Perekonomian Indonesia pada tahun 2020 masih akan menghadapi sejumlah tantangan. Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan berada di kisaran lima persen. Berlanjutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta stagnannya pertumbuhan perekonomian dunia, akan berpengaruh pada dinamika investasi dan konsumsi dalam negeri. Hal ini disampaikan Adrian saat berdiskusi dengan wartawan di Graha CIMB Niaga, Jakarta, 26 November 2019.
Menurut Adrian Panggabean, kendati perekonomian Indonesia tahun depan dibayangi sejumlah tantangan, para pelaku usaha diharapkan tetap optimistis. “Perekonomian tentu tak lepas dari tantangan, tapi tentu saja para pelaku pasar harus menatap ke depan dengan optimistis. Manfaatkan setiap peluang terutama dalam kondisi market yang masih volatile,” katanya.
Chief Economist CIMB Niaga ini menyarankan sejumlah solusi. Pertama, dalam jangka pendek, mengingat keterbatasan kebijakan moneter, pemerintah perlu mempertimbangkan pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mendekati tiga persen. Tentu saja dengan merumuskan secara detil kebijakan suplementer yang mampu mereduksi efek negatif dari pelebaran defisit.
Kedua, dalam jangka pendek-menengah, pemerintah perlu agresif menaikkan kontribusi dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap APBN melalui penurunan biaya yang signifikan dan peningkatan produktivitas yang optimal. Juga, perlu memanfaatkan potensi pembiayaan lewat mekanisme sekuritisasi aset pemerintah.
Ketiga, pemerintah dan regulator perlu segera melakukan terobosan dalam meningkatkan mobilisasi tabungan dalam negeri lewat reformasi besar-besaran di industri dana pensiun dan social security. Selain itu, Pemerintah Daerah juga harus menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara netral, untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap dana alokasi dari pusat.
Sementara itu di sisa tahun 2019, Adrian memperkirakan kinerja perekonomian Indonesia masih akan mengalami perlambatan. Hal itu dipicu oleh pertumbuhan investasi dan konsumsi rumah tangga yang melambat di kuartal ketiga. “Tahun ini pelaku usaha menunda keputusan bisnis karena bayangan ketidakpastian, baik yang muncul dari sisi global maupun domestik. Sejalan dengan menurunnya permintaan dan adanya kendala likuiditas, pertumbuhan kredit juga berangsur melambat,” tuturnya.
Di sisi lain, pelemahan harga komoditas dan tingginya suku bunga pada paruh pertama tahun 2019, juga telah menyebabkan rumah tangga mengerem belanjanya. Pada kuartal ketiga tahun ini, dengan mengoreksi faktor musiman, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga antarkuartal bahkan telah mencapai angka terendah dalam sembilan tahun terakhir. “Dengan memperhitungkan semua faktor dan prospek berlanjutnya perlambatan di kuartal keempat, perekonomian Indonesia nampaknya hanya akan bertumbuh maksimum lima persen di tahun 2019,” kata Adrian.
Sementara itu, kurs rupiah diperkirakan terus mengalami perbaikan. Setelah mendekati level Rp15.000 per dolar AS di awal tahun, kini berangsur menguat ke arah Rp14.000 per dolar AS. Hal ini didukung oleh derasnya arus masuk investasi asing di pasar modal. “Geliat pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) yang didorong oleh Bank Indonesia juga berkontribusi pada penguatan dan stabilitas kurs di kisaran Rp14.000 per dolar AS pada enam bulan terakhir,” jelasnya.
Mengenai sektor ritel, Adrian Panggabean mengatakan bahwa pelemahan ekonomi global akan melemahkan daya beli masyarakat, hingga akhirnya sedikit banyak berpengaruh pada sektor ritel pada 2020. “RRitel memang agaknya turun, tapi yang bertahan tampaknya ritel saja. Otomotif turun, KTA (kredit tanpa agunan) turun, kredit konsumsi turun, apartemen, dan rumah turun,” tandasnya.
Menurut dia, penurunan tersebut memang terjadi karena adanya ketidakpastian ekonomi global. Dia juga membantah turunnya sektor ritel karena berkembangnya marketplace di Indonesia, seperti platform belanja online. “Apa ini karena adanya marketplace? Kalau saya hitung bukan. Kalau kita lihat, omzet Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) omzetnya Rp70 triliun rata-rata, sementara konsumsi di GDP itu Rp7.000 triliun,” tutur Adrian.
Dia juga membantah bahwa rendahnya permintaan kredit di perbankan akibat berkembangnya fintech peer to peer (P2P) lending. Alasannya, fintech P2P lending menyasar masyarakat kelas yang berbeda dengan perbankan, bahkan fokus pada kelas unbankable. Terlebih lagi, pertumbuhan pinjaman mencapai Rp300-Rp400 triliun setiap tahun. Sementara akumulasi pinjaman fintech P2P lending hanya mencapai Rp60 triliun. “Lending turun karena diambil P2P? Enggak juga. Total akumulasi cuma Rp60 triliun karena outstanding dia itu cuma Rp10 triliun. Rp 60 triliun itu enggak ada apa-apanya dibandingkan kredit perbankan,” tegasnya. Edi