Media Asuransi, JAKARTA – PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) membutuhkan dana minimal US$1 miliar atau sekitar Rp14,26 triliun (kurs = Rp14.260/ US$) untuk memangkas utang dan tetap mengudara. Saat ini, perusahaan sedang dalam pembicaraan dengan kreditur untuk restrukturisasi utang senilai US$6,3 miliar atau setara Rp89,84 triliun.
Kepastian Pemerintah lewat Kementerian BUMN tentang nasib maskapai penerbangan nasional itu pun sudah mulai tampak. Manajemen GIAA dan konsultan yang ditunjuk diberi keleluasaan untuk melakukan negosiasi ulang dengan kreditur, lessor dan pemegang obligasi dan Sukuk perseroan.
Baca juga: Mencengangkan, Laba Bersih PGAS Meroket 437%
Dapat dipastikan pemerintah akan buka pintu buat swasta bila tertarik menjadi pemegang saham utama. Proses negosiasi ini ditunggu hingga kuartal kedua 2022 mendatang bila perusahaan tidak dipailitkan oleh kreditur. Sambil menunggu proses negosiasi, GIAA setidaknya butuh modal operasional sekitar US$1 miliar.
Pemerintah mengatakan dapat melepaskan kendali mayoritasnya atas maskapai penerbangan yang dirundung utang itu.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, mengatakan Garuda saat ini sedang dalam pembicaraan dengan kreditur untuk merestrukturisasi utang senilai US$6,3 miliar, dan diharapkan dapat mencapai kesepakatan pada kuartal kedua tahun 2022.
Maskapai pembawa bendera Indonesia ini, telah menyiapkan beberapa opsi dalam negosiasi utang. Termasuk beralih ke instrumen seperti obligasi konversi wajib atau pinjaman bank tanpa kupon.
Baca juga: Indonesia Siap Capai Target Penurunan Emisi Karbon 2030
“Kami sedang bernegosiasi dengan banyak pihak untuk keperluan yang berbeda, sehingga preferensi mereka berbeda-beda. Harus saya tegaskan, pemerintah tidak ingin membuat Garuda bangkrut. Yang kami cari adalah penyelesaian utang baik di luar proses pengadilan atau melalui proses pengadilan,” imbuhnya seperti dikutip Bloomberg, Senin (1/11).
Setelah kesepakatan utang tercapai, Garuda akan mulai mencari cara untuk mengumpulkan dana US$1 miliar untuk membayar kewajibannya dan untuk modal kerja. Dengan kebutuhan dana yang begitu tinggi, pemerintah kini memilih bersikap realistis dan terbuka terhadap kemungkinan investor swasta menjadi pemilik mayoritas.
“Kami sedang berusaha mengajak pemain hub besar,” katanya.
Kartika mengatakan, Garuda harus memangkas utangnya sekitar 70%-80% agar bisa bertahan. Laporan keuangan terbaru perusahaan menunjukkan bahwa Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar US$2,8 miliar pada akhir Juni.
Garuda bergabung dengan sejumlah maskapai global yang rontok akibat pandemi. AirAsia Group Bhd. telah menawarkan untuk membayar kreditur hanya 0,5% dari lebih dari US$8 miliar total utang yang mereka miliki, dan mengakhiri semua kontrak yang ada. Philippine Airlines Inc. bahkan mengajukan pailit di New York pada September lalu.
Di luar Asia Tenggara, Latam Airlines yang berbasis di Chili, Aeromexico dan Avianca Holdings Kolombia mencari perlindungan pengadilan pada tahun 2020. Sebagai mantan bankir kawakan, Kartika sejatinya sudah terbiasa berurusan dengan restrukturisasi utang. Tapi dia mengakui adanya permasalahan yang unik di Garuda, karena faktor-faktor seperti pandemi, volatilitas nilai tukar, dan sensitivitas harga minyak.
“Dalam skenario terburuk pemerintah, Garuda akan meminta perlindungan pengadilan jika semua negosiasi gagal. Saya akan menempatkan tantangan Garuda di 9,5 pada skala 1 hingga 10. Kami hanya berlari dengan harapan sekarang.” Pungkasnya. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News