Kasus terinfeksi Covid-19 yang muncul pertama kali di Indonesia pada awal Maret 2020 dan berlangsung hingga saat ini, ternyata tak menyurutkan minat perusahaan untuk menggalang pendanaan di pasar modal melalui penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham. Tak hanya sekadar minat, tetapi rencana go public tersebut benar-benar dieksekusi oleh perusahaan.
Tingginya eksekusi perusahaan melakukan IPO saham tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 tak serta merta menyebabkan perusahaan menunda rencana ekspansinya. Pasalnya, pada umumnya, dana hasil IPO akan digunakan untuk pengembangan dan ekspansi usaha.
Selain itu, pertimbangan IPO tetap semarak pada masa pandemi Covid-19 karena beban penggalangan dana (cost of fund) lebih murah dibandingkan dengan meminjam kredit kepada perbankan karena tidak perlu membayar
bunga pinjaman. Dengan IPO, perusahaan cukup melepas sebagian sahamnya kepada publik untuk mendapatkan dana segar.
Berdasarkan data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga 30 September 2020, terdapat 46 perusahaan yang resmi mencatatkan sahamnya di lantai bursa. Bila dibagi berdasarkan periode prapandemi dan pascapandemi, terdapat 14 emiten baru yang listing pada periode Januari-Februari 2020 atau periode kasus Covid-19 belum muncul di Indonesia.
Sementara itu, pada periode Maret-September 2020 saat kasus Covid-19 mulai menyebar, jumlah emiten baru jauh lebih besar dibandingkan dengan periode prapandemi yakni mencapai 32 emiten baru. Bahkan, pada September 2020 jumlah perusahaan yang melangsungkan hajatan IPO saham mencatatkan jumlah terbesar yakni mencapai sembilan perusahaan, disusul pada April (mulai diberlakukan kebijakan Pembatasan
Sosial Berskala Besar/PSBB) yang mencatatkan jumlah IPO saham sebanyak tujuh perusahaan.
Sementara itu, data BEI sejak Januari-awal September 2020 men catat nilai IPO saham mencapai Rp4,46 triliun dari 40 emiten baru.
Di pihak lain, mengutip data statistik Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per pekan keempat Agustus 2020, nilai IPO saham sejak Januari-Agustus 2020 mencapai Rp3,73 triliun dari 34 emiten baru dengan IPO paling besar dicatatkan oleh PT Metro Healthcare Indonesia Tbk dengan nilai Rp1,03 triliun. Selebihnya, nilai IPO yang dicatatkan mayoritas di bawah Rp100 miliar alias IPO dengan nilai mini.
Berdasar sektoralnya, perusahaan dari sektor perdagangan, jasa, dan investasi mendominasi IPO saham yaitu sebanyak 12 emiten. Disusul sektor properti dan real estate sebanyak delapan emiten. Kemudian sektor industri barang konsumsi dan sektor infrastruktur, utility, dan transportasi, masing-masing empat emiten.
Dari sisi jumlah emiten baru dan nilai IPO memang ada perbedaan antara data dari BEI dan OJK karena model pencatatan yang berbeda. Data BEI berdasar angka real time, sedangkan data dari OJK tidak real time.
Sepanjang tahun ini, BEI menargetkan emiten baru yang mencatatkan saham di lantai bursa alias IPO saham mencapai 57 emiten atau meningkat dibandingkan de ngan realisasi tahun 2019 se banyak 55 emiten denga nilai emisi mencapai Rp15,32 triliun. Dengan realisasi hingga September 2020, target tersisa yang harus dipenuhi BEI adalah sebanyak 11 perusahaan. Namun demikian dari sisi nilai, masih menjadi tantangan berat bagi BEI un tuk melampaui nilai IPO saham pada tahun 2019.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia mengungkapkan bahwa saat ini BEI masih mengantongi enam perusahaan yang masuk dalam pipeline IPO. Sektor usahanya pun beraneka ragam mulai dari sektor properti, real estate, dan konstruksi perdagangan; sektor perdagangan, jasa, dan in vestasi; hingga sektor aneka industri dan perkebunan.
Menurut Nyoman, ke butuhan pendanaan baik untuk membiayai ekspansi bisnis maupun operasional perusahaan menjadi faktor pendorong yang membuat perusahaan tetap mengeksekusi rencana IPO saham di tengah pandemi Covid-19.
Dia pun optimistis, ke depan masih banyak perusahaan yang akan memanfaatkan pasar modal guna memenuhi kebutuhan pendanaan dalam rangka pengembangan dan ekspansi usaha. Otoritas pasar modal pun berkomitmen untuk memberikan berbagai kemudahan baik bagi perusahaan yang akan melakukan IPO saham maupun bagi investor yang akan berinvestasi di pasar modal.
Capital Gain
Bagi investor, semaraknya IPO saham ini juga memberikan keuntungan yang sangat menjanjikan. Tak heran apabila saham IPO selalu menjadi rebutan baik oleh investor institusi maupun investor ritel.
Berdasar kinerja harga saham dari para emiten baru ini, mayoritas emiten pendatang baru ini mencetak capital gain dengan perincian sebanyak 17 emiten mencetak capital gain di atas 100 persen, sedangkan delapan emiten mencetak capital gain di atas 50 persen, dan tujuh emiten mencetak capital gain di atas 10 persen.
Namun demikian, ada juga emiten baru yang justru mencatatkan capital loss hingga 50 persen. Namanya berinvestasi, pasti ada yang untung dan rugi, tergantung bagaimana pertim bangan saat memutuskan untuk berinvestasi pada sebuah perusahaan. Oleh karena itu, dalam memilih saham emiten baru, investor harus mempertimbangkan faktor fund amental perusahaan agar tidak terjebak pada saham-saham gorengan.
Pergerakan saham emiten baru yang atraktif ini juga diwarnai drama antara lain pengenaan auto reject atas (ARA), pengawasan otoritas bursa melalui Unusual Market Activity (UMA), hingga penghentian sementara (suspensi) saham.
Di sisi lain, moncernya kinerja saham mayoritas emiten pendatang baru ini tak sejalan dengan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sejak awal tahun hingga 30 September 2020 mencatatkan kinerja minus 22,69 persen. Bahkan, posisi IHSG tergelincir di bawah level 5.000.
Senior Manager Research Analyst PT Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menilai, maraknya IPO saham saat ini karena mayoritas bersifat strategis yang memiliki orientasi untuk pengembangan dan ekspansi bisnis.
Menurutnya, IPO saham bersifat strategis tersebut ditandai dengan beberapa emiten yang tujuan penggunaan dana hasil IPO antara lain untuk konversi obligasi dan pembelian aset berelasi. Konversi kewajiban keuangan menjadi saham dan pembelian aset berelasi, sambungnya, akan meningkatkan arus kas perusahaan di masa depan untuk ekspansi karena dapat mengurangi pembayaran bunga utang dan biaya sewa aset. “IPO strategis tentu lebih mudah karena sudah ada pembeli siaga dan tidak banyak yang dilempar ke investor publik (pooling) yang hanya dikasih satu persen saja dari total nilai emisi,” jelasnya kepada Media Asuransi.
Terkait dengan prospek kinerja saham dari emiten baru ini, dia mengatakan outlook kinerja saham emiten baru akan bergantung pada prospek sektor usaha. “Menurut saya, sektor properti masih berat untuk tumbuh signifikan. Berbeda dengan consumer goods dan farmasi yang menurut saya masih lebih baik potensi pertumbuhannya,” ujarnya.
Dengan realisasi IPO saham hingga akhir September 2020, Robertus mem perkirakan realisasi IPO saham hingga akhir tahun 2020 bakal melampaui realisasi IPO tahun 2019. “Sepertinya untuk melampaui pencapaian tahun lalu sebanyak 55 emiten, menurut saya peluang nya cukup besar.” Achmad Aris