1
1

Dunia dalam Krisis? Sri Mulyani Blak-blakan soal Dampak Tarif AS dan Konflik Global ke RI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. | Foto: Kemenkeu

Media Asuransi, JAKARTA — Menteri Keuangan RI sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati menyatakan ketidakpastian perekonomian global pada triwulan II/2025 tetap tinggi akibat berbagai tekanan eksternal yang terus berlanjut.

Sebanyak dua faktor utama yang memengaruhi dinamika tersebut, menurut Sri Mulyani, adalah kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dan ketegangan geopolitik yang meningkat di kawasan Timur Tengah.

“Ketidakpastian perekonomian global pada triwulan II/2025 tetap tinggi akibat kebijakan tarif resiprokal AS dan ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” ujar Sri Mulyani, dalam konferensi pers hasil rapat KSSK di Jakarta, Senin, 28 Juli 2025.

|Baca juga: Bos Bursa Bidik IHSG Tembus 8.000 saat HUT ke-80 RI

|Baca juga: Tarif Impor 19% dari AS Dinilai Jadi Peluang Pabrik Asing Buka di Indonesia, Luhut Beberkan Alasannya!

Ia menjelaskan, pada April 2025, AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang kemudian dibalas dengan retaliasi oleh China. Kondisi ini menambah tekanan terhadap sentimen pelaku pasar dan memperburuk ketidakpastian ekonomi global.

“Pada April 2025, pengumuman tarif resiprokal AS dan retaliasi China memicu ketidakpastian ekonomi global,” katanya.

Lebih lanjut, menurut Sri Mulyani, situasi geopolitik yang memanas di Timur Tengah pada Juni 2025 juga menambah beban bagi prospek ekonomi dunia. Ketegangan tersebut berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan di negara-negara utama seperti AS, Eropa, dan Jepang.

“Ketegangan geopolitik di Timur Tengah pada Juni 2025 meningkatkan ketidakpastian dan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi global, termasuk AS, Eropa, dan Jepang,” imbuhnya.

Di tengah kondisi global yang rapuh, ekonomi China mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,2 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II/2025, lebih rendah dari kuartal sebelumnya sebesar 5,4 persen. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menurunnya ekspor ke AS.

Sementara India diprakirakan tetap menunjukkan kinerja kuat seiring masih solidnya investasi domestik. Namun, negara berkembang lainnya ikut terdampak oleh penurunan ekspor ke AS dan melambatnya aktivitas perdagangan dunia secara keseluruhan.

|Baca juga: Pesan Penting Luhut untuk Keponakannya Pandu Sjahrir dalam Menakhodai Danantara

|Baca juga: Isu Ijazah Jokowi Makin Panas, Luhut: Saya Saja Nggak Tahu Ijazah Saya di Mana

Ia juga menyoroti adanya pergeseran aliran modal global. Ketidakpastian menyebabkan investor memindahkan dana dari AS ke aset yang dianggap lebih aman seperti di Eropa, Jepang, serta komoditas seperti emas. Pergeseran ini juga mendorong pelemahan dolar AS terhadap mata uang global, serta menimbulkan arus modal ke negara-negara emerging markets (EM).

“Pergeseran aliran modal dari AS ke aset yang dianggap aman, terutama ke aset keuangan di Eropa, Jepang, dan komoditas emas terus terjadi, serta diikuti oleh pergeseran aliran modal dari AS ke emerging markets, mendorong berlanjutnya pelemahan mata uang dolar AS terhadap mata uang global,” jelasnya.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, lembaga-lembaga internasional mulai menyesuaikan proyeksi ekonomi global. Bank Dunia dalam laporannya pada Juni 2025 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 2,9 persen (berbasis PPP), lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,2 persen.

|Baca juga: CORE Indonesia Sebut Surplus Ekonomi RI Berpotensi Turun Akibat Tarif AS

|Baca juga: Bos OCBC (NISP): Keberlanjutan Fondasi Penting Bangun Ketahanan Bisnis Jangka Panjang

Sementara OECD juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,1 persen menjadi 2,9 persen.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post KSSK Sebut Kinerja Pasar Modal Indonesia Ciamik di Triwulan II/2025
Next Post CORE Indonesia Sebut RI Alami Dilema Kebijakan Moneter, Begini Penjelasannya!

Member Login

or