1
1

Analisa Pasar Modal: Sektor New Economy dan Rencana IPO Perusahaan Teknologi

Media Asuransi – Sektor new economy menjadi topik yang hangat dibicarakan di pasar saham Indonesia seiring dengan rencana IPO perusahaan teknologi Indonesia. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan sektor new economy?

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan, menjelaskan bahwa pada dasarnya sektor new economy adalah sektor baru dalam suatu ekonomi yang berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru karena adanya perkembangan teknologi atau perubahan struktural demografi.

Jenis sektor new economy dapat bervariasi di tiap negara, tergantung pada kondisi negara tersebut. Sebagai contoh di China yang dianggap new economy adalah sektor barang konsumer, jasa kesehatan, pendidikan, dan informasi teknologi, seiring dengan perubahan struktural ekonomi dan demografi China dari ekonomi berbasis manufaktur menuju ekonomi berbasis jasa.

“Sementara itu di Indonesia sektor new economy diasosiasikan dengan sektor teknologi dan komoditas untuk energi terbarukan. Kedua sektor ini dipandang sebagai sektor yang dapat membawa perubahan besar pada lanskap bisnis Indonesia karena dampaknya pada struktur ekonomi dan juga sosial,” jelasnya dalam keterangan resmi, beberapa waktu lalu.

|Baca juga: Cara Memulai Gaya Hidup Minimalis Kala Pandemi Covid-19

Katarina menuturkan, berkembangnya new economy dapat menjadi periode transformatif pada suatu perekonomian. Contohnya di abad 18 dan 19 terjadi revolusi industri seiring dengan perkembangan teknologi seperti penemuan mesin uap, elektrifikasi, telepon, jalur kereta api, dan lain-lain yang menghasilkan sektor ekonomi baru dan meningkatkan produktivitas ekonomi dunia.

Revolusi industri tersebut membawa perubahan secara luas baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, revolusi industri membawa kemajuan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, sementara dari sisi sosial juga terjadi perubahan yang mendorong tren urbanisasi dan meningkatnya taraf hidup masyarakat.

Sektor new economy saat ini, terutama bidang informasi teknologi, dipandang sebagai revolusi industri baru yang berpotensi membawa periode perubahan dan kemajuan produktivitas ekonomi ke level yang lebih maju layaknya revolusi industri yang terjadi sebelumnya. Oleh karena itu sektor new economy ini mendapat perhatian dari investor secara global karena potensinya yang sangat besar dan dapat berpengaruh pada kehidupan masyarakat sehari-hari.

|Baca juga: Pandemi Masih Berlanjut, OJK Tekankan Industri Pasar Modal Laksanakan Prinsip Kehati-hatian

Indonesia dinilai memiliki keuntungan yang bisa menjadi modal utama dalam perkembangan sektor new economy. Di sektor energi terbarukan, Indonesia berpotensi untuk berperan penting dalam rantai pasokan global karena kita adalah penghasil utama dari berbagai komoditas yang menjadi bahan baku untuk berbagai teknologi energi terbarukan, seperti nikel, tembaga dan bauksit. Baik dari segi jumlah produksi maupun dari segi jumlah cadangan, Indonesia berada di peringkat atas untuk komoditas-komoditas yang menjadi bahan baku dari energi terbarukan. 

Untuk ekonomi digital, kita memiliki pasar yang sangat potensial karena populasi yang besar, muda, dan produktif sehingga secara natural Indonesia memiliki daya tarik tersendiri untuk berbagai perusahaan teknologi dan startup untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnisnya di Indonesia. “Jadi sebetulnya Indonesia memiliki modal sangat kuat untuk berperan besar dalam perkembangan sektor new economy ke depannya,” kata Katarina Setiawan.

Apabila Indonesia dapat memaksimalkan keunggulan kompetitifnya dengan baik maka sektor new economy dapat menjadi driver pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat di masa depan. Hasil riset Google dan Temasek memprediksi ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh 23 persen per tahun dari USD44 miliar di 2020 menjadi USD124 miliar di 2025, pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan PDB nominal Indonesia.

Diakuinya bahwa di satu sisi ekonomi digital dapat  menimbulkan tantangan bagi industri konvensional saat ini. Kita sudah melihat terjadinya pandemi Covid-19 menyebabkan akselerasi adopsi layanan digital secara massif. Survei Google menunjukkan terdapat 37 persen pengguna layanan digital baru di Indonesia di tahun 2020, dengan 93 persen dari mereka berniat untuk melanjutkan penggunaannya pasca pandemi.

“Data ini mengindikasikan bahwa adopsi digital merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Bisnis konvensional harus dapat beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen supaya tetap relevan dan dapat berkompetisi,” tutur Katarina.

|Baca juga: Regulasi Pasar Modal, Merangsang Aksi Fund Raising di Pasar Modal pada 2021

Sementara itu di sisi lain, positifnya adalah sejauh ini perkembangan yang terjadi di Indonesia relatif baik yakni banyak industri konvensional bersinergi dengan perusahaan teknologi untuk saling memberikan nilai tambah. Kita juga melihat bisnis konvensional mulai mengembangkan layanan digitalnya seperti yang terjadi di sektor perbankan.

Berkembangnya digitalisasi dan otomasi juga dapat menyebabkan disrupsi pada tenaga kerja. Riset McKinsey memperkirakan digitalisasi dan otomasi akan menyebabkan 23 juta pekerjaan dapat terdisrupsi hingga 2030 di Indonesia. Tetapi ini bukan hanya masalah bagi Indonesia, ini merupakan tren global, sekitar 15 persen pekerjaan (400 juta pekerja) di dunia diperkirakan dapat terdisrupsi karena digitalisasi dan otomasi.

Positifnya, pekerjaan yang terpengaruh tersebut dapat digantikan dengan munculnya jutaan pekerjaan baru. Di Indonesia, hingga 2030 diperkirakan akan ada 27-46 juta lapangan pekerjaan baru yang diciptakan dari berbagai sektor karena ada kemajuan ekonomi dari digitalisasi dan otomasi. Tantangan bagi Indonesia adalah mempersiapkan kompetensi SDM agar dapat menyesuaikan diri menuju era baru.

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia ini mengingatkan beberapa tantangan yang harus diperhatikan. Pertama, akses internet. Untuk hal ini Indonesia berada pada peringkat 57 dari 100 negara berdasarkan Inclusive Internet Index dari The Economist di 2020 yang dinilai berdasarkan ketersediaan, harga, dan kesiapan masyarakat untuk mengakses internet. Isu ini terutama terjadi di luar kota besar yang kesulitan untuk mendapat akses internet yang dapat diandalkan.

|Baca juga: Dana Kelolaan Reksa Dana Mei 2021 Susut Rp32,31 Triliun

Kedua, logistik. Indonesia adalah negara kepulauan yang besar sehingga biaya logistik relatif lebih tinggi dibanding negara lain. Logistic Performance Index dari World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat 46 di dunia, lebih rendah dibanding negara ASEAN lain seperti Malaysia (41), Vietnam (39), Thailand (32), dan Singapura (7).

Ketiga, kepercayaan konsumen dan keamanan siber. Potensi peningkatan adopsi teknologi berjalan selaras dengan kepercayaan konsumen dan keamanan data. Kasus data konsumen yang bocor dapat menghambat akselerasi adopsi digital di Indonesia.

Keempat, SDM. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, persiapan kompetensi SDM menjadi kunci penting dalam menghadapi perubahan tren industri menuju era digitalisasi. Kemenkominfo menyatakan terdapat kesenjangan 9 juta tenaga kerja digital hingga 2030 antara kebutuhan industri dengan tenaga kerja yang tersedia.

Sementara itu, mengenai perkembangan saham sektor teknologi dalam pasar saham Indonesia, Katarina Setiawan mengatakan bahwa di pasar saham Indonesia eksposur terhadap sektor teknologi masih sangat rendah. “Belum banyak perusahaan teknologi besar yang melakukan IPO di pasar Indonesia. Bobot sektor teknologi dalam IHSG hanya sekitar 0,8 persen, jauh lebih kecil dari bobot tersebut di pasar Amerika Serikat misalnya yang mencapai 27 persen dalam indeks S&P 500, atau mencapai 18 persen dalam indeks MSCI Asia Pacific,” katanya.

Dia jelaskan, hal ini juga yang menjadi salah satu faktor mengapa kinerja pasar saham Indonesia tertinggal (underperform) dibanding pasar saham regional dalam beberapa tahun ke belakang, karena minat investor global yang sangat tinggi terhadap sektor teknologi, sehingga aliran dana investor ke Asia mengalir ke pasar saham negara-negara yang memiliki eksposur tinggi di sektor teknologi seperti China, Taiwan, dan Korea Selatan.

Oleh karena itu, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia memandang positif rencana IPO beberapa saham teknologi Indonesia. Hal ini dinilai dapat menjadi katalis yang menarik minat investor, baik asing maupun domestik, untuk kembali masuk ke pasar saham Indonesia.

“Dengan potensi ekonomi digital yang besar di Indonesia, saham perusahaan teknologi Indonesia akan mendapat perhatian dari investor secara global, terutama setelah porsi investor asing menurun beberapa tahun ini terbuka potensi aliran dana asing kembali masuk ke pasar saham Indonesia dan berdampak positif pada kinerja IHSG. Tidak hanya bagi pasar saham, potensi portfolio flow juga dapat berdampak positif bagi neraca pembayaran Indonesia ke depannya,” jelas Katarina Setiawan. Edi

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Cara Menyiapkan Dana Darurat
Next Post NH Sekuritas: IHSG Konsolidasi 6.000-6.130

Member Login

or