1
1

Kejelasan Bentuk Akad pada Asuransi Syariah dan Korelasinya dengan Prinsip Utmost Good Faith

Oleh : Fajar Nindyo *)

Dalam dunia asuransi terdapat salah satu prinsip dasar yang menjadi bagian penting dalam proses penutupan asuransi yaitu prinsip utmost good faith. Dalam wording polis juga lazimnya sudah diatur tentang masalah ini, misalnya pada wording PSAKI (Polis Standard Asuransi Kebakaran Indonesia) Pasal 1 yang berisi kewajiban untuk mengungkapkan fakta (duty of disclosure).

Definisi utmost good faith sendiri adalah “a positive duty to voluntarily disclose, accurately and fully all facts material to the risk being proposed, whether asked for them or not” (suatu tindakan positif untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap semua fakta material mengenai sesuatu yang diasuransikan, baik diminta ataupun tidak).

Prinsip utmost good faith (ubberima fides) ini merupakan dasar dari pembuatan kontrak asuransi. Prinsip ini menimbulkan reciprocal duty baik pada pihak tertanggung maupun penanggung, yakni keduanya tidak sekadar menyertakan “niat baik” namun juga harus memberitahukan semua fakta material (material facts) yang perlu untuk diketahui oleh pihak lain.

Dalam kasus Banque Keyser Ullman SA vs Skandia UK Insurance Co Ltd & Others (1986) disebutkan bahwa sebuah broker asuransi dengan tidak jujur menerbitkan cover note yang salah, yang berdasar cover note tersebut, pihak bank mengeluarkan uang di bawah perjanjian pinjaman.

Underwriter yang terlibat mengetahui penipuan itu, namun tidak memberitahukan pihak bank yang tidak sadar akan adanya kecurangan dalam penutupan asuransinya. Padahal jika fakta yang jika diberitahukan kepada pihak bank maka pihak bank tidak akan mengeluarkan pinjaman dimaksud. Dengan demikian, penipuan itu menimbulkan kerugian keuangan pada pihak bank. Atas itikad tidak baik dari sisi penanggung maka si underwriter harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Pemenuhan Prinsip Utmost Good Faith dalam Akad Asuransi Syariah

Akad dalam bahasa Arab berarti “pengikatan antara ujung-ujung sesuatu”. Ikatan ini tidak dibedakan apakah berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti “ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah, dimana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan” (Ikhwan Abidin Basri, MA., 2003). 

Dalam praktik muamalah, kejelasan bentuk akad sangat menentukan apakah transaksi yang dilakukan sudah sah atau tidak menurut kaidah syar’i, termasuk dalam bisnis asuransi syariah. Ketidakjelasan bentuk akad akan berpotensi menimbulkan permasalahan dari sisi legalitas hukum Islam.

Jika kita pelajari fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang pedoman asuransi syariah maka pernyataan “akad yang sesuai syariah” dapat dijabarkan sebagai akad atau perikatan yang terbebas dari unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), riba (bunga), zulmu (penganiayaan), riswah (suap), barang haram, dan maksiat. Di samping itu, tidak boleh terdapat unsur penipuan (tadlis), misalnya terjadi penyembunyian fakta material (undisclosed material facts) yang berpengaruh pada diterima atau ditolaknya permohonan asuransi. Islam sendiri melarang tegas praktik tadlis dimana terjadi kebohongan melalui penyembunyian keadaan yang sebenarnya. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu melakukan transaksi jual beli maka katakanlah: tidak ada penipuan” (HR Ibnu Majah).

Karena asuransi syariah dapat dikategorikan dalam suatu transaksi muamalah maka kejelasan bentuk akad dapat mengeliminasi terjadinya tadlis dan penegakan prinsip utmost good faith di sisi operator takaful dapat terpenuhi. Tujuannya agar tidak ada pihak yang merasa tertipu akibat kecacatan (fasad) akad sehingga berpotensi menimbulkan persengketaan di antara pihak-pihak yang berakad. Maka dalam penawaran (offering) asuransi syariah, klausul akad dimasukkan sebagai salah satu klausul standard penawaran asuransi sebelum disetujui oleh peserta (participant).

Umumnya akad asuransi syariah yang dipakai di Indonesia adalah Akad Wakalah bil Ujroh. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, disebutkan bahwa “Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dan/atau melakukan kegiatan lain dengan imbalan pemberian ujrah atau fee”.

*) Penulis adalah Peminat Asuransi & Founder Pojokasuransi.com.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Tatang Nurhidayat Terpilih sebagai Ketua Umum DAI Periode 2021-2024
Next Post Pefindo Naikkan Outlook Hutama Karya Jadi Stabil

Member Login

or