Unit Usaha Syariah (UUS) PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga Syariah) memasang target menjadi bank syariah terbesar kedua di Indonesia dari sisi aset, empat tahun lagi atau di tahun 2023. Per September 2018 nilai aset CIMB Niaga Syariah mencapai Rp31,2 triliun yang menempatkannya di posisi pertama UUS terbesar di Indonesia. Pertumbuhan aset CIMB Niaga Syariah hingga sembilan bulan pertama 2018 mencapai 63,7 persen secara year on year (yoy). Dalam periode ini total pembiayaan tercatat sebesar Rp24,1 triliun atau naik 62,5 persen yoy. Hal ini disampaikan Direktur Syariah Banking (CIMB Niaga) Pandji P Djajanegara dalam Media Training tentang Perbankan Syariah yang diadakan CIMB Niaga Syariah di Bogor, 7 Desember 2018.
“Target aset di 2023 sebesar Rp90-Rp95 triliun dengan nilai financing sekitar Rp62 triliun. Menurut perkiraan, dengan aset sebesar itu kami akan ada di posisi kedua bank syariah terbesar di Indonesia,” kata Pandji. Dia jelaskan, saat ini CIMB Niaga Syariah ada di posisi kelima bank syariah terbesar di Indonesia dari sisi aset. Selisih aset CIMB Niaga Syariah dengan bank syariah yang ada di urutan kedua, saat ini sekitar Rp24 triliun, sehingga perseroan yakin dapat mengejar di posisi kedua karena masih ada waktu empat tahun. “Kalau kita tahun ini tumbuh sekitar Rp9 triliun sedang yang di peringkat atasnya hanya tumbuh sekitar Rp4-Rp5 triliun, maka selisihnya akan semakin dekat. Jika laju pertumbuhannya tetap, maka dari tahun ke tahun selisihnya akan semakin kecil,” tandasnya.
Menurut Pandji P Djajanegara, meningkatnya aset CIMB Niaga Syariah didorong oleh kinerja pembiayaan dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Per 30 September 2018, total pembiayaan tercatat sebesar Rp24,1 triliun atau naik 62,5 persen yoy. Penyaluran pembiayaan tetap diimbangi dengan asas kehati-hatian yang tercermin dari tingkat rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) sebesar 1,07 persen. “Keikutsertaan kami dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah, menjadi salah satu kontributor utama yang meningkatkan penyaluran pembiayaan di segmen Business Banking. Sementara di segmen Consumer Banking, kenaikan disumbang oleh pembiayaan perumahan yang terus tumbuh secara positif,” katanya.
Sejalan dengan pertumbuhan pembiayaan, penghimpunan DPK juga meningkat sebesar Rp22,0 triliun atau tumbuh 30,3 persen yoy. CIMB Niaga Syariah terus meningkatkan DPK dengan menggenjot dana murah, di antaranya melalui kerja sama kartu debit Tabungan iB ON Account dengan HIJUP (HIJUP Membership Card) dan Ria Miranda (RMLC Affinity Card) untuk menggarap segmen komunitas muslim.
Dengan kinerja bisnis yang positif, CIMB Niaga Syariah berhasil meningkatkan laba sebelum pajak (profit before tax/PBT) sebesar Rp523,5 miliar atau naik 45,2 persen yoy. “Untuk menjaga profitabilitas dan keberlanjutan bisnis ke depan, kami akan memaksimalkan penawaran produk produk unggulan kepada nasabah dan menghadirkan inovasi melalui produk-produk baru seperti CIMB Niaga Syariah Platinum Card,” ujar Pandji.
Dia juga menuturkan bahwa pertumbuhan pembiayaan perusahaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang tercatat sebesar 7,8 persen yoy, atau periode September 2017 ke September 2018. Menurut Pandji, pada umumnya pertumbuhan pembiayaan UUS memang jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pembiayaan secara industri. Kondisi ini yang ingin dimaksimalkan CIMB Niaga Syariah sebelum nantinya akan melakukan spin off pada tahun 2023. “Kalau sudah spin off, pertumbuhannya tidak akan bisa setinggi saat masih UUS, paling tidak untuk pertumbuhan profitability,” katanya.
Sementara itu dalam sesi sebelumnya, Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center Sapta Nirwandar menyoroti pangsa pasar (market share) perbankan syariah di Indonesia yang dinilai masih kecil bila dibandingkan dengan negara mayoritas Muslim lainnya. Saat ini pangsa pasar perbankan syariah Indonesia baru sekitar 5,7 persen. Sementara pangsa pasar perbankan syariah Malaysia sudah sebesar 23,8 persen. Bahkan Arab Saudi mencapai 51,1 persen.
Menurut dia, ada beberapa hambatan yang membuat bank syariah lambat berkembang di Tanah Air. Di antaranya belum selarasnya visi dan koordinasi antarpemerintah dan otoritas, permodalan yang kurang memadai, struktur pendanaan bank syariah masih mengandalkan pembiayaan dari dana mahal sehingga tidak efisien. Selain itu, produk bank syariah pun masih tidak variatif sehingga kurang begitu menarik bagi masyarakat. Pengaturan dan pengawasan bank syariah juga masih belum optimal, ditambah pemahaman sekaligus kesadaran masyarakat yang masih kurang terhadap perbankan syariah.
“Jadi bukan sepenuhnya salah bank syariah. Hal itu karena masyarakat memang masih cuek. Dengan begitu perlu awareness dan edukasi ke masyarakat,” ujar Sapta Nirwandar. Dia meyakini bila regulasi sudah serius kemudian kesadaran masyarakat yang meningkat, maka perbankan syariah akan semakin berkembang. S. Edi Santosa