Kuartal pertama 2020 dapat dilewati dengan penuh tantangan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI). Pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19, yang mulai merebak di Indonesia pada awal Maret 2020, tidak hanya menekan sektor kesehatan masyarakat, tapi juga memperlambat pertumbuhan perekonomian Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, pada akhir kuartal pertama 2020, BNI masih mampu menumbuhkan pinjaman sebesar 11,2 persen year over year (yoy), yaitu dari Rp521,35 triliun pada kuartal pertama 2019 menjadi Rp579,60 triliun pada kuartal pertama 2020. Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2019, pinjaman tumbuh 4,1 persen year to date (ytd).
Direktur Tresuri dan Internasional BNI Putrama Wahyu Setyawan mengatakan bahwa pencapaian ini sejalan dengan strategi BNI yang sangat selektif dalam melakukan ekspansi di tengah pandemi Covid-19. “Peningkatan pinjaman ini ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 10,4 persen yoy, yaitu dari Rp575,75 triliun pada kuartal pertama 2019 menjadi Rp635,75 triliun pada kuartal pertama 2020. Dengan pertumbuhan DPK yang baik ini, BNI memiliki likuiditas yang sehat, terlihat dari loan to deposit ratio (LDR) BNI pada kuartal pertama 2020 tercatat sebesar 92,3 persen,” katanya saat memaparkan kinerja perseroan kuartal pertama 2020, dalam video conference di Jakarta, 19 Mei 2020.
Dari sisi profitabilitas, kinerja kredit yang baik mampu mendorong pertumbuhan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) sebesar Rp9,54 triliun atau meningkat 7,7 persen yoy dibanding periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp8,86 triliun. Kenaikan NII tersebut dikontribusikan oleh kenaikan pendapatan bunga sebesar 3,8 persen dan penurunan beban bunga sebesar -2,5 persen. Penurunan beban bunga ini menarik karena disebabkan oleh biaya dana (cost of fund) yang turun sebesar 30 basis points (bps). Ini terjadi karena perolehan dana murah (CASA/current account and saving account) yang juga meningkat dibanding kuartal pertama 2019.
Adapun dari sisi beban operasional, strategi efisiensi tetap dilakukan, terutama pada pos biaya variabel, sehingga beban operasional BNI pada kuartal pertama 2020 dapat tumbuh terkendali sebesar 1,7 persen yoy. Secara keseluruhan, kinerja itu membawa BNI mampu mencatatkan laba bersih pada kuartal pertama 2020 sebesar Rp4,25 triliun atau meningkat 4,3 persen yoy dibanding kuartal pertama 2019 yang sebesar Rp4,08 triliun.
Kinerja solid tersebut tidak membuat BNI kehilangan kewaspadaan terhadap kondisi perekonomian ke depan yang belum dapat diprediksi secara akurat, terutama akibat dampak Covid, yang belum dapat diperkirakan akhir penyebarannya. “Terlebih, pada kuartal pertama 2020, indikasi pengaruh Covid-19 terlihat pada peningkatan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dari 2,3 persen pada 2019 menjadi 2,4 persen pada 2020, meskipun masih jauh di bawah batas maksimal NPL yang ditetapkan regulator sebesar lima persen,” jelas Putrama.
Langkah-langkah penting yang dilakukan BNI selama kuartal pertama 2020 terutama difokuskan pada penyelamatan aset paling penting perusahaan, yaitu pegawai, agar tetap sehat dan terhindar dari terpaan virus corona. Selain itu, kehandalan operasional terus dijaga untuk memberikan kenyamanan bagi nasabah, antara lain melalui kehandalan e-channel serta ketersediaan layanan cabang yang disertai penerapan protokol kesehatan secara disiplin, dan yang terpenting saat ini adalah melakukan restrukturisasi kredit secara prudent dalam rangka meringankan beban debitur yang terkena dampak Covid-19.
Ke depan, Menurut Putrana Wahyu Setyawan, BNI melihat pentingnya mengantisipasi potensi tekanan pada likuiditas, yang dipengaruhi oleh adanya penundaan pembayaran angsuran pokok dan pembayaran bunga dari debitur karena bisnisnya terpengaruh Covid-19, serta tekanan capital outflow dan potensi melemahnya ekspor. “Dalam kondisi yang sangat menantang seperti ini, likuiditas BNI akan tetap dikelola secara prudent, seperti tercermin pada indikator atau rasio-rasio likuiditas yang seluruhnya telah sesuai dengan ketentuan regulator dan risk appetite internal,” tandasnya.
Sementara itu terkait dengan potensi dampak Covid-19 terhadap portofolio kredit, BNI telah dan akan melakukan stress test secara berkala untuk mengetahui potensi dampak wabah ini terhadap kemungkinan penurunan kualitas kredit. Metode stress test yang dilakukan antara lain mengidentifikasi sektor-sektor yang diduga akan terdampak Covid-19, baik secara langsung maupun tidak langsung, serta melakukan quantitative assessment untuk mengetahui ketahanan kondisi debitur dengan beberapa asumsi, di antaranya penurunan volume penjualan dan harga pokok penjualan. “BNI juga berupaya merumuskan beberapa kebijakan secara komprehensif untuk memitigasi moral hazard,” tutur Putrama.
Hingga akhir Maret 2020, total restrukturisasi kredit BNI sebesar Rp6,2 triliun, dengan total 3.884 debitur. Namun, memasuki April 2020, realisasi pinjaman yang direstrukturisasi meningkat signifikan menjadi Rp69 triliun, dengan total 103.447 debitur. Sektor terbesar yang terdampak adalah perdagangan, restoran, dan hotel, dengan proporsi sebesar 38,4 persen atau Rp26,8 triliun, sektor perindustrian 18,4 persen atau Rp12,8 triliun, serta sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebesar 16,2 persen atau Rp11,3 triliun. Sedangkan berdasar segmentasi, yang paling terdampak adalah segmen kecil dengan realisasi restrukturisasi sebesar Rp27,4 triliun atau 39,3 persen dari total restrukturisasi hingga April 2020.
Menurut Putrama, restrukturisasi kredit yang diberikan kepada debitur terdampak Covid-19 tersebut dilakukan dengan merujuk pada POJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Asesmen terhadap debitur dilakukan secara kasus per kasus agar sesuai dengan kemampuan keuangan atau arus kas debitur. Skema restrukturisasi itu dapat diberikan dalam bentuk penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu kredit, penundaan pembayaran angsuran pokok, atau kombinasinya. Edi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News