1
1

CORE Indonesia Sebut RI Alami Dilema Kebijakan Moneter, Begini Penjelasannya!

Ilustrasi. | Foto: Bank Indonesia

Media Asuransi, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan ketidakpastian global semakin menguat dan menciptakan tantangan baru bagi stabilitas ekonomi dunia. Peningkatan risiko tercermin dari lonjakan Global Economic Policy Uncertainty (GEPU) Index yang mencapai level tertinggi.

Peningkatan risiko itu muncul disertai kembali meningkatnya inflasi di negara besar seperti Amerika Serikat, zona euro, Jepang, Inggris, dan China. Kondisi ini memicu divergensi kebijakan moneter global di mana The Fed mempertahankan suku bunga tinggi di level 4,5 persen, sementara Bank Indonesia (BI) memangkas BI Rate menjadi 5,25 persen.

Dalam konteks tersebut, langkah BI menurunkan suku bunga acuan justru memicu tekanan pada pasar keuangan domestik. Keputusan BI melakukan penyesuaian suku bunga mengakibatkan derasnya arus modal keluar.

|Baca juga: Tarif Amerika Serikat Turun, Indonesia Bakal Untung atau Buntung?

|Baca juga: PAI Prediksi Ada 1.000 Aktuaris Bersertifikasi ASAI hingga FSAI di RI

“Meski IHSG dan yield obligasi 10 tahun kembali menguat setelah terpuruk, pada kuartal kedua 2025 tercatat net outflow sebesar -42,16 yang didominasi outflow SBI/SRBI,” kata CORE, dikutip dari CORE Midyear Review 2025 bertajuk ‘Terhimpit Pemulihan Domestik, Terguncang Risiko Global‘, Selasa, 29 Juli 2025.

Kendati menghadapi tekanan arus modal keluar, namun stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga melalui intervensi aktif Bank Indonesia. BI mempertahankan stabilitas rupiah melalui Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).

Kestabilan ini didukung peningkatan Utang Luar Negeri (ULN) sebesar 14 persen dan cadangan devisa BI sebesar US$153 miliar untuk mengimbangi arus modal keluar. “Era suku bunga tinggi berdampak pada performa sektor perbankan nasional,” kata CORE Indonesia.

Kondisi ini memicu melemahnya pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga, berakibat pada perlambatan uang beredar dan tekanan disinflationary. Penurunan pertumbuhan M2 menyebabkan penyempitan Loan-to-Deposit Ratio (LDR), dengan proporsi undisbursed loan mencapai 29,8 persen menunjukkan pelaku usaha masih melihat dan menunggu untuk ekspansi.

Tekanan perbankan berdampak signifikan pada sektor UMKM yang mengalami kondisi semakin berat. Pertumbuhan kredit UMKM hanya 2,17 persen (yoy) pada Mei 2025, dengan proporsi terhadap total kredit turun menjadi 18,76 persen. Non-Performing Loan (NPL) UMKM naik menjadi 4,49 persen, dengan sektor konstruksi mencatat NPL tertinggi 10,0 persen.

Sebagai dampak lanjutan, industri asuransi kredit ikut merasakan tekanan substansial. Suku bunga tinggi memperburuk kualitas kredit, mengakibatkan loss ratio asuransi kredit melonjak menjadi 90 persen pada 2025.

|Baca juga: Danantara Genjot 22 Program Strategis Tuntas hingga Akhir 2025, Termasuk Restrukturisasi Asuransi!

|Baca juga: 22 Program Strategis Danantara Dapat Catatan Khusus dari Komisi VI, Apa Itu?

“BI merespons dengan menurunkan BI Rate bertahap dari 5,50 persen (Mei) menjadi 5,25 persen (Juli 2025), namun penurunan ini berdampak pada hasil investasi perusahaan asuransi yang menurun berkala,” ucapnya.

Proyeksi sektor moneter dan keuangan Indonesia di kuartal III/2025 mencerminkan tekanan eksternal yang tinggi namun tetap ditopang ketahanan domestik. Nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak dalam kisaran Rp16.000 per US$ hingga Rp16.700 per US$, seiring ketidakpastian global akibat kebijakan tarif 19 persen dari AS dan potensi arus modal keluar.

Meskipun demikian, stabilitas domestik seperti inflasi yang terjaga, cadangan devisa yang kuat, serta intervensi aktif Bank Indonesia tetap menjadi penyangga utama. Arah kebijakan moneter diperkirakan tetap pro-growth but cautious, dengan BI Rate diproyeksikan berada di level 5,5 persen pada akhir kuartal III dan naik moderat menjadi 5,75 persen di akhir tahun.

|Baca juga: Bos Danantara Cabut di Tengah Rapat Kerja dengan DPR, Ada Apa?

|Baca juga: Danantara Diminta Hindari Model Konglomerasi yang Tidak Produktif, Ternyata Ini Alasannya!

“(Hal itu) guna menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan dukungan terhadap pemulihan ekonomi. Sementara itu, pertumbuhan kredit diperkirakan melambat ke kisaran 7–9 persen akibat pelemahan konsumsi, suku bunga yang relatif tinggi, serta sikap hati-hati perbankan dalam menghadapi divergensi kebijakan moneter global,” pungkas CORE.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Dunia dalam Krisis? Sri Mulyani Blak-blakan soal Dampak Tarif AS dan Konflik Global ke RI
Next Post Bos OJK Klaim Kinerja Perbankan Nasional Masih Stabil, Ini Alasannya!

Member Login

or