Media Asuransi – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pada September 2020 industri asuransi dapat menghimpun pertambahan premi sebesar Rp17,8 triliun, yakni Asuransi Jiwa sebesar Rp11,6 triliun sedangkan Asuransi Umum dan Reasuransi sebesar Rp6,2 triliun.
OJK: Premi Asuransi Terus Bertambah
Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa sebesar 506 persen dan RBC asuransi umum sebesar 330 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.
“Namun pertumbuhan premi industri asuransi masih terkontraksi. Pertumbuhan premi asuransi umum dan reasuransi terkontraksi, yakni minus 3,25 persen, lebih besar dibandingkan kontraksi pertumbuhan di bulan Agustus yakni minus 0,2 persen, Sedangkan pertumbuhan premi asuransi jiwa mengalami kontraksi sebesar minus 11,39 persen, lebih besar dibandingkan kontraksi pada bulan Agustus yang pertumbuhannya minus 9,3 persen,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, dalam jumpa pers secara virtual, Senin, 2 November 2020..
Di luar industri asuransi, OJK mencatat kinerja intermediasi sektor keuangan hingga September masih tumbuh positif dan tingkat prudensial jugatetap terjaga pada level yang terkendali. Wimboh menjelaskan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat sebesar 12,88 persen yoy (year on year). “Sementara itu, setelah mengalami kontraksi yang cukup dalam pada bulan April sampai Juni 2020, kredit perbankan masih mencatatkan pertumbuhan yang positif sebesar 0,12 persen yoy,” katanya.
Meskipun kredit tumbuh melambat di bulan September ini, tetapi OJK melihat bahwa mulai terjadi pertumbuhan positif secara month to month (mtm) yaitu 0,16 persen yang ditopang oleh kredit Bank BUMN. Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumtif mulai menunjukkan pertumbuhan positif secara mtm sejak pandemi Covid-19 yang terutama berasal dari kredit rumah tangga (peralatan rumah tangga dan multiguna) yang tumbuh 2,05 persen mtm.
“Berbagai kebijakan stimulus yang diberikan OJK dan Pemerintah telah memberikan dampak positif pada segmen UMKM, tercermin dari kenaikan pertumbuhan yang positif secara mtm di dua bulan terakhir yakni di bulan Agustus tumbuh positif 0,18 persen month to month dan September tumbuh 0,78 persen month to month,” kata Wimboh.
Sementara itu, piutang perusahaan pembiayaan tercatat terkontraksi sebesar 14,4 persen yoy seiring belum pulihnya pasar kendaraan bermotor yang merupakan sektor ekonomi yang memiliki kontribusi terbesar dalam pembiayaan.
Permodalan lembaga jasa keuangan sampai saat ini relatif terjaga pada level yang memadai, Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan tercatat sebesar 23,39 persen. Profil risiko lembaga jasa keuangan pada September 2020 juga masih terjaga dengan rasio NPL gross perbankan tercatat sebesar 3,15 persen (NPL net: 1,07 persen) dan Rasio NPF perusahaan pembiayaan sebesar 4,9 persen.
Sampai dengan 26 Oktober 2020, di pasar modal jumlah penawaran umum yang dilakukan emiten mencapai 141, dengan total nilai penghimpunan dana mencapai Rp93,4 triliun. Dari jumlah penawaran umum tersebut, 45 di antaranya dilakukan oleh emiten baru. Dalam pipeline saat ini terdapat 49 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran sebesar Rp20,75 triliun.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pihaknya akan terus mengoptimalkan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional melalui penguatan peran sektor jasa keuangan. “OJK berkomitmen kuat untuk mendukung program percepatan pemulihan ekonomi nasional dan siap mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan secara terukur dan tepat waktu untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional,” tandasnya.
OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan tetap dalam kondisi terjaga berkat sejumlah kebijakan yang telah dilakukan termasuk pemberian restrukturisasi kredit perbankan. Oleh karena itu, diputuskan untuk memperpanjang masa pemberian relaksasi restrukturisasi kredit perbankan selama setahun terhitung dari Maret 2021 menjadiMaret 2022.
“Kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang sudah dikeluarkan OJK sejak Maret tahun ini terbukti bisa menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dari tekanan ekonomi akibatdampak pandemi Covid-19. Sehingga untuk tahapan percepatanpemulihan ekonomi kita perpanjang lagi sampai Maret 2022,” kata Wimboh Santoso.
Hingga 5 Oktober 2020 realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan sebesar Rp914,65 triliun untuk 7,53 juta debitur yang terdiri dari 5,88 juta debitur UMKM senilai Rp361,98 triliun dan 1,65 juta debitur non UMKM senilai Rp552,69 triliun.
Sementara itu, untuk restrukturisasi pembiayaan perusahaan pembiayaan, hingga 27 Oktober sudah mencapai Rp177,66 triliun dari 4,79 juta kontrak. Sedangkrestrukturisasi pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro dan Bank Wakaf Mikro hingga 31 Agustus masing-masing mencapai Rp26,44 miliar untuk 32 LKM dan Rp4,52 miliar untuk 13 BWM.
Selain relaksasi restrukturisasi kredit, OJK juga tengah menyiapkan perpanjangan beberapa stimulus lanjutan seperti pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.
Di masa pandemi covid 19 ini, OJK memfokuskan upaya percepatan pemulihan ekonomi pada lima hal. Pertama, melanjutkan implementasi relaksasi kebijakan restrukturisasi dalam POJK 11 sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi akibat kondisi pandemi. “Tentunya, perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard,” tutur Wimboh.
Langkah kedua, mempercepat gerak roda ekonomi di daerah-daerah guna menopang ekonomi nasional yang di antaranya dilakukan dengan menfasilitasi percepatan serapan government spending. Ketiga, mengoptimalkan peran industri keuangan secara berkelanjutan melalui dukungan pembiayaan kepada usaha padat karya dan atau konsumsi yang memiliki multiplier effect tinggi terhadap ekonomi.
Keempat, mempercepat terbangunnya ekosistem digital ekonomi dan keuangan yang terintegrasi, serta melanjutkan reformasi IKNB (Industri Keuangan Non Bank) dan pasar modal sehingga sektor-sektor tersebut memiliki daya tahan yang kuat dan berdaya saing. Kelima, penguatan pengawasan terintegrasi didukung dengan percepatan reformasi IKNB dan Pasar Modal. Edi