Media Asuransi, JAKARTA – Chief Investment Officer DBS Hou Wey Fook mengungkapkan reli kenaikan harga telah tiba. Mulai dari saham teknologi hingga emas dan aset kripto, berbagai aset berisiko mengalami tren kenaikan luar biasa sepanjang 2025.
“Tren kenaikan besar-besaran ini diperkirakan berlanjut seiring The Fed memulai pelonggaran kebijakan moneter dengan pasar berjangka memperkirakan hampir lima kali penurunan suku bunga hingga akhir 2026,” kata Hou Wey Fook, dalam DBS CIO Insights bertajuk ‘Ride The Trend‘, Senin, 13 Oktober 2025.
|Baca juga: Industri Asuransi Wajib Terapkan Prinsip Ini untuk Jamin Keamanan Nasabah di Era Digital
|Baca juga: Bos AAUI: Asuransi di Program MBG Buka Peluang Besar bagi Pelaku Industri
Menariknya, lanjutnya, optimisme investor justru muncul di saat tarif efektif AS mencapai level tertinggi dalam sejarah sejak 1930-an; situasi yang berpotensi menekan keuntungan korporasi dan konsumsi domestik dalam beberapa bulan mendatang.
“Tren kenaikan ini juga terjadi bersamaan dengan diluncurkannya ‘One Big Beautiful Bill‘ oleh Pemerintahan Donald Trump, yang kembali memicu kekhawatiran akan pemborosan fiskal AS, mendorong imbal hasil treasury jangka panjang naik dan melemahkan dolar AS,” tuturnya.
Ia menambahkan utang Pemerintah AS kini melebihi 120 persen dari PDB, jelas bahwa pemerintahan membutuhkan suku bunga yang lebih rendah guna membiayai biaya pelunasan utang raksasanya. Lingkungan ini telah memicu kekhawatiran tentang dominasi fiskal —situasi di mana kebutuhan fiskal mulai mengarahkan kebijakan bank sentral.
|Baca juga: KB Bank (BBKP) Angkat Widodo Suryadi Jadi Direktur, Robby Mondong Pindah ke Posisi Ini!
|Baca juga: IFG Bakal Jadi Holding BUMN Asuransi yang Dimerger, Begini Respons Pengamat dan Asosiasi!
Selain dominasi fiskal, lanjutnya, topik lain yang kemungkinan besar akan mendominasi pembahasan dalam beberapa kuartal ke depan adalah kembalinya tekanan stagflasi ringan, seiring dengan dampak negatif dari tarif ‘indah’ Trump yang terus berlanjut.
“Proyeksi The Fed sendiri dan survei investor swasta menunjukkan risiko stagflasi yang meningkat, namun pasar tetap optimistis. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh optimisme tentang potensi transformatif kecerdasan buatan (AI), dengan investor mengharapkan pertumbuhan laba yang kuat untuk 2025 dan 2026 —jauh di atas tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, berikut imbauan taktis dari DBS CIO untuk kuartal ini:
1. Lintas aset: Obligasi tetap menjadi pilihan
Obligasi saat ini lebih disukai daripada saham. Meskipun menghadapi tantangan tarif, ekonomi AS tetap tangguh, dengan pertumbuhan PDB yang stabil, penjualan ritel yang kuat, dan pertumbuhan upah yang stabil. Laba korporasi diperkirakan tumbuh sebesar 12 persen pada 2026.
|Baca juga: Bank Neo Commerce (BBYB) Relokasi KCP Pantai Indah Kapuk dan KC Medan
|Baca juga: Aturan Baru OJK Bisa Picu Gelombang Merger di Industri Asuransi, Apa Itu?
Namun, selisih imbal hasil laba AS dibandingkan dengan obligasi treasury 10 tahun telah menjadi negatif, mendukung preferensi terhadap obligasi. Meskipun aliran dana ke reksa dana saham melambat, tapi obligasi menarik aliran dana yang signifikan karena imbal hasil yang menarik dan sifatnya yang defensif, menjadikannya pilihan menarik untuk perlindungan portofolio.
2. Saham: Tingkatkan eksposur ke sektor teknologi dan ubah posisi saham AS menjadi netral. Cari peluang di Asia kecuali Jepang
DBS merekomendasikan pendekatan yang terfokus pada saham, dengan menambah eksposur pada saham teknologi AS dan Asia tanpa Jepang (AxJ), sementara mengalihkan saham AS ke posisi netral. Siklus penurunan suku bunga AS yang akan datang diperkirakan menguntungkan pasar saham global, namun valuasi yang tinggi membuat pasar sensitif terhadap kejutan negatif.
Strategi barbell —menyeimbangkan pertumbuhan (teknologi AS) dan nilai (AxJ)— memaksimalkan rasio risiko-imbalan. AxJ menawarkan valuasi yang menarik dan diuntungkan oleh pelemahan dolar AS, dengan pertumbuhan laba yang diperkirakan melampaui pasar berkembang.
3. Obligasi: Bersikap hati-hati pada obligasi jangka sangat panjang; pilih kredit peringkat investasi dibanding obligasi pemerintah
DBS mempertahankan sikap hati-hati terhadap obligasi jangka sangat panjang akibat tekanan inflasi yang persisten dan kekhawatiran terhadap kredibilitas The Fed di tengah pemotongan suku bunga. Kenaikan imbal hasil jangka panjang dan kurva imbal hasil yang semakin curam mencerminkan skeptisisme investor terhadap kemampuan The Fed dalam mengelola inflasi.
|Baca juga: SMBC Indonesia Gandeng Sribu Dukung Pertumbuhan Berkelanjutan bagi Pelaku UMKM
|Baca juga: OJK Luncurkan Roadmap Pergadaian 2026–2030 Guna Dorong Transformasi Industri Gadai Nasional
DBS lebih memilih kredit korporasi berkategori investasi daripada obligasi pemerintah, karena perusahaan-perusahaan AS mendapat manfaat dari pemotongan pajak, sementara obligasi pemerintah menghadapi tantangan fiskal. Selisih kredit tetap ketat, didorong oleh penundaan penerbitan obligasi dan dukungan yang diperkirakan dari The Fed.
4. Aset alternatif: Perkuat portofolio aset riil saat AS melakukan pelonggaran fiskal dan moneter; fokus pada infrastruktur privat dan emas
Analisis kuantitatif menunjukkan portofolio campuran yang terdiri dari aset privat semi-likuid dan strategi hedge fund mampu memberikan kinerja lebih baik dibandingkan dengan portofolio saham murni maupun portofolio tradisional 60/40 dalam jangka waktu 10 tahun.
Temuan ini menegaskan semakin pentingnya peran aset alternatif dalam pengelolaan risiko investasi. DBS merekomendasikan untuk meningkatkan porsi aset riil, seiring Amerika Serikat menjalankan kebijakan pelonggaran fiskal dan moneter secara bersamaan yang berpotensi meningkatkan risiko inflasi serta permintaan terhadap aset alternatif.
|Baca juga: Ada 230 Perusahaan Gadai Ilegal Beroperasi di RI, Bos OJK: Merugikan Masyarakat!
|Baca juga: KB Bank (BBKP) Angkat Widodo Suryadi Jadi Direktur, Robby Mondong Pindah ke Posisi Ini!
Infrastruktur privat dan emas menjadi pilihan utama. Infrastruktur menawarkan arus kas jangka panjang yang terlindungi dari inflasi, terutama pada sektor-sektor seperti utilitas. Sementara itu, kenaikan harga emas yang telah menembus US$3.400 per ons mencerminkan kekhawatiran investor terhadap ketidakstabilan geopolitik, kredibilitas The Fed, dan tren dedolarisasi.
“Kami memperkirakan harga emas dapat mencapai US$4.450 per ons pada paruh pertama 2026,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News