Media Asuransi, JAKARTA – Penyebaran varian Delta Covid-19 yang sangat menular telah membayangi dan memperlambat pemulihan ekonomi kawasan Asia Tenggara (SEA) tahun ini, terutama untuk negara-negara dengan tingkat imunitas terhadap Covid-19 yang rendah. Ekonomi beberapa negara, termasuk Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi pada kuartal ketiga tahun ini. Namun demikian, prospek Kawasan Asia Tenggara pada tahun 2022 lebih positif, menurut laporan Global Economic Forecast Report dari ICAEW dan Oxford Economics.
ICAEW (The Institute of Chartered Accountants in England and Wales) didirikan pada tahun 1880. Saat ini beranggota 189.500 akuntan dan pelajar di seluruh dunia. Mereka adalah profesional berbakat, etis, dan berkomitmen, itulah sebabnya mengapa 100 Merek Global teratas mempekerjakan chartered accountants.
The Global Economic Forecast Report memperkirakan bahwa negara yang memiliki tingkat imunitas yang rendah terhadap Covid-19 akan menghadapi risiko yang lebih besar ke depannya. Hal ini dikarenakan munculnya varian Delta yang memicu lonjakan baru dalam kasus Covid-19, sehingga negara-negara dengan peluncuran vaksinasi yang lebih lambat dan terkena gangguan rantai pasok global menjadi lebih rentan terhadap dampaknya.
Negara-negara Asia Tenggara mengalami tingkat keberhasilan yang berbeda dalam menahan varian Delta, karena tingkat vaksinasi dan pembatasan jarak sosial yang berbeda-beda. Di satu sisi, gelombang infeksi yang signifikan di Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Thailand pada kuartal kedua membuat negara-negara tersebut menghadapi perlambatan pemulihan di tahun 2021, menurut laporan tersebut. Tetapi, mereka akan melihat peningkatan yang signifikan pada tahun 2022, setelah tingkat vaksinasi lebih tinggi dan penguncian dicabut.
|Baca juga: Prospek Pemulihan Ekonomi Tergantung Penangan Varian Delta Covid-19
Ekonomi yang sangat berorientasi pada ekspor seperti Vietnam akan tetap bergantung pada pemulihan sektor manufaktur. Meskipun demikian, PDB Vietnam diproyeksikan tumbuh sebesar 5,4 persen (direvisi turun dari 7,6 persen dalam laporan terakhir ICAEW) pada tahun 2021, sebelum meningkat menjadi 7,5 persen pada tahun 2022. Peningkatan pertumbuhan akan didorong oleh pelonggaran pembatasan dan pemulihan industri yang diprediksi akan menguat sekitar pertengahan 2022.
Sementara itu, Singapura, Hong Kong, dan China juga mencatat kasus yang jauh lebih rendah. Meskipun demikian, ada beberapa dampak yang terasa dari varian Delta yang mengakibatkan diberlakukannya pembatasan yang lebih ketat pada kuartal ketiga tahun ini (Q3). Prospek untuk tahun 2022 di ekonomi negara-negara ini tergolong kuat, karena tingkat vaksinasi yang tinggi dan keberhasilan kebijakan pembatasan wilayah yang telah ditargetkan.
Dalam paparannya, Chief Economist and Managing Director at Oxford Economics Middle East, Scott Livermore, mengatakan bahwa ekonomi di Asia Tenggara memiliki imunitas terhadap Covid-19 yang rendah. Hal ini membuat mereka rentan dengan varian delta yang akan membuat beberapa negara menerapkan pembatasan yang lebih ketat untuk mencegahnya menyebar lebih jauh.
“Perkembangan baru pada negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam kemungkinan akan membebani aktivitas perekonomian mereka di kuartal IV/2021 sampai Covid-19 dapat lebih terkendali di negara masing-masing,” kata Scott dalam keterangan resmi, Rabu, 6 Oktober 2021.
|Baca juga: Percepatan Vaksinasi dan Stabilitas Sektor Jasa Keuangan, Dorong Pemulihan Ekonomi
Sementara itu Managing Director International ICAEW, Mark Billington, mengatakan bahwa varian Delta Covid-19 telah menunda proses pemulihan bagi sebagian besar ekonomi Asia Tenggara dan kenyataan hidup dengan Covid-19 sebagai endemik terbukti lebih rumit dari yang dibayangkan. “Pemerintah tidak hanya harus menerapkan pembatasan dan tindakan yang tepat untuk menahan laju penyebaran varian baru, tetapi mereka juga perlu mempercepat peluncuran vaksinasi mereka untuk mencapai imunitas terhadap virus, untuk meningkatkan prospek pertumbuhan mereka,” katanya.
Di seluruh dunia, banyak negara mengalami awal yang lemah untuk tahun ini, dengan meningkatnya infeksi dan pembatasan yang lebih ketat menghambat kegiatan di kuartal I/2021 sebelum meningkat di kuartal II/2021, seiring dengan berjalannya program vaksinasi. PDB global tercatat tumbuh sebesar 1,4 persen pada kuartal II/2021, melebihi tingkat pertumbuhan yang terlihat dalam 15 tahun sebelum pandemi Covid-19, termasuk laju pemulihan yang terlihat setelah Krisis Keuangan Global tahun 2008.
Namun, ada tanda-tanda bahwa momentum ini dapat goyah, didorong oleh pembatasan yang lebih ketat dan kekhawatiran tentang varian Delta, serta gangguan rantai pasokan yang memengaruhi sektor-sektor utama seperti manufaktur. Secara keseluruhan, laporan ICAEW Global Economic Forecast Report memperkirakan ekonomi global akan tumbuh sekitar 5,8 persen pada tahun 2021 dan 4,7 persen pada tahun 2022.
Berikut ini beberapa temuan lain dalam laporan Global Economic Forecast Report:
- Perpindahan dalam pasokan global akan mengganggu sektor manufaktur di tangkat regional.
Di tingkat global, berbagai tingkat pembatasan mobilitas dan keberhasilan pelonggaran pembatasan di berbagai negara telah berkontribusi pada pola return-to-work yang tidak merata dan berdampak negatif pada rantai pasokan global. Perusahaan di seluruh dunia telah melaporkan bahwa mereka memiliki jumlah unit persediaan produk yang jauh lebih sedikit daripada yang biasanya mereka harapkan. Kendala pasokan ini akan tetap menjadi masalah dalam jangka pendek, dan produksi yang lambat akan menyebabkan peningkatan biaya dan tekanan inflasi yang akan memiliki ripple-effect pada pemulihan ekonomi di Asia Tenggara.
- Inovasi teknologi dan investasi publik sangat penting bagi ekonomi hijau.
Biaya ekonomi dari lambatnya tindakan yang dilakukan terkait perubahan iklim sangat signifikan. Untuk ekonomi Asia Tenggara yang lebih bergantung pada industri pertanian dan peternakan, kemajuan yang lebih lambat dalam memperkenalkan dan adopsi energi terbarukan dapat menjadi tantangan nyata bagi pertumbuhan PDB mereka dalam jangka panjang.
Di sisi lain, ada banyak peluang untuk menjadi penggerak awal teknologi hijau. China dan kawasan Asia Tenggara dapat menjadi penggerak utama untuk mulai memetakan pemulihan ekonomi hijau dan sebagai pemimpin dalam penelitian dan pengembangan dan inovasi teknologi. Ditambah dengan tingkat utang yang rendah, hal ini dapat memberikan peluang untuk membangun kembali industri dan bisnis yang lebih hijau, jika negara-negara mau berinvestasi dalam transisi energi bersih dan memanfaatkan kemitraan publik dan swasta untuk menciptakan perubahan.
Mereka dapat melakukan ini dengan menetapkan tujuan kebijakan yang jelas dan memberikan panduan kepada bisnis, untuk mengintegrasikan strategi berkelanjutan dalam organisasi mereka dan membandingkan kemajuan mereka dengan sistem pelaporan yang sama. Edi
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News