Oleh : Dody A S Dalimunthe
Siaran pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tanggal 2 Januari 2023, menunjukkan gambaran umum kondisi industri keuangan di tahun 2023 dan prediksi yang akan dihadapi di tahun 2023. Di sektor IKNB, industri asuransi telah menguji daya tahan saat melalui kondisi pandemi Covid-19 tahun 2020 hingga 2022 dengan menunjukkan pertumbuhan akumulasi premi asuransi 0,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya, termasuk asuransi umum tumbuh 14,06 persen yoy.
Meskipun produksi premi mengalami pertumbuhan, RBC dalam tren yang menurun dan beberapa dalam monitor ketat, meskipun secara agregat RBC industri asuransi masih berada di atas threshold 120 persen. Ini berarti terdapat pertumbuhan liability yang bisa dalam bentuk peningkatan klaim maupun pencadangan teknis. Kondisi ini dapat berdampak kepada stabilitas kondisi keuangan perusahaan asuransi dan dapat ‘menular’ ke dalam ekosistem industri asuransi itu sendiri karena adanya saling keterkaitan dalam proses bisnis.
Untuk menjaga stabilitas industri asuransi dan sektor jasa keuangan secara umum, maka OJK telah mengambil beberapa kebijakan antisipatif dan terukur di tahun 2022. Perusahaan asuransi diminta menjalankan praktik underwriting secara prudent dan menghindari praktik persaingan usaha tidak sehat dalam bentuk perang tarif, sehingga besaran premi yang dikenakan kepada pemegang polis sesuai dengan tingkat risiko asuransi yang ditanggung atau dikelola oleh perusahaan asuransi. Diskusi tentang keseimbangan tarif premi asuransi kemudian menjadi berkembang ke wacana pengaturan tarif premi.
Secara umum harga suatu komoditas akan terbentuk dari mekanisme pasar berdasarkan tingkat permintaan konsumen dan ketersediaan komoditas tersebut di pasar. Demikian pula dengan industri asuransi. Perusahaan asuransi membuat produk asuransi dan memasarkannya ke calon tertanggung dengan tarif premi tertentu, setelah menghitung estimasi biaya yang akan muncul serta tingkat keuntungan yang diharapkan. Kompetitor juga akan melakukan hal yang sama sehingga calon tertanggung dihadapkan kepada pilihan. Secara umum pilihan konsumen akan mengacu kepada harga yang lebih murah.
Karena asuransi adalah bidang jasa, dan manfaat produk tersebut akan diterima di waktu yang berbeda dengan saat membeli produk asuransi, maka konsumen harus yakin bahwa pelayanan (service) yang akan diterima saat pengajuan klaim asuransi nanti harus memuaskan sesuai ekspektasi tertanggung. Sehingga untuk jasa asuransi, besaran premi asuransi yang dibayar seharusnya bukan menjadi hal utama bagi konsumen dalam memilih penyedia jasa asuransi. Masalahnya tidak semua konsumen asuransi memiliki tingkat pengetahuan yang sama tentang proses bisnis asuransi dan berpendapat bahwa perusahaan asuransi akan menerapkan standar pelayanan yang sama. Sehingga konsumen asuransi tetap memilih produk asuransi yang tarif preminya lebih murah.
Dari sisi perusahaan asuransi sudah ada ketentuan dalam menetapkan tarif premi atas produk asuransi yang dipasarkan ke konsumen. Karena variabel utama pengelolaan asuransi adalah kemampuan membayar klaim saat kerugian terjadi, maka komponen ‘premi risiko’ tidak boleh lebih rendah dari statistik ‘loss ratio’. Sehingga jika ingin bersaing harga dengan kompetitor maka yang dikurangi adalah biaya-biaya selain ‘premi risiko’ tersebut, dengan tetap memperhatikan kelangsungan produk asuransi dan tentunya pelayanan kepada tertanggung saat klaim.
Untuk jenis produk-produk asuransi yang tingkat risikonya kompleks dan sasaran pasar korporasi atau tertanggung tertentu, maka tarif premi asuransi dapat disepakati antara penanggung dan tertanggung, tentunya tetap berdasarkan statistik risiko. Namun untuk produk-produk asuransi yang ditujukan kepada tertanggung masyarakat banyak, karena produk asuransi ini dibeli oleh hampir semua orang, seperti asuransi atas gedung dan kendaraan bermotor, maka perlu dijaga agar tingkat kompetisi tidak sampai mengurangi ‘premi risiko’ yang akan berpotensi terhadap tingkat kesehatan keuangan perusahaan asuransi, dan berdampak kepada kemampuan membayar klaim ke Tertanggung. Untuk itulah maka regulator mengatur tarif premi asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor dalam SEOJK nomor 6/SEOJK.05/2017 tentang Penetapan Tarif Premi atau Kontribusi pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda dan Asuransi Kendaraan Bermotor. Hal yang sama juga terjadi di iuran premi BPJS, meskipun dengan kondisi yang berbeda karena penyedia jasanya tunggal tanpa kompetisi.
Khusus untuk produk asuransi kredit, masalah yang muncul akhir-akhir ini adalah pada proses manajemen risiko saat penerimaan risiko dari bank ke perusahaan asuransi. Di awal pandemi Covid-19, AAUI telah menghimbau semua perusahaan asuransi penerbit asuransi kredit untuk melakukan review apakah seleksi risiko telah berjalan dengan baik, dengan keseimbangan tingkat premi yang sesuai. Karena periode kredit adalah jangka panjang, maka pencadangan teknis juga menjadi hal yang penting agar penanggung memiliki kemampuan yang cukup saat membayar klaim.
Kedua hal tersebut, keseimbangan tingkat premi dan pencadangan teknis, kemudian menjadi perhatian industri asuransi dan OJK, karena dengan bertambahnya penerbit polis asuransi kredit sejak tahun 2016 yang ditunjukkan dengan peningkatan premi asuransi kredit, juga terjadi peningkatan klaim asuransi kredit. Pandemi covid-19 kemudian menjadi momentum bagi seluruh penerbit polis asuransi kredit termasuk reasuradur yang menerima sesi pertanggungan ulang risiko untuk me-review kemampuan membayar klaim. Review secara menyeluruh juga melibatkan perbankan dalam hal coverage risiko yang diperjanjikan dalam polis.
Karena masalah yang cukup kompleks melibatkan banyak pihak di tengah kompetisi serta penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko dalam proses bisnis asuransi kredit, maka ada masukan agar asuransi kredit juga diatur batasan-batasan risiko, tarif, dan komisi seperti halnya asuransi harta benda dan asuransi kendaraan bermotor.
Pada prinsipnya pengaturan tarif premi asuransi adalah untuk melindungi konsumen asuransi agar terhindar dari ketidakadilan saat menerima haknya. Sejalan dengan hal tersebut, juga untuk menjaga kelangsungan bisnis penyedia jasa asuransi agar dapat mengelola liability dengan baik untuk memastikan kemampuan bayar saat terjadi klaim. Pada saatnya nanti setelah masyarakat terliterasi dengan baik tentang asuransi dan penerapan tata kelola serta manajemen risiko sudah terlaksana dengan baik, maka premi asuransi sebaiknya diserahkan kepada mekanisme pasar.
Wakil Ketua AAUI untuk Bidang Information & Applied Technology, Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News