat dilakukan cross selling untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) BCA dengan plafon Rp300 juta. Kredit ini digunakan untuk mengembangkan usaha pengepul buah-buahan yang dimilikinya.
    Sementara itu, Kepala Kantor Cabang Pembantu BCA Batu Setiawati dan Account Officer BCA KCU Malang Indi yang mendampingi wartawan berkunjung ke gudang penyortiran dan pengepakan apel UD Gelora menuturkan bahwa awalnya sangat sudah untuk menawarkan Sugeng Slamet agar memanfaatkan fasilitas kredit dari BCA. “Dia, seperti halnya para petani apel di sini tidak mau berutang, termasuk ke bank. Mereka mengembangkan usaha pertaniannya dengan modal sendiri,” kata Setiawati. Indi menambahkan, “Akhirnya Sugeng Slamet mau menerima tawaran kredit, karena dia ingin menambah luas lahan kebun apelnya”.
–   Setelah mendapatkan kredit dari BCA, usaha Sugeng Slamet terus berkembang dan mampu memasarkan buah apel dan jeruk ke berbagai kota, antara lain Jakarta, Medan, Bali, bahkan hingga ekspor ke Timor Leste. Butuh waktu selama lima tahun untuk membangun pasar di kota-kota tersebut. Menjaga kualitas buah yang dikirim, menjadi kunci utama agar buah apelnya mampu diterima pasar. Tapi kini dia tidak lagi mengekspor buah ke Timor Leste. “Pasarnya sebenarnya bagus, tapi berhenti karena masalah keuangan. Sekarang fokus dalam negeri,” tambah pria asal Gintung, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur ini.
22-11- BCA

Sugeng Slamet dan apel yang telah disortir

–    

–   Namun kejayaan apel Malang tak bertahan lama, saat krisis keuangan kembali melanda dunia di tahun 2008, harganya anjlok ke titik terendah. Apel Malang hanya dihargai Rp5 ribu per kilogram. Di sisi lain biaya produksi semakin tinggi akibat terus naiknya harga pupuk dan obat-obatan yang digunakan petani apel. Keterbatasan pemberian pupuk dan pemeliharaan mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan. Padahal di saat bersamaan, pasar buah dalam negeri mulai dibanjiri buah impor dengan harga yang cukup murah.
       Jatuhnya harga apel Malang, sangat mempengaruhi perekonomian Batu yang saat itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Malang. Hal ini karena apel merupakan komoditas pertanian utama daerah tersebut. Menurut data statistik daerah Kota Batu tahun 2016, secara keseluruhan luas wilayah daerah tingkat dua ini sekitar 19.908,72 hektar yang terdiri dari tiga kecamatan yakni Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji, dan Kecamatan Junrejo. Kecamatan Bumiaji merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah mencapai 64 persen dari total luas Kota Batu. Berdasar ketinggian wilayahnya, Kota Batu dibedakan dalam enam kategori yaitu mulai dari 600 mdpl (meter di atas permukaan laut) sampai dengan lebih dari 3.00 mdpl. Wilayah yang paling luas berada di ketinggian 1.00-1.500 mdpl dengan total luas mencapai 6.493,64 hektar.
–   Pada tahun 2015 jumlah penduduknya mencapai 214.969 orang dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,09 persen. Sektor perdagangan dan pertanian mendominasi jenis lapangan usaha yang banyak dikerjakan oleh tenaga kerja di Kota Batu. Berdasar data tahun 2014, jumlah penduduk yang bekerja di sektor perdagangan dan pertanian sebesar 61,5 persen. Hal ini terjadi seiring dengan dicanangkannya Kota Batu sebagai Kota Wisata yang berbasis agropolitan.
–   Tanaman buah yang banyak ditanam di Kota Batu adalah apel dan jeruk. Berdasar data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu, pada tahun 2016 populasi tanaman apel di Kota Batu mencapai 2,1 juta pohon. Data statistik daerah Kota Batu menyebutkan, produksi apel tahun 2015 sebanyak 671,2 ton, turun 5,2 persen dibandingkan produksi tahun 2014 sebanyak 708,4 ton. Produksi tanaman jeruk di tahun 2015 sebanyak 132,2 ton.
    Dari data tersebut dapat diperkirakan dampak jatuhnya harga apel sekitar tahun 2007-2008 bagi perekonomian warga setempat. Dalam kondisi jatuhnya harga buah apel seperti ini, Sugeng Slamet menerima uluran tangan BCA Malang yang kembali menawarkan kredit. Saat itu dia mendapat kredit sebesar Rp600. “Dana pinjaman tersebut tidak semuanya untuk biaya pembelian buah apel. Sebagian digunakan untuk memberikan petani bantuan pupuk dan teknis perkebunan, khususnya kebun buah apel,” katanya kepada wartawan peserta Media Gathering BCA, 11 November 2017.
–    Awalnya para petani enggan menerima bantuan berupa pinjaman tanpa bunga, karena khawatir kesulitan membayar utang. Namun Sugeng menawarkan pola kemitraan dengan para petani apel di Kota Batu. Dia meminjamkan uang Rp10 juta hingga Rp70 juta kepada setiap petani untuk membeli pupuk yang berkualitas, di antaranya pupuk organik, dan insektisida. Untuk membayar cicilan, Sugeng Slamet tidak meminta uang cash, melainkan memotong pembayaran hasil panen yang disetorkan petani kepadanya, minimal dua persen dari setoran buah, hingga pinjaman lunas. Dia juga membeli buah apel dari para petani mitra ini sesuai dengan harga pasar.
–   Dengan pola kemitraan seperti ini, sebagian petani tertarik dan bersedia bekerjasama. Dari awalnya hanya sekitar 10 petani yang bergabung dalam kemitraan tersebut dengan total luas lahan yang dikelola sekitar 24 hektare, kini jumlahnya telah mencapai sekitar 390 petani dengan luas lahan sekitar 350 hektare. Saat ini hasil produksi dari kebun milik Sugeng Slamet dan mitranya mencapai sekitar 12 ton per hari. Sementara pasokan ke sejumlah jaringan distribusi yang dikembangkan baru mencapai enam ton per hari. Dia mengaku tidak ingin menambah jumlah pasokan ke pasar untuk menjaga stabilitas harga.
      Sugeng Slamet menjelaskan bahwa UD Gelora yang dia miliki mematok harga beli apel dari petani yang lebih tinggi dibandingkan jika para petansi menjual hasi panennya langsung ke pasar. “Kalau petani jual sendiri buah apel ke pasar, harganya sekitar  Rp4.000 hingga Rp5.000 per kilogram. Tetapi kalau jual ke kami, maka harga buah apel segar itu stabil baik saat panen raya atau tidak, yakni sekitar Rp10 ribu hingga Rp18 ribu per kilogram. Tentu dengan dijual ke penampungan akan terjadi peningkatan pendapatan petani dan otomatis terjadi peningkatan kesejahteraan mereka,” tegasnya.
–  Harga beli dari petani memang bervariasi, tergantung jenis apelnya. Untuk apel Rome Beauty harga beli dari petani Rp14.000 per kilogram, apel Manalagi dihargai Rp12.000 per kilogram, apel Anna dihargai Rp10.000, dan apel Granny Smith dihargai Rp7.000. Walau membeli dengan harga tinggi, UD Gelora tetap memiliki marjin keuntungan yang cukup. Karena setelah disortir dan dikemas dengan bagus, maka buah apel ini dijual ke supermarket baik di Jakarta, seluruh pulau Jawa, Kalimantan, dan Medan harga jual sekitar Rp26.000 hingga Rp28.000 per kilogram, tergantung jenis apelnya.
–   Sejak bermitra dengan ratusan petani apel, usaha pria lulusan SMA ini berkembang dengan pesat. Dari awal omsetnya yang tidak menentu, saat ini omset per bulan sudah miliaran. “Omset kalau dihitung bisa di atas Rp1 miliar per bulan,” kata Sugeng. Walau demikian dia mengaku tidak ingin menambah pasokan buah ke pasar untuk menjaga stabilitas harga. Total produksi buah apel hasil kebun sendiri dan mitra petani mencapai 12 ton per hari, namun hanya setengahnya yang didistribusikan.
–   Selanjutnya untuk mengelola kelebihan produksi apel dari para mitra petani, UD Gelora saat ini tengah membangun pabrik pengolahan Sari Apel dan Kripik Apel yang ditargetkan mulai beroperasi tahun 2018. Investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik tersebut diperkirakan mencapai Rp1,5 miliar. Sugeng Slamet mendapat fasilitas kredit dari BCA sebesar Rp800 juta untuk keperluan ekspansi usahanya ini. “Saat ini sudah kami bangun, targetnya tahun depan sudah bisa mulai produksi,” ungkapnya.
Saat ini UD Gelora memiliki 60 karyawan bagian packing, distributor, dan untuk petani penggarap 24 hektare kebun apel miliknya. Dengan dioperasikannya pabrik tahun depan, diperkirakan membutuhkan tambahan tenaga kerja mencapai 15 orang.
–   Pencapaian ini tentu tak terbayangkan oleh Sugeng Slamet, ketika sekitar 20 tahun lalu dia memutuskan untuk banting setir menjadi pengepul buah. Bagi BCA, Sugeng Slamet adalah contoh pengusaha UKM yang didukung oleh bank swasta terbesar di tanah air ini. Seperti disampaikan Daniel Darmawan, BCA selalu berusaha menawarkan solusi yang dibutuhkan oleh nasabahnya, termasuk KUK BCA yang merupakan kredit usaha dengan plafon maksimal Rp1 miliar dengan bunga yang menarik. “Kami ingin para pengusaha UKM dapat turut berkembang bersama dengan BCA,” katanya. S. Edi Santosa
Exit mobile version