1
1

CORE Indonesia Sebut Surplus Ekonomi RI Berpotensi Turun Akibat Tarif AS

Ilustrasi. | Foto: TPS

Media Asuransi, JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan eskalasi perang dagang Trump sejak April 2025 memicu ketidakpastian ekonomi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ketegangan tarif resiprokal yang dimulai awal April mengancam pertumbuhan ekonomi dunia.

International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global untuk 2025 menjadi 2,8 persen pada April, turun drastis dari prediksi Januari sebesar 3,3 persen. Ironisnya, angka April ini belum memperhitungkan dampak penuh perang dagang Trump.

|Baca juga: Danantara Genjot 22 Program Strategis Tuntas hingga Akhir 2025, Termasuk Restrukturisasi Asuransi!

|Baca juga: 22 Program Strategis Danantara Dapat Catatan Khusus dari Komisi VI, Apa Itu?

Pemerintah gagal dalam melakukan negosiasi tarif meskipun Indonesia mengumumkan kesepakatan tarif resiprokal sebesar 19 persen untuk ekspor Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS). Kesepakatan negosiasi yang oleh Pemerintah Indonesia disebut sebagai hasil dari ‘exceptional struggle‘ ini harus dibayar mahal.

Jika dibandingkan dengan tarif sebelumnya, penerapan tarif resiprokal dapat mendorong peningkatan tarif secara signifikan. Misalnya, untuk produk tekstil, tarif dapat meningkat hingga 30 persen, yang terdiri dari tarif dasar sebesar 11 persen ditambah tarif resiprokal sebesar 19 persen.

Di saat yang bersamaan Indonesia melakukan penghapusan kebijakan hambatan non-tarif, termasuk penghapusan kewajiban TKDN, lisensi, pelabelan, pemeriksaan atau verifikasi pra-pengiriman untuk produk ekspor AS. Tidak berhenti di situ, Indonesia juga harus menyepakati pembelian beberapa produk AS.

Pembelian yang dimaksudkan pembelian produk pertanian AS senilai US$4,5 miliar (Rp72 triliun, asumsi kurs Rp16.000), pembelian 50 pesawat Jet Boeing 777 senilai Rp3,5 miliar (Rp56 triliun), dan pembelian minyak mentah dan LPG senilai US$15 miliar (Rp240 triliun). Total komitmen komersial ini mencapai kurang lebih Rp368 triliun.

CORE mensimulasikan penerapan tarif resiprokal 19 persen akan memotong volume ekspor Indonesia ke pasar dunia kurang lebih 2,65 persen. Namun, dalam skenario CORE, potensi menurunnya ekspor ini bisa dikompensasi jika Indonesia bisa mendiversifikasi pasar ke anggota-anggota BRICS.

|Baca juga: Bos Danantara Cabut di Tengah Rapat Kerja dengan DPR, Ada Apa?

|Baca juga: Danantara Diminta Hindari Model Konglomerasi yang Tidak Produktif, Ternyata Ini Alasannya!

“Selain itu, akibat tarif resiprokal 19 persen, ada potensi menurunnya surplus ekonomi di Indonesia sebesar US$3,16 miliar,” kata CORE, dikutip dari CORE Midyear Review 2025 bertajuk ‘Terhimpit Pemulihan Domestik, Terguncang Risiko Global‘, Senin, 28 Juli 2025.

“Penurunan surplus ekonomi adalah ekses dari jatuhnya konsumsi produk Indonesia di pasar AS, yang mengurangi surplus produsen Indonesia, utamanya industri dengan tujuan ekspor pasar AS,” tambah CORE Indonesia.

CORE Indonesia menilai, meski Indonesia dikenai tarif resiprokal 19 persen atau sejauh ini adalah tarif yang terendah bersama Filipina di antara negara rekan dagang AS di ASEAN, namun daya saing produk ekspor Indonesia ke pasar AS relatif lebih rendah terutama jika dibandingkan dengan Vietnam.

Pertama, perbedaan tarif resiprokal Indonesia dan Vietnam hanya satu persen, di mana Vietnam dikenai tarif 20 persen. Kedua, banyak produk ekspor Vietnam yang memiliki nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) lebih bagus daripada Indonesia.

|Baca juga: Dukung Program 3 Juta Rumah Pemerintah, BNI (BBNI) Siap Salurkan 25 Ribu Unit KPR FLPP

|Baca juga: BJB (BJBR) Wujudkan Mimpi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Miliki Rumah Pertama

Sebagai contoh, nilai RCA produk alas kaki dan mesin listrik Indonesia, produk unggulan ekspor kita ke AS, masing-masing adalah 2.3 dan 1.2, sementara Vietnam mencapai 3,0 dan 1,5. Dalam hal ini, semakin tinggi nilai RCA, semakin kompetitif produk suatu negara tersebut di pasar global.

Selain itu, biaya produksi industri tekstil di Vietnam juga lebih rendah ketimbang di Indonesia karena biaya tenaga kerja di Vietnam yang lebih murah. Dalam konteks seperti ini, tarif 19 persen tidak serta merta berita bagus bagi produk utama ekspor Indonesia di pasar AS. Celakanya lagi, Indonesia perlu menanggung biaya tambahan atas komitmen komersial dengan AS.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tinggalkan Benda dan Kebiasaan Ini Untuk Hidup Hemat
Next Post 4 Rekomendasi Saham Pilihan MNC Sekuritas untuk Jemput di Awal Pekan

Member Login

or