Media Asuransi, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai target pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto tergolong ambisius di tengah kondisi perekonomian global dan domestik yang masih penuh ketidakpastian.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef 2025 yang digelar di Jakarta, Rabu, 2 Juli 2025, mengatakan, pada dasarnya memang Pemerintahan Prabowo memulai masa kepemimpinannya dalam situasi yang tidak ideal.
|Baca juga: Ribuan Pensiunan Jiwasraya Terancam Tidak Dapat Hak, Begini Sikap Tegas Komisi VI
|Baca juga: 4 Saham Ini Dijagokan Cuan saat IHSG Diramal Lanjutkan Penguatan
“Kita tahu, pandemi covid-19 pun juga belum usai. Kita belum sepenuhnya pulih dan kita di sini juga merasakan masih ada jejak-jejak, yang dulu menganggur dan belum bisa kembali bekerja lagi,” ujar Esther, dalam sambutannya.
Tidak hanya faktor internal, lanjut Esther, tantangan global seperti proteksionisme tarif dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump hingga konflik geopolitik di Timur Tengah juga turut memperburuk situasi.
Menurut Esther penetapan target pertumbuhan ekonomi delapan persen memang diperlukan sebagai bentuk ambisi dan visi pemerintah. Namun, ia menekankan pentingnya terobosan kebijakan yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar paracetamol policy.
“Dreaming target pertumbuhan ekonomi delapan persen itu memang sangat ambisius. Tetapi harus dilakukan satu terobosan policy yang tidak hanya menjadi paracetamol policy, tetapi menjadi kebijakan yang memang grab the problem,” tegasnya.
|Baca juga: Dapat Restu, Merger Adira Finance (ADMF) dan Mandala Finance (MFIN) Dibidik Tuntas Oktober 2025
|Baca juga: IFG Life Beberkan Alasan Kenapa Perlu Proteksi Kehidupan Sejak Dini
Ia menjelaskan istilah paracetamol policy merujuk pada kebijakan yang hanya meredakan gejala, namun tidak menyelesaikan akar permasalahan ekonomi. “Kalau policymaker mengatakan ekonomi baik-baik saja karena kondisi Trump, tarif perang dagang 2.0, itu namanya paracetamol policy. Artinya meredakan sakit tetapi tidak mengobati penyakitnya,” ujar Esther.
Lebih lanjut, Esther mendorong pemerintah agar menjadikan data dan riset sebagai dasar pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, dia mengutip film Oppenheimer sebagai contoh kolaborasi ideal antara ilmuwan dan pemerintah.
“Saya meng-emphasize (menekankan) bukan bentuk temuan bomnya (case di film tersebut), tetapi kolaborasi antara peneliti dan pemerintah itu suatu keharusan. Ke depan kebijakannya itu harus berdasarkan data, analisis, jadi tidak asal karena ingin populer,” katanya.
|Baca juga: Jasindo Lanjutkan Beasiswa Inspiratif dan Lakukan Analisis Biometrik
|Baca juga: Lewat Satu Aplikasi, Gojek Siap Permudah Masyarakat Nikmati Liburan Sekolah
Indef pun berharap hasil kajian tahunannya dapat menjadi masukan strategis bagi pemerintah dalam mewujudkan visi pembangunan ekonomi.
“Kadang-kadang dirasakan sebagai pil pahit, kadang-kadang tidak enak didengar. Tapi maksud kami baik, kami ingin memberikan saran kepada policymaker agar bisa mencapai target delapan persen (pertumbuhan ekonomi di 2025) tadi,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News