1
1

Pemda Harus Percepat Digitalisasi Ekonomi

Media Asuransi, JAKARTA – Percepatan digitalisasi akan jadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dalam rangka memulihkan kondisi perekonomian pasca pandemi Covid-19.  Pemerintah daerah perlu mendorong para pelaku usaha UMKM di daerah untuk memanfaatkan kemajuan teknologi guna menggerakkan perekonomian.

“Saat ini perkembangan digitalisasi, gaya hidup, dan ekonomi digital di Indonesia kian hari makin pesat dan merata,” kata Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Adiningsih, saat memimpin FGD Moneter yang diadakan Panitia Pusat Hari Pers Nasional (HPN) 2022, bertema “Strategi Pemulihan Ekonomi Daerah Pasca Pandemi” di Jakarta, Kamis, 27 Januari 2022. 

Menurut dia, digitalisasi telah merambah ke berbagai aspek kehidupan. Bahkan perkembangan dalam satu dekade ke depan yakni 2020-2030 akan meningkat hingga lima kali lipat.

Ekonom yang sekaligus Founder Institute of Social Economic Digital (ISED) ini menyatakan aktivitas perekonomian ke depan akan semakin memanfaatkan teknologi digital.  Perkembangan tersebut memaksa setiap orang harus mampu adaptif terhadap digitalisasi ekonomi dan  aktivitas perekonomian secara online.

|Baca juga: Digitalisasi, Kunci Pertumbuhan Bisnis Bank Masa Depan

“Akan tetapi saat ini ada sejumlah tantangan yang dihadapi yakni terkait keamanan data dan keamanan bertransaksi ekonomi,” jelas Guru Besar UGM ini.  Di masa depan, teknologi dan manusia akan saling melengkapi sehingga digitalisasi dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia dengan tetap mengedepankan manusia sebagai pusat pengendali yang tak dapat tergantikan oleh kecanggihan teknologi digital manapun.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Deputi III KSP Bidang Perekonomian, Panutan S Sulendrakusuma, menyatakan bahwa perdagangan secara digital atau online di Indonesia selama 2021 sudah menembus US$ 70 miliar.  Valuasi ekonomi digital Indonesia tumbuh 49 persen sepanjang 2021 menjadi 70 miliar dolar AS dari sebelumnya 47 miliar dolar AS pada 2020.

Dia menyatakan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo terus mendorong percepatan proses digitalisasi dengan menghilangkan berbagai kendala yang ada.  

Di sisi lain, menurut Panutan, pemerintah terus mendorong pemerintah daerah baik jajaran eksekutif dan legislatif untuk melakukan percepatan ekonomi terutama dalam pengadaan barang dan jasa,” katanya.  Selama ini masalah klasik yang sering terjadi adalah banyak dana milik pemda tidak dibelanjakan sehingga disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Sementara itu Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II Otoritas Jasa Keuang (OJK), Bambang Widjanarko, menyatakan bahwa pemulihan ekonomi sektor keuangan pasca pandemi dilakukan dengan mendorong perekonomian digital di daerah.  “OJK membuat regulasi yang mendorong keterlibatan BPD dan UMKM di daerah untuk memanfaatkan teknologi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Bambang mengatakan bahwa salah satu strategi yang dilakukan adalah mendorong efektivitas program Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) baik pada saat pandemi Covid-19 maupun pasca pandemi Covid-19. TPAKD efektif dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat.  “Pemerintah daerah dapat memanfaatkan TPAKD dalam rangka menekan ekonomi biaya tinggi di masyakarat seperti keberadaan para rentenir,” ujarnya.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, meminta Bank Indonesia untuk meninjau kebijakan moneter yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi tidak maksimal.  Pasalnya kebijakan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia menciptakan persaingan dengan instrumen fiskal. “Kebijakan moneter BI harus ditinjau ulang.  IMF telah merekomendasikan BI untuk mengurangi instrumen moneter karena justru menjadi pesaing bagi instrumen fiskal,” katanya.  

|Baca juga: Ekonomi Digital Akan Tumbuh Hingga Rp4.500 Triliun di 2030

Menurut Piter, kebijakan suku bunga BI dalam praktiknya justru mendistorsi pasar karena timbul persaingan dengan otoritas fiskal.  Suku bunga yang tinggi yang ditetapkan BI akan menguntungkan perbankan dan pemilik modal yang besar.

Dia memberi contoh akibat banyaknya instrumen BI dalam menyerap likuiditas di pasar maka sektor riil yang terkena dampaknya.  Potensi pertumbuhan ekonomi terhambat karena suku bunga BI yang tinggi.  Suku bunga tinggi menyebabkan suku bunga kredit perbankan ke sektor riil juga tinggi. “Suku bunga kredit perbankan bisa mencapai lebih dari 20 persen per tahun kepada debitur.  Akibatnya debitur atau pelaku usaha terbebani dengan suku bunga kredit,” kata Piter.

Menurutnya penyebab utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak bisa maksmimal karena ketidakefektifan kebijakan moneter BI.  “Akibat kebijakan moneter BI yang tidak efektif maka net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia sangat tinggi dan sulit diturunkan, karena pemilik dana memiliki posisi tawar yang kuat,” ujarnya.

Piter mengatakan BI sebaiknya memperbaiki anomali suku bunga perbankan yang masih tinggi saat BI telah menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day (Reverse) Repo Rate. “Masalah utama yang harus diselesaikan BI adalah mengatasi anomali suku bunga. Karena suku bunga ini sangat mengganggu perekonomian kita dimana suku bunga bank yang begitu tinggi,” katanya.

Menurut dia, dengan suku bunga perbankan yang tinggi, bank menjadi lebih memilih menaruh uang di Surat Berharga Negara (SBN) ketimbang menyalurkan kredit, apalagi ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang risikonya masih besar.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bank Mandiri Cetak Laba Bersih Rp28,03 Triliun di 2021
Next Post MARKET BRIEF: Bursa Wall Street Masih di Zona Merah

Member Login

or