Media Asuransi – Rencana spin off yang diamanatkan UU No 40/2014 tentang perasuransian terkait rencana pemisahan unit usaha syariah yang akan dilaksanakan pada 2024 mendatang masih menuai polemik di kalangan Korporasi Asuransi. Pasalnya, berdasarkan laporan penyampaian rencana kerja terkait spin off tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 17 Oktober 2020 lalu, banyak perusahaan yang lebih memilih untuk meneruskan dengan memisahkan unit atau membuat perusahaan baru (full fledge) dan ada pula yang mengembalikan izin usaha syariahnya kepada OJK.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Erwin Noekman mengatakan isu spin off dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) masih menjadi tantangan regulator dan korporasi asuransi syariah. Dari sisi regulator, ini menjadi tantangan besar untuk mengeluarkan beleid atau aturan yang sesuai dengan kebutuhan industri asuransi itu sendiri. Karena arah kebijakan dari otoritas akan menjadi panduan dalam menjalankan usaha insdustri asuransi syariah kedepannya.
“Tantangan lainnya adalah ketentuan tersebut sekaligus menguji seberapa besar komitmen pemegang saham dan perusahaan induk dalam menggarap bisnis syariah,” kata Erwin Noekman dalam Zoominar yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) dengan pokok bahasan ”Mengenal serta Update Terkini Asuransi Syariah di Indonesia” di Jakarta, Selasa, 2 Februari 2021.
Baca Juga:
- Bank Indonesia Perkuat Kurs Referensi JISDOR
- Fitch Afirmasi Peringkat Tugure A+
- Holding Baterai Rampung, IBC Cari Mitra Potensial Global
Menurut Erwin Noekman, kedepan industri asuransi syariah masih mendapatkan sejumlah tantangan besar yang akan dihadapi, selain regulator, komitmen perusahaan asuransi syariah juga pasar asuransi syariah yang semakin berkembang. Salah satunya yang menjadi perhatian besar adalah pasar regional ASEAN.
“Indonesia telah menyatakan ikut serta dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang merupakan bentuk kerja sama untuk mecapai integrasi ekonomi ASEAN di bidang jasa. Ini menjadi tantangan baru yang perlu menjadi perhatian industri dengan keterbukaan pasar yang lebih luas lagi,” jelasnya.
Dikatakan Erwin, AFAS ini akan dibuka pada tanggal 1 Januari 2025, dan yang pertama kali dibuka dalam kesepakatan tersebut berkaitan dengan asuransi umum syariah. Dengan kata lain, sejak tanggal tersebut semua pemain regional diperbolehkan memasarkan produk asuransi umum syariah secara langsung ke negara-negara di kawasan ASEAN walau tidak memiliki kantor cabang atau perwakilan SDM di negara tersebut.
”Tantangannya adalah bagaimana Indonesia dapat berperan sebagai salah satu pemain yang dapat diperhitungkan, sehingga bisa masuk ke pasar regional seperti Malaysia, Brunei, Thailand, dan negara ASEAN lainnya,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum AASI Tatang Nurhidayat mengatakan selain menyambut keterbukaan pasar regional dengan adanya AFAS, tentunya pasar asuransi syariah dalam negeri juga harus diperkuat dan mengawalnya dengan baik. Terlebih, terdekat yang akan dihadapi industri adalah spin off di tahun 2024 dan hingga saat ini masih menjadi perhatian besar baik dari regulator maupun industri.
“Aturan yang dibuat tentunya penting untuk mengarahkan jalan industri asuransi ini kedepannya, namun apakah sesuai dengan kebutuhan industri itu sendiri. ini yang menjadi pertanyaan besarnya, karena masih ada industri yang mengembalikannya kepada regulator. Dan tentunya ini menjadi perhatian dari regulator dalam hal ini OJK,” Kata Tatang.
Tatang menjelaskan, terkait dengan keterbukaan pasar regional AFAS, isu tersebut masih menjadi ranah pemerintah dan asosiasi dan belum menyentuh kepada industri. Lagi-lagi, regulator memiliki peran yang besar untuk melindungi dan mengawal pangsa pasar dalam negeri pasca diberlakukannya AFAS ini nantinya.
“Para pelaku di industri syariah harus sudah mulai mempersiapkan diri menyonsong spin off dan AFAS,”ungkapnya.
Terkait peta persaingan di Industri dalam hubungannya dengan AFAS, Tatang mengungkapkan negara-negara kawasan regional juga sudah mempersiapkan diri menghadapi keterbukaan pasar regional. Negara tetangga Malaysia dianggap sebagai negara paling siap dalam menghadapi AFAS.
“Dalam peta persaingan AFAS yang akan diberlakukan pada 2025 nanti, Malaysia menjadi negara paling siap dan lebih matang untuk berpeluang menggarap pangsa pasar di Indonesia karena memiliki sumber daya yang lebih besar seiring dengan dukungan perbankan syariahnya,” paparnya.
Baca Juga:
- Bio Farma Terima Kembali 10 Juta Vaksin Covid-19 Dari Sinovac
- Kantongi Dana Rp4,9 Triliun, SMF Siap Lunasi Obligasi Jatuh Tempo
- Aqualisbraemar Kantongi Izin Usaha Adjuster dari OJK
Meski demikian, Tatang juga mengaku optimistis pelaku bisnis Asuransi Syariah Indonesia juga memiliki peluang yang sama untuk berekspansi ke pasar regional. Terlebih Indonesia melalui Asuransi Takaful Umum saat ini tengah melakukan proses finalisasi bisnis dengan sebuah insurtech di Filipina dan ini merupakan permulaan yang baik untuk menyongsong AFAS.
Disisi lainnya, Erwin menambahkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dijadikan landasan dalam bisnis syariah, termasuk asuransi. Fatwa-fatwa tersebut bisa diterima oleh negara serumpun yang memiliki mazhab serupa. Terlebih, negara-negara ASEAN pun cukup menghormati ‘Keislaman’ Indonesia dengan cukup tinggi.
“Peluang masuk ke pasar regional, termasuk Malaysia cukup besar, pengalaman saya mengelola bisnis asuransi di sebuah BUMN di Malaysia, mereka memiliki pangsa pasar yang besar dan juga memiliki kesiapan yang lebih besar. Tentunya tidak menutup kemungkinan kita bisa masuk ke sana,” pungkasnya One
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News