Media Asuransi, JAKARTA – Baru saja kita menutup kuartal pertama yang ditandai tingginya gejolak di pasar keuangan, khususnya di pasar global. Dalam kondisi ini, seluruh pelaku pasar keuangan menanti kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) yang lebih akomodatif.
Ada beberapa hal yang terjadi sepanjang kuartal I/2022 yang kemungkinan terus berlanjut di kuartal II/2022 dan seterusnya.
Pertama, The Fed yang menjadi lebih hawkish. Lonjakan inflasi di awal tahun membuat The Fed memberikan signal kenaikan suku bunga yang lebih agresif. The Fed menyatakan, bahwa tidak membatasi kemungkinan kenaikan suku bunga lebih dari 25 basis poin dalam satu rapat dan menekankan ekonomi AS cukup kuat dalam menghadapi kenaikan suku bunga yang lebih tinggi.
“Hal ini mendorong ekspektasi pasar ke arah skenario yang lebih agresif, ekspektasi pasar sudah memperkirakan kenaikan suku bunga hingga mencapai 2,5 persen di akhir tahun 2022,” kata Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Krizia Maulana, dalam keterangan resmi yang diterima Media Asuransi, beberapa waktu lalu.
|Baca Juga: Manfaatkan Momentum Pemulihan Ekonomi Global, BCA dan MAMI Pasarkan Reksa Dana MANSYAF
Imbal hasil US Treasury juga turut naik, sempat menyentuh level 2,5 persen. Terakhir kali kita melihat level tersebut adalah di tahun 2019. Pada saat itu suku bunga The Fed berada pada rentang 2,25 persen sampai dengan 2,5 persen. Sedangkan level saat ini yang masih berada pada rentang 0,25 persen sampai 0,5 persen.
“Kondisi ini sebetulnya mencerminkan bahwa pasar sudah mengantisipasi dan bersiap dalam menghadapi kenaikan suku bunga yang tinggi. Apabila ternyata kenyataan kenaikan suku bunga lebih rendah dibandingkan ekspektasi maka hal ini dapat memberikan kejutan positif bagi pasar keuangan,” jelas Krizia.
Dia tambahkan, potensi moderasi pada pertumbuhan ekonomi AS dapat mengubah stance (pendekatan) kebijakan The Fed menjadi lebih akomodatif.
Kedua, konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina. Eskalasi konflik ini sangat mengejutkan pasar, apalagi terjadi bersamaan dengan dimulainya siklus pengetatan The Fed. Memperhitungkan peran Rusia dan Ukraina yang besar dalam rantai pasokan migas, metal dan pangan dunia, dampak instan yang dirasakan adalah lewat kenaikan harga komoditas dan inflasi.
Ketatnya pasokan di pasar komoditas sejak pandemi, ditambah lagi kekhawatiran disrupsi pasokan yang disebabkan oleh konflik ini, mendorong harga komoditas menyentuh level yang sangat tinggi. Dampak konflik ini pada setiap negara akan sangat berbeda, tergantung pada berbagai faktor, seperti misalnya posisi negara tersebut, apakah net importir atau eksportir terhadap pangan dan energi. Kemudian besaran bobot pangan dan energi dalam keranjang inflasi, serta posisi fiskal dan ruang kebijakan moneternya.
“Sejauh ini konflik masih berlangsung. Seberapa besar dampaknya tergantung pada durasi konflik dan dampak sanksi yang diberikan terhadap pertumbuhan global,” tutur Krizia.
Ketiga, aksi jual yang terjadi kepada pasar saham China. Pada kuartal kemarin, pasar saham China mengalami pelemahan, dibayangi beberapa faktor yang bersifat sementara, seperti melonjaknya kasus Covid-19 yang memicu lockdown di beberapa kota yang strategis secara perekonomian, konflik Rusia–Ukraina yang dikhawatirkan dapat berimbas terhadap kondisi geopolitik China dan pengetatan aturan bagi saham China yang listing di AS. “Hal-hal inilah yang menekan pasar saham China di kuartal kemarin,” tegasya.
Namun dia tambahkan, on the positive note, saat ini pemerintah China menekankan fokusnya untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dengan bantuan stimulus fiskal dan moneter. Pemerintah juga berkomitmen untuk mengurangi tindakan keras regulasi, mendukung sektor properti dan teknologi.
Menurut Krizia, setelah melalui kejutan dari berbagai dinamika global, saat ini volatilitas pasar mulai mengalami normalisasi, indeks volatilitas menurun dan kinerja pasar saham global pun mulai membaik. Rapat Fed bulan Maret menjadi titik balik, kejelasan arah kebijakan bank sentral AS itu mengurangi liarnya spekulasi pasar.
“Kami menilai bahwa faktor ketidakpastian yang disebabkan oleh perkembangan akhir-akhir ini berpotensi merubah pendekatan bank sentral menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan pengetatan moneter, serta memberikan dukungan lebih lanjut terhadap perekonomian,” tuturnya.
|Baca Juga: MAMI: Dampak Krisis Ukraina Terhadap Pasar Finansial Indonesia Relatif Terbatas
Sementara itu, tahun ini Indonesia berada pada posisi yang atraktif. Berbeda dengan negara maju yang mengalami tren normalisasi, Indonesia justru diuntungkan oleh momentum pemulihan ekonomi seiring dengan pulihnya mobilitas masyarakat dan meningkatnya vaksinasi.
Sinyal pemulihan ini mulai terlihat pada kuartal IV/2021 yakni pertumbuhan ekonomi balik tumbuh ke level 5 persen secara tahunan. Perbaikan pada stabilitas eksternal yang salah satunya ditunjukkan oleh surplus neraca perdagangan dan cadangan devisa yang kuat, membuat nilai tukar rupiah tetap stabil dan menjadi bantalan dalam menghadapi perubahan kebijakan moneter global.
Hal inilah yang juga membuat Bank Indonesia menunjukkan sikap yang tidak terburu-buru, dan menegaskan bahwa kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan sampai terjadi tekanan inflasi yang bersifat fundamental, yang terlihat pada kenaikan inflasi inti,” kata Investment Specialist MAMI, Krizia Maulana.
Sementara dampak langsung yang rendah terhadap konflik Rusia-Ukraina dan posisi Indonesia sebagai net eksportir komoditas, membuat Indonesia menjadi lebih terlindungi dari konflik ini. Kenaikan harga komoditas memberikan trickle-down effect terhadap perekonomian secara keseluruhan lewat meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang bekerja dan berhubungan dengan sektor yang bersangkutan.
Di sisi lain, optimisme pelaku pasar akan potensi ekonomi Indonesia, terlihat dari masuknya aliran dana asing yang stabil di pasar saham. “Kondisi yang kondusif tadi, disertai dengan kepemilikan asing yang masih relatif rendah membuka peluang penguatan lebih lanjut di pasar saham Indonesia. Sementara ekspektasi pasar yang sudah sangat agresif terhadap kenaikan suku bunga Fed dan imbal hasil US Treasury, menciptakan peluang investasi di pasar obligasi,” jelasnya.
Basis investor yang saat ini lebih terdiversifikasi, terlihat dari naiknya partisipasi investor domestik dan menurunnya kepemilikan investor asing, berkontribusi pada stabilitas pasar obligasi domestik. Koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter, serta kondisi makro yang baik, akan menopang pergerakan pasar obligasi Indonesia ke depannya.
Krizia memberikan tips investasi, yakni salah satu cara untuk mengelola volatilitas di pasar finansial adalah dengan melakukan diversifikasi, atau meragamkan portofolio investasi dengan aset yang memiliki korelasi rendah. “Hal ini penting dilakukan untuk meminimalkan risiko dan mengoptimalkan imbal hasil,” tegasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News