PT Asuransi Cigna (Cigna Indonesia) merilis hasil survei Skor Kesejahteraan 360° yang dilakukan Cigna Corporation dengan tema ‘Well and Beyond’. Survei dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang tingkat kesejahteraan mereka, melalui lima pilar utama yakni fisik, keluarga, sosial, keuangan, dan pekerjaan. Menurut hasil survei yang dilakukan secara global di 22 negara, pada tahun ini tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia meningkat hingga berhasil masuk ke jajaran lima besar indeks kesejahteraan global, naik signifikan dibanding peringkat 14 pada tahun lalu.
Hal ini disampaikan Direktur Cigna Indonesia Phil Reynolds dalam jumpa pers yang berlangsung di kantornya, di Jakarta, 26 Maret 2019. Dia jelaskan tahun ini survei Skor Kesejahteraan 360° memasuki tahun kelima. “Dalam survei kali ini, skor kesejahteraan masyarakat Indonesia berada di peringkat keempat dengan indeks kesejahteraan yang melompat 4,4 poin dari 61,0 menjadi 65,4. Indonesia berhasil keluar dari jajaran 10 negara dengan persepsi kesejahteraan terendah,” katanya.
Menurut Phil Reynolds, hasil survei tersebut menjadi acuan bagi Cigna Indonesia dalam membuat produk yang sesuai kebutuhan masyarakat. Dari hasil survei tersebut, perseroan mengetahui hal-hal yang penting bagi masyarakat, apa yang mereka perlukan, dan apa prioritasnya ke depan. Dengan informasi tersebut, Cigna Indonesia akan menyediakan produk yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Sementara itu Chief Marketing and Strategic Partnership Officer Cigna Indonesia Akhiz Nasution mengatakan bahwa berkaca dari survei itu, Cigna Indonesia dapat menyiapkan produk-produk proteksi yang sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia. “Market di Indonesia penetrasinya masih sangat kecil, baru sekitar dua persen. Lewat survei ini, kami dapat memberi kontribusi positif. Produk-produk yang kami keluarkan disesuaikan dengan kebutuhan. Sesuai misi kami, ingin mendukung masyarakat Indonesia dalam meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan rasa aman,” paparnya.
Dia jelaskan, dalam survei itu terungkap bahwa semakin banyak responden yang merasa mereka berhasil menjaga makan agar tetap sehat, memiliki waktu untuk berolah raga, berat badan ideal, dan tidur yang cukup. “Masyarakat Indonesia juga merasa mereka semakin mampu menjaga kesejahteraan keluarga mereka, dilihat dari kemampuan menjaga kesehatan dan menjamin keuangan pasangan, anak, dan orang tua mereka. Indeks kenaikan tertinggi terlihat dari kepercayaan diri masyarakat Indonesia dalam menjamin kesejahteraan dan pendidikan anak mereka, poinnya naik 15 poin, dari 40 menjadi 55,” tutur Akhiz.
Secara keuangan, masyarakat Indonesia juga semakin percaya diri. Hal itu dilihat dari kemampuan mereka membayar kebutuhan edukasi keluarga mereka. Selain itu, kata dia, dari survei terungkap bahwa semakin banyak masyarakat Indonesia yang merasa puas dengan paket gaji dan kompensasi dari tempat mereka bekerja, meskipun hal tersebut harus dibayar dengan bertambahnya tanggung jawab di kantor.
Mayoritas masyarakat Indonesia, atau sebanyak 76 persen, mengungkapkan bahwa kantor mereka menyediakan program-program kesejahteraan seperti klub kesehatan, olah raga, kelas sharing, dan lain-lain. Angka ini cukup tinggi ketimbang rata-rata global yang hanya 46 persen. Hampir setengah responden, 48 persen, juga mengungkapkan bahwa kantor mereka menyediakan sarana dan dukungan untuk mengurangi stress. Angka ini juga cukup tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 28 persen.
Terkait usia tua, masyarakat Indonesia memiliki waktu yang cukup singkat dalam mempersiapkan usia tua, karena mayoritas responden menyebut masa tua dimulai pada usia 57 tahun. Dari 22 negara yang disurvei, Indonesia adalah negara dengan jawaban usia tua terendah. Dalam survei, rata-rata global menyebut usia tua dimulai pada 63 tahun. Meskipun sudah merasa tua di usia yang relatif muda, 64 persen masyarakat Indonesia merasa sudah siap secara finansial menghadapi usia tua, dibandingkan responden global yang hanya 38 persen yang siap.
“Selain itu, hampir 80 persen masyarakat di Indonesia siap menyambut usia tua yang aktif dan sehat. Ini sebuah fakta yang cukup positif mengingat perekonomian negara bisa terbantu dengan banyaknya masyarakat usia tua yang sehat dan ingin tetap memberikan kontribusi,” tutur Akhiz. Dia tambahkan, tak hanya siap secara fisik, tambahnya, ternyata 87 persen masyarakat Indonesia juga merasa siap secara mental dalam menghadapi usia tua.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa lebih dari setengah masyarakat Indonesia ingin terus bekerja di usia tua. Alasannya cukup beragam, salah satunya agar tetap up to date dengan kondisi terkini, ingin tetap sibuk, serta ingin memberikan panduan dan nasihat kepada pekerja yang lebih muda. Menurut survei, para pekerja muda pun antusias untuk bekerja bersama generasi yang lebih tua. Sebanyak 69 persen dari responden usia muda di Indonesia mengatakan mereka mau bekerja bersama generasi yang lebih tua. Di negara lain yang disurvei, hanya sepertiga perusahaan yang berkenan mempekerjakan generasi yang lebih tua. Namun di Indonesia, lebih dari setengah perusahaan justru bersedia mempekerjakan usia tua.
Mengenai kesadaran masyarakat terhadap kesehatan jantung, survei ini juga mengungkap sebanyak 57 persem responden di Indonesia mengatakan mereka mengetahui besaran BMI (Body Mass Index) mereka. Angka itu di atas rata-rata global yang hanya 51 persen.
Sementara itu, 84 persen responden mengaku tahu tekanan darah mereka. Angka itu di atas rata-rata global yang hanya 66 persen. Hal ini menunjukkan, masyarakat Indonesia cukup memahami pentingnya mengetahui faktor-faktor yang mengindikasikan kondisi kesehatan mereka. Meski demikian, mayoritas orang Indonesia pernah mengalami setidaknya dua indikasi penyakit jantung yaitu sakit di dada dan sesak nafas. “Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari dua indikasi penyakit jantung itu mereka rasakan selama enam bulan terakhir. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 1,5 indikasi,” kata Akhiz Nasution.
Sementara itu terkait dengan stress pada perempuan Indonesia, Direktur Cigna Indonesia Nefo Luhur Dradjati memaparkan bahwa survei tersebut juga mengungkap tentang tingkat stres pada perempuan di Indonesia. Meskipun tingkat stres di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain yang disurvei (77 persen dibandingkan 84 persen), perempuan yang bekerja merasa lebih stres dibandingkan pria bekerja, yaitu di Indonesia sebesar 84 persen dibandingkan secara global sebanyak 76 persen.
Biasanya, perempuan stres karena tekanan pekerjaan, memikirkan kondisi keuangan keluarga, dan keuangan pribadi. Hanya satu dari tiga perempuan yang merasa percaya diri atas kondisi keuangan mereka. “Meskipun pria masih dianggap sebagai pencari nafkah utama, perempuan pekerja merasa mereka tetap harus berkontribusi terhadap keuangan keluarga,” kata dia Nefo.
Sama seperti responden global, mayoritas perempuan di Indonesia merasa bahwa program kesejahteraan karyawan di kantor diadakan hanya untuk memberikan manfaat secara umum, tidak dikhususkan kepada kebutuhan perempuan pekerja. Oleh karena itu, responden perempuan berharap agar kantor mereka dapat mengadakan program kesejahteraan yang dikhususkan kepada perempuan. Mayoritas pekerja perempuan, baik yang masih lajang, menikah maupun memiliki anak, semua berharap dapat mengambil lebih banyak cuti untuk mengatasi stres yang diakibatkan pekerjaan. “Jumlah perempuan bekerja di Indonesia terus meningkat, oleh karena itu, program kesejahteraan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Perempuan bekerja harus merasa mendapat dukungan penuh dari perusahaan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sonia Wibisono mengatakan bahwa dalam hidup sehat perlu memperhatikan pola makan, aktivitas, tidur yang cukup dan berkualitas, dan mampu melampiaskan stres. Di Indonesia, perempuan bekerja memang lebih stres ketimbang kaum pria. Sebab, mereka multitasking, bekerja di kantor dan di rumah. Namun, menurut Sonia, untuk menghilangkan stres dan merasakan kebahagiaan adalah kembali pada diri sendiri. “Bahagia berasal dari kita sendiri, bukan dari orang lain. Caranya mensyukuri apa yang kita punya,” ujarnya. Edi