Media Asuransi, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan meski gencatan senjata telah disepakati sejak 24 Juni, namun konflik Israel-Iran masih sulit diprediksi. Keterlibatan langsung Amerika Serikat (AS) dalam serangan 22 Juni ke tiga pusat pengembangan nuklir Iran menunjukkan eskalasi konflik yang signifikan.
Berdasarkan COREinsight edisi terbaru bertajuk ‘Meredam Guncangan Ekonomi Dari Gejolak Timur Tengah‘, Kamis, 3 Juli 2025, di sisi lain, narasi penggulingan rezim Ali Khamenei yang dikembangkan Israel dan AS juga dapat mempersulit jalur diplomasi dan memicu eskalasi ulang.
|Baca juga: Bank Neo Commerce (BBYB) Ajak Anak Muda Jangan Salah Kaprah tentang Self Reward
|Baca juga: LPS Diminta Siapkan SDM untuk Hadapi Mandat dari UU P2SK
Berangkat dari kondisi itu, CORE Indonesia memperkirakan konflik Israel-Iran tidak akan selesai dengan mudah meski gencatan senjata sudah disepakati. Namun, jika diplomasi buntu dan terjadi eskalasi kembali, konflik ini diperkirakan tidak akan berlangsung berlarut-larut seperti konflik Ukraina-Rusia.
Tekanan dari berbagai negara yang menginginkan stabilitas ekonomi akan memangkas durasi konflik fisik, termasuk mencegah Iran untuk menutup Selat Hormuz yang sangat vital bagi 25 persen suplai minyak mentah global. Dari perspektif ekonomi, ketidakpastian yang disebabkan konflik Israel-Iran ini meningkatkan volatilitas di pasar energi dan keuangan global.
Meski gencatan senjata memberikan jeda, namun risiko gangguan terhadap rantai pasok energi global tetap tinggi selama akar masalah belum terselesaikan. Hal tersebut tentu saja menguatkan tekanan pada harga minyak dan menciptakan ketidakpastian bagi perencanaan ekonomi di jangka menengah.
CORE Indonesia mengungkapkan perlu ada kebijakan responsif untuk memperkuat resiliensi ekonomi Indonesia. Pertama, membangun kebijakan fiskal yang adaptif dan responsif. Pemerintah perlu merancang kerangka kebijakan fiskal yang dapat merespons secara dinamis guncangan eksternal, khususnya volatilitas harga minyak.
|Baca juga: Ketidakpastian Meruncing, Kadin Indonesia Tekankan Pentingnya Mengamankan Pasar Dalam Negeri
|Baca juga: Bos Baru Telkom (TLKM) Diingatkan Pentingnya Kedaulatan Digital, Kenapa?
Ketika harga minyak dunia melampaui asumsi ICP dalam APBN (US$82 per barel), pemerintah harus mengaktifkan mekanisme penyesuaian otomatis: rekalibrasi subsidi energi yang terukur, alokasi tambahan untuk BBM non-subsidi agar tetap pada level keekonomian, dan implementasi skema BLT darurat bagi kelompok rentan yang terdampak eskalasi harga energi.
Kedua, melakukan konsolidasi kebijakan moneter yang proaktif dan antisipatif. Bank sentral, melalui Bank Indonesia, harus mengimplementasikan strategi moneter yang preventif untuk menghadapi tekanan aliran modal keluar saat investor global menggeser preferensi ke aset yang lebih aman.
Kebijakan suku bunga acuan perlu dikalibrasi secara forward-looking untuk memitigasi inflasi yang diimpor dari kenaikan harga minyak yang dapat mentransmisikan tekanan inflasi pada sektor energi dan transportasi. Stabilisasi nilai tukar melalui intervensi valuta asing yang strategis dan optimalisasi operasi moneter menjadi instrumen yang krusial.
Ketiga, mentransformasi momentum krisis menjadi akselerasi transisi energi. Di tengah ketidakpastian harga energi global yang tinggi, pemerintah perlu memperkuat ketahanan energi melalui diversifikasi portofolio energi menuju sumber-sumber terbarukan yang dapat dikembangkan secara domestik.
Transisi menuju energi terbarukan seperti tenaga surya menjadi semakin strategis, bukan hanya demi menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil, tetapi juga untuk membangun kemandirian energi dan menciptakan ruang fiskal yang berkelanjutan di masa depan.
|Baca juga: Dukung Visi Asta Cita Pemerintah, BRI (BBRI) Perkuat Transformasi Bisnis Lewat BRIvolution 3.0
|Baca juga: Sri Mulyani Pede APBN 2025 Tetap Sehat dan Kredibel Hadapi Ketidakpastian Global
Proyeksi CORE Indonesia menunjukkan adanya peluang yang sangat positif dari transisi energi di Indonesia. Potensi pendapatan dari sektor energi terbarukan seperti PLTS dan rantai pasok manufakturnya dapat mencapai hingga Rp491 triliun per tahun. Di sisi lain, subsidi listrik akan berkurang secara drastis dalam jangka panjang.
Hal itu mengonfirmasi reorientasi kebijakan dari subsidi langsung menuju investasi infrastruktur PLTS merupakan strategi yang lebih efisien dan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan anggaran negara dalam jangka panjang, lebih-lebih di tengah tensi ketidakpastian global yang sering kali mendisrupsi rantai pasok energi.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News