Media Asuransi, JAKARTA – Sebagai jalur vital yang menyalurkan seperempat perdagangan minyak dunia dan seperlima pasokan gas alam cair (LPG) global, ancaman terhadap Selat Hormuz bukan sekadar isu regional melainkan potensi krisis ekonomi dunia.
Meski gencatan senjata telah disepakati sejak 24 Juni, namun konflik Israel-Iran masih sulit diprediksi. Apalagi keterlibatan langsung Amerika Serikat (AS) dalam serangan 22 Juni ke tiga pusat pengembangan nuklir Iran menunjukkan eskalasi konflik yang signifikan.
|Baca juga: Bank Neo Commerce (BBYB) Ajak Anak Muda Jangan Salah Kaprah tentang Self Reward
|Baca juga: LPS Diminta Siapkan SDM untuk Hadapi Mandat dari UU P2SK
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkapkan konflik tersebut merambat ke ekonomi global melalui tiga jalur utama yakni lonjakan harga energi yang memicu inflasi, kenaikan harga pangan dalam negeri, serta kepanikan pasar yang mengguncang sektor keuangan.
“Meski secara geografis jauh dari pusaran konflik, namun Indonesia tidak luput dari dampak eskalasi ini karena ketergantungan pada perdagangan global dan sensitivitas terhadap guncangan eksternal,” kata CORE Indonesia, melalui COREinsight edisi terbaru bertajuk ‘Meredam Guncangan Ekonomi Dari Gejolak Timur Tengah‘, Jumat, 4 Juli 2025,
CORE Indonesia menyatakan ancaman penutupan Selat Hormuz mendorong investor global bergegas mengamankan aset ke investasi yang lebih aman (safe-haven). Hal ini terlihat dari harga emas yang melonjak 1,38 persen pada hari pertama serangan Israel ke Iran, 13 Juni.
|Baca juga: Redam Guncangan Ekonomi, Indonesia Perlu Berlakukan Kebijakan Responsif untuk Memperkuat Resiliensi
|Baca juga: BJB Syariah Resmi Catatkan Sukuk Perdana di BEI, Tawarkan Imbal Hasil hingga 9%!
Bersamaan itu, imbal hasil obligasi AS melemah dan indeks dolar menguat ke 98,32. Pasar saham global terkoreksi dengan Dow Jones turun 1,79 persen, S&P 500 melemah 1,13 persen, dan Nikkei 225 terkoreksi 0,89 persen pada hari yang sama.
Ketika eskalasi memuncak pada 22 Juni, Dow Jones, S&P 500, dan Nikkei 225 masih belum pulih. Namun saat gencatan senjata disepakati Israel-Iran pada 24 Juni, situasi berbalik dramatis di mana Dow Jones naik 2,1 persen, S&P 500 terkerek 1,9 persen, dan Nikkei 225 melompat 2,5 persen dibandingkan dengan periode 13 Juni.
“Meski begitu, prospek positif ini berpotensi terhambat mengingat situasi yang masih sulit diprediksi,” sebut CORE Indonesia.
Jika ketegangan berlanjut, ini dapat mendorong pergerakan modal ke negara dengan basis ekonomi kuat seperti AS, situasi yang membahayakan sektor keuangan negara berkembang termasuk Indonesia.
|Baca juga: Ketidakpastian Meruncing, Kadin Indonesia Tekankan Pentingnya Mengamankan Pasar Dalam Negeri
|Baca juga: Bos Baru Telkom (TLKM) Diingatkan Pentingnya Kedaulatan Digital, Kenapa?
Konflik Israel-Iran berpotensi menekan nilai tukar rupiah karena kecenderungan investor kabur membawa dana ke tempat yang lebih menguntungkan atau capital flight saat terjadi gejolak. Tekanan terhadap rupiah terbaca dari melemahnya nilai rupiah terhadap dolar sepanjang 13-23 Juni sebesar 1,52 persen.
Potensi pelemahan nilai tukar berkorelasi langsung dengan dinamika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam nota Keuangan RAPBN 2025 disebutkan setiap pelemahan Rp100 per dolar AS meningkatkan penerimaan Rp4,7 triliun melalui PNBP terkait ekspor komoditas dan pajak ekspor.
Namun dari sisi belanja, pelemahan sebesar Rp100 per dolar AS dapat meningkatkan beban belanja pemerintah pusat hingga Rp8 triliun. Dengan selisih pendapatan dan belanja mencapai Rp3,4 triliun, ini mengonfirmasi melemahnya rupiah berdampak sistemik terhadap pelebaran defisit fiskal Indonesia.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News