1

Basis Risk Asuransi Parametrik

Ilustrasi. Foto: Maipark

Risiko yang Melekat pada Asuransi Parametrik

Klaim pada asuransi parametrik tidak didasarkan pada penilaian kerugian aktual tetapi pada tercapainya sebuah parameter pemicu.

Cara kerja seperti ini menjadikan terdapat risiko yang melekat pada produk asuransi parametrik, yaitu potensi ketidaksesuaian antara kerugian yang terjadi dengan klaim yang dibayarkan. Ini disebut dengan Basis Risk.

Basis risk memiliki dua bentuk, pertama disebut dengan basis risk negative (under-payment) dimana kejadian bencana terjadi namun klaim tidak dibayarkan karena parameter pemicu BELUM terlampaui. Kedua adalah sebaliknya, basis risk positif (over-payment) dimana pembayaran klaim dilakukan sedangkan parameter pemicu TELAH terlewati.

Basis risk adalah perbedaan antara kerugian sebenarnya dengan klaim asuransi yang dibayarkan. Risiko ini muncul karena asuransi parametrik menggunakan Parameter Pemicu (Parametric Trigger) yang ditentukan sebelumnya, bukan perhitungan langsung atas kerugian actual.

Basis Risk di Asuransi Parametrik Bencana Indonesia

Terdapat dua produk asuransi parametrik yang umum tersedia, yaitu asuransi parametrik gempabumi dan asuransi parametrik curah hujan – banjir.

Parameter yang umum digunakan dalam asuransi parametrik gempa adalah nilai intensitas dalam skala Modified Mercalli Intensity (MMI). Skala MMI, meski bersifat kualitatif, telah diterjemahkan ke dalam tingkat kerusakan aktual berdasarkan data pengamatan yang panjang. Sehingga dapat dikatakan bahwa basis risk pada produk asuransi parametrik gempa cenderung rendah karena hubungan kausalitas skala MMI dengan tingkat kerusakan yang sudah jelas.

Berbeda dengan gempa, basis risk pada produk asuransi terkait iklim seperti banjir masih sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas penyebab fisis sebuah kejadian banjir. Banjir disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Namun terdapat beberapa kondisi, banjir bisa terjadi akibat curah hujan sangat tinggi (ekstrim) dalam waktu yang singkat seperti yang umum terjadi pada banjir pluvial (banjir perkotaan). Namun banjir juga bisa terjadi akibat hujan intensitas sedang yang berlangsung dalam waktu lama dan menyebabkan kejenuhan tanah dalam menyerap air hujan.

Definisi “ekstrim” berbeda antarwilayah.Di daerah kering seperti Nusa Tenggara, hujan 100 milimeter dalam sehari sudah tergolong ekstrim dan berpotensi memicu banjir. Sementara di wilayah basah seperti Jabodetabek, intensitas serupa masih dianggap normal dan biasanya hanya menimbulkan genangan ringan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh iklim dan karakteristik daerah aliran sungai (DAS), seperti daya serap tanah, luas DAS, serta bentuk sungai. Karena itu, angka curah hujan tidak selalu mencerminkan tingkat risiko banjir.

Kompleksitas bertambah karena selain dipicu oleh hujan di wilayah setempat (lokal), banjir juga dapat disebabkan oleh aliran air dari bagian hulu, yang dikenal sebagai banjir kiriman. Fenomena ini terjadi ketika curah hujan tinggi di hulu meningkatkan debit sungai sehingga meluap di wilayah hilir, meskipun daerah hilir sendiri tidak diguyur hujan. Akibatnya, kerugian tetap dapat muncul tanpa tercermin dalam data curah hujan setempat.

Selain faktor cuaca, aspek non-cuaca juga turut memperbesar kompleksitas tingkat risiko banjir, misalnya kapasitas sistem drainase kota, alih fungsi lahan yang mengubah daya resap tanah, penyempitan dan pendangkalan sungai, keberadaan infrastruktur penahan banjir (tanggul, kolam retensi, waduk, dan sebagainya), hingga intervensi manusia seperti pengoperasian pintu air atau bahkan penjebolan tanggul.

Berbagai faktor inilah yang membuat basis risk pada asuransi parametrik banjir jauh lebih sulit ditekan dibandingkan gempa. Kompleksitas penyebab banjir yang berlapis, mulai dari cuaca dan iklim, kondisi DAS, hingga campur tangan manusia, menjadikan parameter tunggal seperti curah hujan sering kali tidak mampu merepresentasikan tingkat kerugian secara akurat.

Pemodelan Bencana MAIPARK untuk Kurangi Basis Risk

Meski tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, basis risk dapat diminimalkan dengan menetapkan pemicu yang paling mampu mewakili kerugian aktual. Model bencana menjadi kunci dalam proses ini karena mampu menjembatani hubungan kausalitas antara parameter pemicu dengan kerusakan terjadi.

Dalam perancangan asuransi parametrik, model bencana digunakan untuk merancang process function dan payout function. Process function menggambarkan bagaimana parameter pemicu diterjemahkan menjadi tingkat keparahan Bencana, sementara payout function menentukan bagaimana tingkat keparahan tersebut dikonversi menjadi besaran ganti rugi yang dibayarkan.

Perancangan kedua fungsi ini dilakukan Melalui simulasi stokastik, yaitu menghasilkan ribuan scenario bencana acak berdasarkan distribusi probabilitas. Dari berbagai skenario tersebut dianalisis hubungan antara pemicu, tingkat keparahan, dan ganti rugi, sehingga terbentuk fungsi yang robust dan mampu mewakili beragam kemungkinan kerugian, tidak hanya yang pernah tercatat dalam sejarah.

Seluruh mekanisme ini pada akhirnya bermuara pada skema yang jelas: parameter apa yang digunakan sebagai pemicu, ambang batas berapa yang memicu klaim, dan berapa besar pembayaran klaim yang diberikan. Tanpa model bencana yang teruji, perancangan produk asuransi parametrik yang handal adalah mustahil.

Industri asuransi umum Indonesia telah memiliki pemodelan bencana yang terus dikembangkan di MAIPARK. Model ini akan menjadi pondasi dari pengembangan produk asuransi parametrik bencana apapun di industri asuransi umum Indonesia.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Skema Risk Sharing Bakal Buat Beban Konsumen Asuransi Bertambah? Pengamat Bilang Begini!
Next Post Menyalakan Asa dan Melindungi Masa Depan Finansial Lewat Inklusi Asuransi

Member Login

or