Media Asuransi, JAKARTA – Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan peringkat nasional jangka panjang ‘AAA(idn)’ untuk obligasi PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo, BBB/AAA(idn)/Stabil) senilai Rp3,35 triliun.
Obligasi ini merupakan penerbitan tahap kedua dari program obligasi berkelanjutan perusahaan sebesar Rp3,5 triliun.
Melalui keterangan resminya, Fitch menjelaskan bahwa obligasi tersebut diperingkat sama dengan peringkat nasional jangka panjang Protelindo karena utang tersebut merupakan kewajiban senior tanpa jaminan dari perusahaan. Perusahaan menara tersebut akan menggunakan dana yang terhimpun dari penerbitan ini untuk membiayai kembali utang yang telah ada saat ini.
Peringkat nasional ‘AAA’ menunjukkan peringkat tertinggi yang diberikan Fitch pada skala peringkat nasional untuk Indonesia. Peringkat ini diberikan kepada emiten atau surat utang dengan ekspektasi risiko gagal bayar yang terendah relatif terhadap emiten atau surat utang lainnya di Indonesia.
Fitch meyakini bahwa akuisisi yang didanai utang oleh Protelindo pada Oktober 2021 atas 94,03% dari operator menara independen terbesar ketiga di Indonesia, PT Solusi Tunas Pratama Tbk (STP), akan meningkatkan funds from operations (FFO) net leverage-nya secara sementara.
“Kami memproyeksikan FFO net leverage proforma 2021 Protelindo akan melemah ke 5,0x-5,3x (2020: 3,1x), serupa dengan leverage perusahaan menara terbesar kedua di Indonesia PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBI, BBB-/AA+(idn)/Stabil) pada 5,0x-5,5x.”
Namun, Fitch mengekspektasi FFO net leverage akan membaik ke bawah 4,5x pada 2022-2023. Manajemen berencana untuk menggunakan sinergi akuisisi dari entitas gabungan dan arus kas bebas yang lebih tinggi untuk mendorong penurunan leverage.
|Baca juga: Protelindo Akuisisi Solusi Tunas Pratama (SUPR) Rp16,72 Triliun
Menurut Fitch, manajemen Protelindo meyakini bahwa akuisisi yang didanai utang atas STP tidak akan mengubah disiplin keuangan dan rekam jejak perusahaan untuk menjaga leveragenya lebih rendah secara signifikan daripada leverage perusahaan menara global lainnya.
Perusahaan secara historis telah membuktikan kebijakan keuangan yang konservatif dalam hal pengembalian pemegang saham dan merger dan akuisisi (M&A) yang didanai utang.
Protelindo akan meningkatkan skalanya setelah akuisisi menjadi sekitar 28.000 menara dan 52.000 sewa, dan pangsa pasarnya pada sektor menara Indonesia menjadi sekitar 30% dari 24%, yang dapat memberikan daya tawar yang lebih baik dengan perusahaan telekomunikasi.
Namun, hal ini akan diimbangi oleh sekitar 39% porsi pendapatan terhadap perusahaan yang akan dihasilkan dari merger yang direncanakan antara PT Indosat Tbk (BBB/AAA(idn)/Rating Watch Negatif) dan PT Hutchison 3 Indonesia(Hutch), yang akan memiliki profil kredit satu hingga dua notch lebih lemah daripada Protelindo.
Akuisisi STP akan menyebabkan sekitar setengah dari pasar menara lokal berada di bawah Protelindo dan TBI, dan 24%-25% di bawah PT Dayamitra Telekomunikasi, anak perusahaan dari pemimpin pasar seluler PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (BBB/Stabil). Sisanya terfragmentasi dengan beberapa perusahaan memiliki 1.000-3.000 menara, seperti PT Bali Towerindo Sentra Tbk (BBB+(idn)/Positif).
Omnibus law yang baru, yang mengizinkan perusahaan asing untuk mengakuisisi 100% dari perusahaan menara, kecil kemungkinannya untuk memperburuk kompetisi karena industri sebagian besar telah terkonsolidasi.
“Kami meyakini rencana merger Indosat dan Hutch dapat mengurangi permintaan menara dan ekspansi fiber pada 2021-2022.”
Namun, kecil kemungkinan hal ini untuk menyebabkan redundansi menara untuk Protelindo-STP, karena kami memperkirakan hanya sekitar 14% dari sewa Indosat-Hutch akan perlu diperbarui pada 2021-2025. Hanya persentase satu digit yang rendah dari menara-menara Protelindo-STP yang memiliki Indosat dan Hutch keduanya sebagai penyewa.
Fitch mengekspektasi permintaan menara dan fiber dari XL dan PT Telekomunikasi Selular untuk mengimbangi beberapa pembatalan sewa Hutch-Indosat.
|Baca juga: Efek Akuisisi Solusi Tunas Pratama (SUPR), Peringkat Protelindo Ditegaskan BBB
“Kami memproyeksikan bahwa entitas gabungan akan menghasilkan pendapatan dan EBITDA yang disesuaikan oleh Fitch sekitar Rp10 triliun dan Rp8,2 triliun, secara berurutan, pada 2021.”
Visibilitas arus kas tinggi karena entitas gabungan akan memiliki pendapatan kontrak terkunci sekitar Rp58 triliun dan rata-rata tertimbang sisa periode kontrak sekitar 6 tahun. Ini lebih tinggi secara signifikan daripada Rp29 triliun pendapatan terkunci TBI dan rata-rata tertimbang sisa periode kontrak TBI sebesar 5,3 tahun pada akhir Juni 2021.
Fitch mengekspektasi Protelindo dapat mengelola pembaruan kontrak sewanya, karena hanya sekitar 8% dari kontrak-kontraknya akan jatuh tempo hingga 2022. Pendapatan dan EBITDA Protelindo meningkat secara organik sebesar 8% pada 1H21, didorong oleh pertumbuhan pada bisnis non-menaranya dan penambahan sewa.
Fitch juga mengekspektasi entitas gabungan untuk menghasilkan marjin arus kas bebas di kisaran 6-10% karena arus kas yang dihasilkan akan membiayai belanja modal dan pengembalian pemegang saham.
“Kami memproyeksikan rasio belanja modal terhadap pendapatan 2021 untuk menurun ke 28-30% (2020: 36%) karena pertumbuhan menara dan sewa yang lebih lambat selama Protelindo mengintegrasikan portofolio menara STP. Belanja modal untuk jaringan fiber akan tetap tinggi karena perusahaan bermaksud untuk memperluas layanan konektivitas fibernya secara agresif.”
Fitch meyakini diversifikasi pendapatan akan terus membaik karena bisnis non-menara seperti very small aperture terminal, metropolitan wireless fibre optic, dan fiberisasi menara akan bertumbuh pada 15%-20% pada 2021-2022 dan berkontribusi sekitar 20% (2020: 15%) terhadap pendapatan 2021.
Fiberisasi menara memiliki profil risiko bisnis yang serupa dengan segmen menara karena kontrak jangka panjang yang tidak dapat dibatalkan (10-14 tahun) dan kemungkinan untuk memiliki beberapa penyewa. Namun, margin EBITDA-nya sebesar 70%-75% lebih rendah daripada marjin bisnis menara yang berada di atas 80%.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News