Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa dari 1.597 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), saat iniada 722 BPR yang modalnya masih kurang dari Rp6 miliar. Hal ini disampaikan Direktur Penelitian dan Pengaturan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) OJK Ayahandayani Pelatihan dan Gathering Media Massa Jakarta yang diselenggarakan OJK di Bandung, 3 Mei 2019. Sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Perkreditan Rakyat, OJK menetapkan modal inti minimum BPR sebesar Rp6 miliar.
Menurut Ahandayani, dari 722 BPR yang modalnya masih dibawah Rp6 miliar itu, ada 348 BPR yang modalnya Rp3 miliar – Rp6 miliar. Mereka paling lambat tanggal 31 Desember 2019 harus memiliki modal inti minimal Rp6 miliar. Sedang 374 BPR lainnya yang saat ini modal intinya kurang dari Rp3 miliar, harus memiliki modal inti minimal sebesar Rp3 miliar per 31 Desember 2019 dan memiliki modal minimal sebesar Rp6 miliar paling lambat tanggal 31 Desember 2024. “Dari pantauan OJK, dari 374 BPR itu, sekitar sepertiganya diperkirakan akan memiliki modal mencapai Rp3 miliar di tahun ini,” katanya.
Terkait dengan upaya pemenuhan modal minimal ini, OJK akan merilis aturan terkait penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BPR. Aturan ini dimaksudkan untuk mendorong BPR melakukan merger guna memenuhi kewajiban modal inti minimal tersebut. “Mudah-mudahan POJK-nya akan segera keluar, di situ kami perjelas pelaksanaan merger, akuisisi, dan konsolidasi,” kata Ayahandayani.
Dia menuturkan, OJK akan memberikan insentif bagi BPR yang bersedia melakukan konsolidasi. Salah satu insentif yang diberikan adalah keringanan dalam proses sertifikasi. Saat ini, seluruh proses tersebut sedang dalam proses finalisasi. “Kalau BPR merger dananya lebih besar dan harus ada sertifikasi yang harus dilalui. Nah ini kami kesampingkan dulu. Kami berikan mereka waktu untuk pemenuhannya,” jelasnya.
Menurut Ahandayani, BPR memang perlu memperkuat permodalannya untuk menghadapi ketatnya persaingan sektor jasa keuangan. Tantangan utama BPR saat ini, adalah kemunculan layanan keuangan digital (financial technology/fintech) khususnya peer to peer lending (p to p). Kemunculan fintech tersebut memaksa BPR untuk menyesuaikan baik dari sisi teknologi, manajemen risiko, dan lainnya sehingga mampu bersaing di ranah jasa keuangan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa saat ini terjadi perubahan pola atau masyarakat mengakses lembaga keuangan. Perubahan tersebut kemudian mengharuskan BPR untuk mengimbangi dengan perkembangan teknologi yang ada. Sebab, dari pelayanan yang sebelumnya masih dilakukan secara tatap muka kini sudah harus mulai diubah. “Dulu dengan hubungan pendekatan baik tapi harus diimbangi dengan perkembangan teknologi. BPR harus menyadari pola perilaku kebutuhan masyarakat sudah mulai berubah,” tandasnya. Edi