1
1

Era Baru Sistem Perpajakan Internasional Atasi BEPS

Media Asuransi, JAKARTA – Baru-baru ini, negara–negara anggota Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD/G20) menyepakati sistem pajak internasional yang terdiri dari dua pilar solusi untuk mengatasi isu hilangnya potensi pajak akibat digitalisasi dan globalisasi, terutama untuk mengatasi Base Erosion Profit Shifting (BEPS).

Kemungkinan adanya profit shifting dalam praktik bisnis merupakan tantangan terkait perpajakan yang dialami oleh negara–negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional dengan memanfaatkan celah peraturan yang ada. Kerugian dalam bentuk berkurangnya/hilangnya potensi pajak negara–negara secara global diperkirakan sebesar US$100 miliar hingga US$240 miliar, atau setara dengan 4% hingga 10% Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Pertemuan G20 tahun ini akhirnya menghasilkan dua kesepakatan penting baru untuk pajak digital yang dinamakan Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation and Globalization of the Economy atau dua pilar utama sebagai fondasi pemajakan ekonomi digital yang dalam perkembangannya diperluas untuk seluruh sektor perusahaan multinasional.

 |Baca juga:Negara G20 Tingkatkan Kerja Sama Atasi Covid-19 & Pemulihan Ekonomi Global

Pada kesepakatan pajak sebelumnya, negara asal berdomisilinya perusahaan multinasional tersebut dapat melakukan pemungutan pajak suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk menarik pajak. Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, Unified Approach, hak perpajakan negara asal tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.

Sementara itu, Pilar 2 merupakan usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak yang dilakukan melalui penerapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global untuk melindungi basis pajak yang terdiri atas dua rencana kebijakan.

Pertama, pengenaan Pajak Penghasilan Badan minimum sebesar 15% untuk perusahaan multinasional yang beroperasi di beberapa negara. Ini artinya perusahaan multinasional harus membayar lebih banyak pajak di negara manapun mereka menjual produk atau layanannya.

Kedua, selain memberikan ambang batas minimum 15% tersebut, perusahaan–perusahaan yang menghasilkan lebih dari 10% keuntungan dari penjualan produk atau layanan mereka di negara lain harus membayarkan pajak kepada negara tempat mereka beroperasi dan juga negara asal.

Indonesia menyambut baik hasil keputusan tersebut, dengan adanya penetapan tarif pajak yang baru diharapkan dapat menghilangkan persaingan tarif pajak yang tidak sehat sehingga dapat menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif.

Di sini, Indonesia juga berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15%.

|Baca juga:Indonesia Jadi Negara Berkembang Pertama yang Terapkan Pajak Karbon

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa kesepakatan tersebut akan berdampak positif kepada negara pasar seperti Indonesia karena berkesempatan mendapat alokasi hak pemajakan atas penghasilan yang diterima perusahaan digital global atau multinasional terbesar. Kesepakatan yang dihasilkan tersebut juga selaras dengan reformasi perpajakan yang saat ini sedang dilakukan pemerintah, khususnya di area perpajakan internasional.

Menyikapi kesepakatan pajak internasional ini, Head of Tax Grant Thornton Indonesia, Tommy David, mengatakan kesepakatan baru tersebut memberikan harapan yang sangat positif sambil tentunya perlu terus mengamati bagaimana penerapan dan perkembangannya.

“Terkait hal ini, mungkin selain kita perlu terus berkreasi memikirkan apa yang dapat membuat kita tetap menarik di mata investor asing, kita juga perlu terus amati apa yang telah dan akan (terus) dilakukan negara-negara yang kita anggap sebagai kompetitor.” 

Menurutnya, pada umumnya setiap negara tentunya ingin terlihat menarik di mata para pelaku bisnis termasuk juga para penanam modal asing. Dan ini akhirnya mungkin bukan hanya menyangkut aspek perpajakan yang perlu fleksibel/dinamis/lincah mengikuti perkembangan, tetapi juga terkait aspek lainnya yang lebih luas lagi sebagaimana juga telah banyak dibicarakan di berbagai kesempatan, misalnya menyangkut kepastian hukum, stabilitas politik, dan lain lainnya.

Sementara itu, sambungnya, bagi pelaku bisnis internasional maupun yang bertransaksi dengan pebisnis internasional, mungkin akan timbul kebutuhan untuk mengikuti terus perkembangan peraturan-peraturan perpajakan terkait dengan perkembangan di atas.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Miliki Aset Likuid Rp17 Triliun, Peringkat Bank Mayapada (MAYA) Ditegaskan idBBB-
Next Post CIMB Niaga dan Fintech Batumbu Perkuat Kolaborasi Dukung UMKM

Member Login

or