Site icon Media Asuransi News

Perekonomian Lebih Baik, Kredit 2017 Lebih Tinggi

Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyatakan secara makroekonomi, kondisi Indonesia pada tahun 2016 sudah lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terutama periode tahun 2012-2013. Saat perekonomian memang memburuk, yang berawal sekitar Mei 2013. Padahal Indonesia sedang memasuki siklus ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi 6-6,3 persen. Namun lantas terjadi penurunan harga komoditas dan risiko yang berasal dari bank sentral AS (Federal Reserve). “Kemudian kami memasuki periode penyesuaian di tahun 2013 sampai 2015,” katanya saat berbicara dalam diskusi Arah Kebijakan Bank Indonesia 2017 yang diadakan Jakarta Economic Media Forum, di Jakarta, 1 Desember 2016.
Penyesuaian yang dimaksud adalah kita harus kembali kepada nilai tukar (kurs) yang mencerminkan fundamentalnya. Terutama karena neraca pembayaran kita saat itu juga sedang dalam posisi yang lemah. Saat itu kurs rupiah melemah dari kisaran Rp10.000 per dolar AS ke kisaran Rp13.000 per dolar AS, bahkan hingga menembus Rp14.000 per dolar AS. Saat ini nilai kurs rupiah sudah kembali di kisaran Rp13.000 per dolar AS. “Angka neraca pembayaran kemudian membaik sampai di dua persen dari PDB pada tahun 2015. Anggaran pemerintah juga berhasil dikendalikan dan utang luar negeri berhasil kita kendalikan,” tutur Mirza.
Walaupun saat ini kondisinya relatif lebih baik, BI masih tetap memantau adanya perbaikan harga komoditas dunia. Dengan demikian, diharapkan pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Tanah Air yang menggantungkan kegiatan ekonominya dari komoditas dapat bergerak ke arah perbaikan pula. Sempat anjloknya harga komoditas salah satunya disebabkan perlambatan ekonomi China, konsumen terbesar komoditas. Dengan perlambatan di China, maka permintaan akan komoditas pun merosot dan menyebabkan harga kian jatuh.
Saat ini menurut Mirza Adityaswara memandang, perlambatan pertumbuhan ekonomi China tampaknya sudah terhenti. Padahal, pada 2015 lalu sempat ada kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi China terus turun hingga di bawah enam persen. “Kalau itu terjadi, harga komoditas juga terus turun. Akan tetapi, sekarang ini sudah ada perbaikan, sehingga harga batu bara, karet, CPO, dan nikel sudah ada perbaikan,” katanya.
Dengan perbaikan harga beberapa komoditas andalan tersebut, Mirza berharap perekonomian Sumatera dan Kalimantan dapat kembali tumbuh. Namun demikian, hingga kini perekonomian dua kawasan tersebut belum kembali seperti masa jayanya di tahun 2012 lalu. Berdasarkan BI, pertumbuhan ekonomi kawasan Sumatera mencapai 3,9 persen pada kuartal ketiga 2016. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kawasan Kalimantan pada periode yang sama mencapai 2,1 persen.
Dalam diskusi, Mirza mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi global saat ini memang belum pulih. Hal ini pula yang menurutnya menyebabkan pertumbuhan kredit belum terjadi secara signifikan meskipun bank sentral sudah beberapa kali menurunkan suku bunga acuan. “Kami tidak bisa mengatakan bahwa suku bunga sudah diturunkan dan dilonggarkan, tapi kok ekonominya belum kembali, kreditnya belum kembali? Karena memang kondisi globalnya belum pulih juga. Tetapi kalau kita lihat sudah ada perbaikan,” tuturnya.
Tahun 2016 ini pertumbuhan penyaluran kredit diperkirakan masih di bawah 10 persen. “Pertumbuhan kredit tahun depan bisa 10-12 persen, kalau tahun ini masih di bawah 10 persen. Karena tahun depan sudah dunia usaha sudah lebih siap, kalau tahun ini ‘kan mereka juga masih menunggu tax amnesty waktu itu,” jelas Mirza. Ditambahkan bahwa bank masih melakukan restrukturisasi kredit di 2015 yang diperkirakan proses restrukturisasinya selesai di 2017. Sehingga di tahun depan bank tidak lagi memikirkan restrukturisasi, namun memikirkan ekspansi. Edi
Exit mobile version