1
1

Industri Asuransi Perlu Relaksasi Regulasi

Ilustrasi. | Foto: Allianz Indonesia

Donald John Trump kembali berulah. Di masa kepemimpinannya sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, Trump mengeluarkan kebijakan dagang yang mengguncang perekonomian dan pasar keuangan global. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan tarif baru secara luas dalam istilah yang dia sebut sebagai Liberation Day.

Kenaikan tarif atas barang impor dari berbagai negara tersebut, menurutnya, akan digunakan untuk pemotongan pajak dan pengurangan defisit anggaran AS. Selain itu, penetapan tarif impor yang tinggi juga akan mendorong kebangkitan sektor manufaktur AS.

Kebijakan agresif Trump ini kemudian direspons China dengan pengenaan tarif balasan yang memicu ketegangan di antara kedua negara. Efek ketegangan dua negara ekonomi terbesar dunia tersebut memicu gonjang-ganjing ekonomi dan pasar keuangan global. Trump Effect diperkirakan akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global, risiko inflasi, ketidakpastian bagi dunia usaha, keyakinan konsumen, dan arah kebijakan suku bunga.

Berdasar analisis Center of Economic and Law Studies (CELIOS), ketegangan perang dagang global saat ini akan membuat Indonesia kehilangan output ekonomi sebesar Rp164,6 triliun dan penurunan lapangan kerja sebanyak 1,2 juta orang. Selain itu, industri jasa keuangan Indonesia juga berisiko terpapar lonjakan Non Performing Loan (NPL) pada perusahaan padat karya, efisiensi karyawan yang memicu penurunan tingkat simpanan, dan efek sistemik dari risiko gagal bayar.

Lalu apa dampak kebijakan tarif Trump ini bagi industri asuransi? Bisnis asuransi adalah bisnis jasa keuangan yang sangat bergantung pada kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. Bila dua faktor ini mengalami masalah, maka bisnis asuransi juga akan bermasalah. Dalam konteks ini, bisnis asuransi akan mengalami pukulan dari dua sisi yaitu dari sisi pendapatan premi dan beban klaim.

Dari sisi pendapatan premi, produk-produk asuransi yang memiliki kaitan dengan bisnis ekspor impor dan daya beli masyarakat, akan mengalami penurunan. Misalnya, premi asuransi pengangkutan laut, asuransi kredit ekspor, dan asuransi marine hull akan turun karena menurunnya aktivitas ekspor dan impor. Untuk jangka menengah, produk asuransi harta benda/properti juga akan terdampak akibat turunnya harga pertanggungan dari pabrik dan manufaktur.

Premi dari produk asuransi kendaraan juga berpotensi turun akibat kondisi ekonomi yang memburuk sehingga permintaan kendaraan turun. Selanjutnya, penurunan daya beli masyarakat akibat PHK akan menurunkan premi asuransi jiwa dan kesehatan.

Dari sisi beban klaim, goncangan di pasar finansial yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah akan memicu peningkatan biaya klaim pada asuransi kendaraan bermotor akibat kenaikan biaya suku cadang yang masih didominasi impor. Pada asuransi kesehatan juga sama. Biaya klaim akan meningkat karena masih bergantungnya alat kesehatan dan obat-obatan dari impor. Penurunan premi dan kenaikan biaya klaim ini tentu akan memukul kinerja underwriting dari perusahaan asuransi baik jiwa maupun umum.

Di sisi lain, kinerja investasi perusahaan asuransi juga akan terpukul akibat gejolak yang terjadi di pasar modal baik saham maupun obligasi. Padahal, kinerja underwriting dan investasi inilah yang menjadi sumber profitabilitas dari perusahaan asuransi.

Dalam situasi makroekonomi dan pasar modal yang sulit ini, industri asuransi tengah dihadapkan pada pemenuhan sejumlah regulasi yang implementasinya tidak mudah karena berkaitan dengan performa keuangan. Pertama, regulasi tentang implementasi International Financial Reporting Standards (IFRS) 17 yang efektif sejak 1 Januari 2025. Implementasi standar akuntansi baru ini berdampak menggerus ekuitas dan laba dari perusahaan asuransi.

Kedua, pelaku industri asuransi harus menghadapi implementasi POJK No. 23/2023 yang mensyaratkan kenaikan modal minimum tahap I pada 2026 dan tahap II pada 2028. Dalam situasi ekonomi yang sulit dan appetite investor yang rendah terhadap sektor asuransi, tentu pemenuhan syarat modal minimum tersebut akan sulit dipenuhi baik melalui cara organik maupun cara anorganik.

Implementasi kedua regulasi tersebut memang tujuannya adalah baik yaitu untuk memperkuat fundamental pelaku usaha asuransi. Akan tetapi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentu tidak boleh menutup mata untuk melakukan penyikapan dan penyesuaian terhadap situasi ‘krisis’ yang sedang terjadi. Pasalnya, pemberian insentif atau relaksasi sebenarnya adalah hal yang lumrah diberikan oleh regulator saat situasi sedang krisis. Kita punya pengalaman panjang menghadapi sejumlah krisis baik ekonomi, keuangan, hingga masa pandemi Covid-19.

Saat itu, regulator keuangan hadir menyelamatkan industri dengan memberikan sejumlah insentif relaksasi regulasi. Dan Alhamdulillah, berkat respons cepat tersebut industri keuangan, termasuk industri asuransi, bisa survive dan rebound. Kini krisis datang kembali, tentu saatnya regulator memberikan treatment yang sama agar industri ini pada waktu yang tepat mampu comply terhadap aturan IFRS 17 dan POJK No. 23/2023.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Ping An Kembali Jadi Raja Asuransi di China Selama 10 Tahun Berturut-turut!
Next Post BEI Gembok Saham Waralaba Teguk

Member Login

or