Media Asuransi, JAKARTA – Data ketenagakerjaan dan inflasi Amerika Serikat (AS) cenderung lebih tinggi dari ekspektasi pasar di awal tahun ini. Data ini memperkuat pandangan bahwa The Fed tidak perlu buru-buru menurunkan suku bunga. Di sisi lain, data ini tidak sesuai dengan ekspektasi pasar yang memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga secara agresif di 2024.
“Kami masih melihat adanya potensi pemangkasan suku bunga The Fed tahun ini. Sejauh ini yang berubah adalah ekspektasi pasar yang tadinya agresif menjadi lebih selaras dengan The Fed, sementara sikap The Fed masih belum berubah,” kata Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany, dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu, 20 Maret 2024.
Di awal tahun, pasar memperkirakan The Fed dapat memangkas suku bunga sebesar 150 basis points (bps) pada tahun ini dengan pemangkasan pertama di bulan Maret, lebih agresif dibanding ekspektasi The Fed yang memperkirakan pemangkasan 75 bps. Merespons kondisi ini, pasar telah menyesuaikan ekspektasinya, di mana estimasi pemangkasan suku bunga pasar turun menjadi 80 bps yang lebih selaras dengan ekspektasi The Fed.
|Baca juga: The Fed Diprediksi Tak Buru-buru Pangkas Suku Bunga
Dia tambahkan, dalam pernyataan terakhirnya di awal Maret, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa The Fed semakin mendekati keyakinan yang dibutuhkan untuk mulai memangkas suku bunga. Pernyataan ini menjadi indikasi bahwa keyakinan The Fed terus meningkat dan kita semakin mendekati periode pemangkasan suku bunga.
Kebijakan Bank Indonesia
Sementara itu untuk kondisi domestik, Laras Febriany, melihat bahwa dalam jangka pendek tekanan inflasi Indonesia akan cenderung meningkat. Penurunan produksi beras dan tertundanya masa panen akibat El Nino, menyebabkan kenaikan harga beras yang dapat mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek.
Kementerian Pertanian mengindikasikan bahwa periode panen raya mundur karena efek El Nino, dari biasanya terjadi di bulan Maret-April, menjadi April-Mei. Selain itu periode Ramadhan juga secara musiman dapat menyebabkan inflasi cenderung naik.
“Namun kami melihat beberapa faktor ini bersifat jangka pendek dan musiman yang harusnya tidak berdampak pada kebijakan BI dalam jangka menengah,” kata Laras.
|Baca juga: Bos BI Optimistis Indonesia Punya 3 Modal Kuat Hadapi Tantangan Pasar Keuangan Global
Dia perkirakan, tekanan inflasi berpotensi untuk mereda seiring dengan datangnya musim panen dan berakhirnya periode Ramadan dan Idulfitri. “Sebagai gambaran lain, inflasi inti yang mengindikasikan tekanan inflasi secara fundamental, masih menunjukkan tren melandai ke level 1,68 persen di Februari 2024,” tuturnya.
Di sisi lain, kondisi global yang fluktuatif di tengah ketidakpastian kebijakan The Fed tentunya mempengaruhi selera investasi investor asing. Positifnya, bauran kebijakan BI yang pro-stabilitas dan minat investor domestik yang kuat berhasil menopang pasar obligasi.
Di periode Januari hingga Februari investor asing mencatat penjualan bersih Rp5,5 triliun, namun BI membukukan pembelian bersih Rp39 triliun, dan investor individu mencatat pembelian bersih Rp22 triliun. Permintaan yang kuat di lelang SUN juga menjadi indikasi minat investor yang tetap kuat.
Hingga akhir Februari 2024, rata-rata penawaran lelang SUN mencapai Rp58 triliun per lelang, lebih tinggi dari rata-rata penawaran di 2023 sebesar Rp44 triliun. “Tingkat imbal hasil yang menarik serta optimisme pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga masih mendukung minat investor domestik terhadap pasar obligasi,” kata Laras.
Dia ingatkan, risiko utama yang dihadapi investor adalah apabila terdapat indikasi pemangkasan suku bunga The Fed akan mundur, yang mungkin dipengaruhi oleh data ekonomi AS lebih resilien dari ekspektasi. Perubahan ekspektasi pasar tentunya dapat menyebabkan volatilitas di pasar.
|Baca juga: MAMI Sarankan Investor Berhati-hati Mengantisipasi Kebijakan The Fed
Selain itu faktor geopolitik juga dapat menjadi faktor yang tidak dapat diprediksi, dengan konflik yang masih berlanjut di Timur Tengah dan Ukraina. Selain itu, hubungan AS-China yang cenderung tidak stabil juga dapat berpengaruh.
Walau kondisi geopolitik ini tidak mempengaruhi ekonomi Indonesia secara langsung, namun eskalasi kondisi dapat mempengaruhi risk appetite investor. “Di sisi domestik, perkembangan inflasi dan juga rencana APBN 2025 dari presiden terpilih baru akan menjadi perhatian pasar,” kata Laras.
Menurutnya, 2024 dapat dipandang sebagai tahun yang potensial bagi pasar obligasi didukung adanya potensi pemangkasan suku bunga. Namun tidak bisa dipungkiri, volatilitas jangka pendek masih dapat terjadi hingga terdapat kejelasan arah kebijakan suku bunga The Fed.
“Oleh karena itu, kami selalu mengelola portofolio secara aktif, bergerak dinamis antara defensif dan agresif untuk membentuk portofolio yang optimal. Strategi portofolio akan disesuaikan berdasarkan tinjauan makroekonomi terkini serta fokus pada manajemen durasi, kas dan pemilihan efek untuk membentuk portofolio yang dapat bergerak dengan lincah,” jelasnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News