Media Asuransi – Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terjadi pada perdagangan Kamis, 10 September 2020, diperkirakan hanya sentimen sesaat dan tidak berulang seperti yang terjadi pada Maret 2020 saat kasus pertama Covid-19 terungkap.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan pada tanggal 10 September 2020 mengalami tekanan koreksi -5,01 persen hingga menyentuh level 4.891. Sementara itu, mata uang Rupiah melemah terhadap kurs Dolar AS yang sempat menyentuh Rp14.900 per dolar AS.
Kejatuhan ini diyakini terkait dengan antisipasi dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dengan kembali diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mulai 14 September 2020. Muncul kekhawatiran bahwa koreksi IHSG ini akan memicu kejatuhan seperti bulan Maret 2020.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management (BTIM) Budi Hikmat optimistis bila kondisi market saat ini tak akan mengulang peristiwa koreksi market serupa pada Maret lalu. “Tekanan di bursa dan nilai tukar saat ini diharapkan sementara. Sebab, penyebabnya lebih besifat lokal sebagai antisipasi perlambatan ekonomi akibat PSBB,” ungkapnya melalui keterangan resmi, 11 September 2020.
Sementara itu, jelasnya, beragam macrowave indicator untuk kondisi pasar eksternal global masih cukup stabil. Selain menjaga suku bunga global rendah, kelebihan likuiditas akan memaksa dolar AS masuk siklus melemah dan emas berpeluang paling moncer. “Meski memang investor harus mewaspadai retorika politik di Amerika Serikat (AS) jelang Pilpres dan masih ada keraguan efektivitas vaksin Covid,” ungkap Budi.
Bahana TCW Investment Management yang merupakan bagian dari Holding Perasuransian dan Penjaminan yang dikenal dengan nama Indonesia Financial Group atau IFG mencatat, ketika akhir Maret lalu, tekanan dolar AS terhadap rupiah sangatlah kuat, yakni dolar AS naik cukup drastis hingga hampir menyentuh level 17.000 per dolar AS.
Budi menjelaskan bahwa harga emas sempat anjlok, tingkat uncertainty pasar juga sangat tinggi dan harga minyak juga anjlok. Saat itu, fenomena rush for dollar cash memukul pasar modal dan nilai tukar di negara berkembang agar investor dapat memiliki cash dolar. Keadaan membaik setelah kavaleri bank sentral dunia yang dipimpin oleh the Fed menggelontor likuiditas.
“Walau diperlukan, pemberlakuan kembali PSBB sangat wajar membuat investor saham kuatir akan terjadi pelambatan ekonomi kembali. Perbankan diduga akan menahan keinginan untuk menyalurkan kredit sehingga mereka akan terus menempatkan dana dalam surat berharga negara,” kata Budi Hikmat.
Investor asing, sambungnya, juga bertanya apakah Bank Indonesia akan terus mengemban skema burden sharing di mana aksi quantitative easing yang dilakukan akan memperlemah rupiah.
Budi Hikmat berharap agar pemerintah dapat mempercepat realisasi stimulus Pemulihan Ekonomi Sosial (PEN), terutama untuk bantuan sosial, kesehatan, maupun insentif yang menunjang UMKM. Budi menilai positif adanya alokasi dana yang cukup besar bagi Polri untuk mendukung pelaksanaan PSBB.
Budi memproyeksi, Bank Indonesia kembali menurunkan bunga. Selain spread terhadap inflasi masih positif, kinerja penyaluran kredit juga masih lemah.
Untuk investor awam, Budi menyarankan untuk defensif dengan memanfaatkan instrumen surat berharga negara (SBN) yang sedang ditawarkan. Sementara untuk investor yang lebih mahir dan berani dapat secara selektif berinvestasi pada saham yang paling banyak ditinggalkan oleh investor asing. ACA
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News