Oleh : Fajar Nindyo *)
Akad Syariah dalam Asuransi Syariah
Nawawi Rambe dalam “Fiqh Islam” (1994) menjelaskan bahwa muammalah mencakup kegiatan transaksi jual beli, utang piutang, gadai, jaminan, pinjam meminjam (‘ariyah), bank, sewa menyewa (ijarah), syarikat, upah, wakaf, hibah, hadiah, barang temuan (luqatah) dan beberapa masalah lain yang berkaitan dengan bidang ekonomi.
Karena asuransi (konvensional) pada mulanya tidak dikenal dalam literatur Islam maka jumhur ulama meng-qiyas-kan asuransi sebagai praktik jual beli. Dengan demikian, sah tidaknya transaksi asuransi dari kacamata syariah ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun jual beli, yaitu: Pertama, adanya subyek yang melakukan jual beli (aaqid) yaitu penjual dan pembeli yang dilakukan oleh orang yang berakal dan akil baligh. Kedua, adanya obyek atau barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaihi) dengan syarat suci (bukan barang najis), bermanfaat, dapat diserahterimakan, dan diketahui keadaan, sifat, zat, serta ukurannya.
Ketiga, adanya sighatul aqd (pernyataan transaksi), dengan syarat adanya kesepakatan atau keikhlasan antara kedua belah pihak. Firman Allah SWT yang mengharuskan transaksi jual beli tanpa unsur paksaan dapat dibaca dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali melalui perniagaan atas dasar suka sama suka” (QS. An-Nisaa : 29).
Di samping itu, merujuk pada fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang pedoman asuransi syariah maka pernyataan atau statement “akad yang sesuai syariah” yang terkait dengan syarat rukun nomor dua di atas, selain barangnya harus halal zatnya (bukan barang najis) maka dalam sighatul aqd (yang termuat dalam kontrak asuransi) harus terbebas dari unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), riba (bunga), zulmu (penganiayaan), dan riswah (suap).
Unsur Gharar dalam Praktik Asuransi Konvensional
Gharar didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak ada kejelasan hasil. Menurut mahdzab Syafi’i, gharar berarti apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang kita takuti. Ibn Qoyyim Al-Jauziyah mendefinisikan gharar sebagai sesuatu yang tidak bisa diukur penerimaannya, barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar meskipun ada. Sedangkan pakar ekonomi syariah di Indonesia, Syafi’i Antonio, mendefinisikan gharar atau excessive uncertainty sebagai ketidakjelasan hubungan kontraktual antara perusahaan asuransi dan nasabahnya dalam bingkai hukum syariah.
Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya melarang jual beli gharar, di antaranya dari Abu Hurairah ra, “Rasulullah pernah melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain, dari Ali ra, ”Rasulullah SAW pernah melarang jual beli orang yang terpaksa, jual beli gharar, dan penjualan buah sampai dicapai.” (HR. Abu Daud).
Karena asuransi (konvensional) dapat dikategorikan sebagai transaksi jual beli maka akad yang dipakai dapat digolongkan sebagai akad tabaduli atau “akad pertukaran” yaitu pertukaran antara pembayaran premi (oleh tertanggung) vs uang pertanggungan (oleh penanggung). Merujuk pada rukun jual beli di atas, obyek pertukaran (ma’qud ‘alaihi) harus jelas ukurannya, berapa yang dibayarkan dan berapa yang diterima. Yang menjadi persoalan –misalnya dalam asuransi jiwa— adalah kita tahu berapa yang akan kita terima (sejumlah uang/manfaat pertanggungan) namun tidak diketahui berapa total yang akan dibayarkan oleh tertanggung karena bisa jadi di tengah masa pertanggungan, si tertanggung meninggal dunia. Dengan demikian dalam asuransi selalu timbul ketidakjelasan (gharar) antara “harga yang dibayar” dan “jasa yang diterima”.
Filosofi dan Implementasi Akad Syariah dalam Operasional Perusahaan Asuransi Syariah
Tabbaru berasal dari kata tabarra’a yang artinya derma. Orang yang berderma disebut mutabarri’ (dermawan). Dalam Al-Qur’an, kata tabarru merujuk pada kata al–birr (kebajikan) sebagaimana firman Allah SWT yang menyatakan, “Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan (memerdekakan) hamba sahayanya, mendirikan shalat dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177).
Oleh karena akad tabarru’ (gratuitous contract) pada dasarnya merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat nirlaba (not-for profit transaction) maka pada dasarnya dana yang terkumpul tidak boleh digunakan untuk tujuan mendapatkan keuntungan, baik diantara sesama peserta maupun pengelola (operator). Dana ini murni dipakai semata-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan. Bahkan Yusuf Qardhawi secara ekstrim berpendapat bahwa dana tabarru’ itu haram ditarik atau diminta kembali oleh peserta karena apa yang sudah ia keluarkan dapat disamakan dengan hibah.
Implementasi akad syariah dalam sistem operasional perusahaan asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pemisahan pos laporan keuangan menjadi 2 bagian utama yaitu: (1) Laporan Laba/Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain –milik Dana Perusahaan/Pengelola, (2) Laporan Surplus (Defisit) Dana Tabarru’ –milik Dana Peserta.
Selanjutnya, masing-masing dana yang terkumpul, baik yang berada di sisi pengelola maupun kumpulan peserta dapat diinvestasikan (oleh pengelola) ke dalam instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariah. Apabila dari hasil investasi di sisi pengelola diperolah hasil investasi maka akan menjadi keuntungan (profit) bagi pengelola itu sendiri. Di sisi dana tabarru’ pun, jika terdapat hasil investasi, akan menjadi keuntungan yang dapat menambah saldo dana tabarru’. Namun bisa saja pihak pengelola mendapatkan imbalan (fee) atau bagi hasil atas pengelolaan investasi dana tabarru’ tersebut berupa prosentase tertentu sesuai akad yang sudah ditentukan.
Dan yang terakhir, apabila terdapat surplus underwriting dana tabarru’ (dengan syarat-syarat tambahan tertentu) maka surplus tadi dapat dibagi atau dialokasikan kembali ke beberapa pihak berdasarkan rasio (nisbah) yang telah disepakati di awal, dengan pilihan pendistribusian sebagai berikut : (1) seluruhnya ditambahkan ke dalam dana tabarru’; (2) sebagian ditambahkan ke dalam dana tabarru’ dan sebagian dibagikan kepada pemegang polis atau peserta; atau (3) sebagian ditambahkan ke dalam dana tabarru’, sebagian dibagikan kepada pemegang polis atau peserta, dan sebagian dibagikan kepada perusahaan. (POJK No. 72/POJK.05/2016).
Bagaimana Nasib Dana Tabarru’ Kumpulan Peserta Jika Operasional Perusahaan Asuransi Syariah Tutup?
Kunci utama keberlangsungan entitas bisnis asuransi syariah terletak pada 2 hal: (1) Kecukupan keuangan pengelola (sebagai pihak yang diberikan kuasa oleh kumpulan peserta untuk mewakili kepentingan mereka); dan (2) Kecukupan dana tabarru’ sebagai sumber pembayaran klaim peserta. Dalam hal ini, sesuai Fatwa DSN MUI No 53/DSN-MUI/III/2006, dana tabarru’ hanya boleh digunakan untuk tujuan tolong-menolong di antara sesama peserta yang tertimpa musibah. Perusahaan asuransi syariah atau pengelola (operator Takaful) tidak boleh mengambil dana tabarru’ yang bukan haknya.
Ketentuan ini diperkuat dengan terbitnya POJK No. 69 Tahun 2016, yakni Perusahaan Asuransi Syariah disebutkan hanya sebagai wakil peserta untuk mengelola dana tabarru’. Pada Pasal 56 POJK No. 69 Tahun 2016 juga ditegaskan bahwa dalam akad tabarru’ harus dibentuk dana tabarru’ dari kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal perjanjian asuransi syariah. Bahkan jika terpaksa perusahaan asuransi syariah harus tutup secara operasional dan dibuat skema pengalihan portofolio kepada perusahaan lain maka perusahaan asuransi syariah tersebut wajib memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan penolakan pengalihan pertanggungan. Hal ini diperlukan guna memastikan hak-hak peserta dapat ditunaikan dengan sepenuhnya oleh perusahaan asuransi syariah.
Melalui mekanisme pemisahan pos dana tabarru’ yang terpisah dari pos dana pengelola inilah, kepastian atas pembayaran klaim peserta dapat diperoleh, asalkan terdapat kecukupan dana tabarru’ itu sendiri. Apabila saldo kelolaan dana tabarru’ cukup besar maka tidak perlu muncul keraguan di pihak peserta bahwa klaimnya tidak akan terbayarkan jika pengelola memilih menutup operasional perusahaannya. Intinya, selama tidak terjadi kesulitan likuiditas dana tabarru’ maka peserta tidak perlu khawatir klaimnya tidak akan tertunaikan. Inilah yang menjadi nilai tambah (added value) bagi nasabah atau peserta yang mempercayakan pengelolaan risikonya kepada perusahaan asuransi syariah.
*) Penulis saat ini menjabat sebagai Wakil Manajer Takaful Institute
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News