Media Asuransi, JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan kebijakan untuk menurunkan tarif Pungutan Ekspor menjadi USD 0 yang diputuskan melalui rapat Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), melengkapi berbagai kebijakan sebelumnya.
Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut dalam rangka mendorong percepatan ekspor dan peningkatan harga Tandan Buah Segar (TBS) di level petani dan sekaligus berkontribusi terhadap penurunan harga CPO global.
Menurut Febrio, kebijakan tersebut ditempuh dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDPKS pada Kementerian Keuangan. Dengan tarif pungutan ekspor semua produk CPO dan turunannya menjadi USD 0 sejak 15 Juli sampai dengan 31 Agustus 2022 dan terhitung mulai 1 September 2022, tarif progresif akan berlaku kembali terhadap harga pungutan ekspor. “Ini diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor lebih cepat lagi dan meningkatkan harga TBS di level petani,” katanya melalui keterangan resmi, Rabu, 20 Juli 2022.
|Baca juga: Prospek Kenaikan Harga CPO Terhambat, Rekomendasi Diturunkan Jadi Netral
Febrio mengatakan, pemerintah tetap berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat, hilirisasi produk kelapa sawit baik untuk sektor industri dengan mendorong perkembangan industri oleokimia (bahan kimia yang berasal dari lemak seperti kosmetik dan deterjen) maupun melalui dukungan pembentukan pabrik-pabrik kelapa sawit berskala kecil, dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia terutama program pengembangan yang sesuai praktik pertanian yang baik dan menunjang keberlanjutan usaha.
Pemerintah juga berkomitmen untuk melanjutkan Program Mandatori Biodiesel untuk mendukung target bauran energi Indonesia sebesar 23% di tahun 2025. “Program Mandatori Biodiesel yang saat ini mencapai B30 yang telah dijalankan mampu menciptakan instrumen pasar domestik sehingga mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor,” jelas Febrio.
Sebagaimana diketahui, saat ini risiko perekonomian global masih relatif tinggi, terutama dipengaruhi oleh tingginya harga komoditas pangan dan energi serta dampak dari perang di Ukraina yang masih berlanjut. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membentuk Global Crisis Response Group (GCRG) untuk mengantisipasi terjadi krisis pangan dan energi global. Food and Agriculture Organization (FAO) bersama IMF, Bank Dunia, World Food Programme, and World Trade Organization (WTO) juga mengeluarkan pernyataan bersama pada tanggal 15 Juli 2022 untuk melakukan aksi nyata mengatasi krisis pangan.
|Baca juga: Berkah Kenaikan Harga CPO, Laba Dharma Satya (DSNG) Melonjak 110%
Pada sisi lain, pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 yang ketiga, Indonesia dan negara G20 lainnya memiliki pandangan yang sama akan pentingnya kerja sama global mengatasi krisis pangan. Di tengah tantangan global ini, Indonesia sebagai negara produsen produk sawit (Crude Palm Oil-CPO) terbesar di dunia sekaligus sebagai pengguna produk sawit berupaya menyesuaikan kebijakan agar mampu menjawab kebutuhan masyarakat sembari tetap mampu berkontribusi pada kepentingan bersama di tingkat global.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian atas tingginya harga komoditas, maka kebijakan fiskal senantiasa antisipatif dan responsif untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga momentum pemulihan ekonomi tetap berlanjut dan semakin menguat. Dalam konteks untuk merespons kenaikan harga CPO dan minyak goreng, pemerintah telah berupaya keras melakukan berbagai kebijakan pengendalian CPO yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng, profit usaha yang berkeadilan, keberlanjutan program B30, dan kesejahteraan petani.
“Saat ini, ketersediaan dan keterjangkauan harga minyak goreng curah yang dijual di pasar-pasar tradisional di beberapa wilayah khususnya Jawa sudah tercapai, sehingga pemerintah memutuskan untuk menerbitkan kebijakan pelengkap untuk mendorong ekspor minyak sawit mentah dan turunannya dengan menurunkan pungutan ekspor,” jelas Febrio.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News