Media Asuransi, JAKARTA – Sempat dianggap terlambat melakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada, kini arah kebijakan dan kenaikan Fed Funds Rate semakin selaras dengan ekspektasi pasar, yaitu naik ke kisaran 3,4 persen di akhir tahun 2022.
Apakah ini berarti kenaikan imbal hasil US Treasury jangka menengah juga sudah mendekati puncaknya? Benar. Saat ini ekspektasi Fed Funds Rate sampai akhir tahun, seperti yang dikomunikasikan oleh pejabat bank sentral AS itu sendiri, sudah sesuai dengan ekspektasi pasar yakni di kisaran 3,4 persen. Sebelumnya, ketidaksesuaian yang ada selalu menciptakan pertanyaan dan keraguan atas kredibilitas bank sentral dalam mengkaji kondisi ekonomi terkini.
“Ekspektasi yang selaras ini, walaupun lebih agresif, diharapkan dapat mengurangi faktor ketidakpastian, kejutan, dan volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury ke depan,” kata Senior Portfolio Manager, Fixed Income, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Syuhada Arief, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Selasa, 26 Juli 2022.
|Baca juga: Fluktuasi Kondisi Pasar Modal Diperkirakan Bakal Berlanjut
Menurutnya, saat ini kita menyaksikan proses pengetatan moneter Amerika Serikat yang paling agresif dalam beberapa dekade. Kondisi ini membuat prospek pertumbuhan ekonominya akan mengalami banyak tantangan, bahkan mungkin pula resesi. Namun data terkini yang ada setidaknya menunjukkan perekonomian saat ini masih relatif kuat.
Beberapa leading indicator juga belum menunjukkan sinyal resesi. Probabilitas resesi dari Fed NY masih di bawah level 30 persen yang merupakan ‘red flag’ atau sinyal kemungkinan potensi resesi. Begitu pula dengan data Conference Board Leading Economic Index yang sampai saat ini masih dalam zona pertumbuhan.
Syuhada mengingatkan bahwa inflasi akan menjadi faktor penting yang menentukan jalur pengetatan kebijakan moneter The Fed ke depan. “Sejauh ini kami memperkirakan inflasi akan mereda di 2023 dan sebelum mencapai kondisi tersebut pasar akan terus diwarnai oleh kekhawatiran terkait inflasi yang persisten dan perlambatan ekonomi. Tampaknya akan sulit bagi bank sentral untuk menjadi lebih akomodatif sampai ada sinyal tren penurunan harga komoditas. Mudah-mudahan kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah dan bank sentral dapat menghindarkan ekonomi dari resesi yang berkepanjangan,” jelasnya.
Sementara itu, meningkatnya kekhawatiran resesi Amerika Serikat dan juga perlambatan ekonomi global, menjadi faktor dominan yang menyebabkan berlanjutnya aksi jual investor asing. Hal ini terjadi tidak hanya pada Indonesia, namun juga pada pasar negara berkembang lainnya. Bahkan US Treasury, obligasi pemerintah Amerika Serikat sebagai safe haven asset juga tidak luput dari aksi jual investor. Namun, ekspektasi tingkat suku bunga The Fed di akhir tahun yang sudah selaras dengan ekspektasi pasar, dan kepemilikan asing yang sudah relatif rendah diharapkan dapat mengurangi volatilitas, serta aksi jual investor asing di pasar obligasi Indonesia terutama ketika sentimen global sudah membaik.
|Baca juga: Menilik Prospek Investasi Reksa Dana Indeks Berbasis ESG pada 2022
Dalam kondisi seperti ini, secara umum kelas aset obligasi akan menghadapi lebih banyak tantangan di tengah periode kenaikan suku bunga dan inflasi, sesuai dengan prinsip bahwa suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik. Namun fundamental makro ekonomi Indonesia yang lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter global diharapkan dapat memberikan dukungan bagi pergerakan pasar obligasi domestik.
Menurut Syuhada Arief, beberapa faktor positif yang mendukung di antaranya adalah:
- Kebijakan pemerintah untuk menjaga beberapa harga barang membuat inflasi tahun 2022, walaupun meningkat, tetap terkendali.
- Basis investor yang lebih terdiversifikasi, yakni naiknya partisipasi investor domestik dan penurunan kepemilikan investor asing (saat ini persentase kepemilikan asing di bawah 16 persen), berkontribusi pada stabilitas pergerakan pasar obligasi domestik.
- Kemenkeu menyatakan bahwa terjadi surplus anggaran pada bulan Mei sebesar Rp132,2 triliun atau setara dengan 0,74 persen dari PDB.
- Kemenkeu menurunkan target pembiayaan melalui lelang sebesar Rp147 triliun, hal ini berarti dalam setiap lelang target penerbitan turun dari Rp20 triliun menjadi Rp5 triliun.
“Kita melihat kebijakan BI dalam melakukan pengetatan moneter terutama suku bunga BI akan berperan penting terhadap sentimen investor global terhadap pasar obligasi Indonesia. Dalam jangka menengah kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun kembali ke kisaran 6,5 persen hingga 7,0 persen,” katanya.
Dia tambahkan, dari sisi eksternal, perkembangan konflik geopolitik dan lonjakan kasus Covid-19 di China menjadi risiko utama yang yang perlu dicermati, karena memiliki dampak yang siginifikan pada tekanan inflasi. Hal ini dapat mempengaruhi laju perubahan kebijakan moneter, dan pembelian aset.
|Baca juga: Infovesta: Reksa Dana Saham Bisa Jadi Alternatif Investasi
Sementara dari sisi internal perkembangan harga minyak dunia, dan komoditas utama ekspor memberikan dampak yang besar terhadap beban subsidi energi, dan nilai tukar rupiah. Di samping itu laju pertumbuhan kredit menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati mengingat selama ini bank menjadi pembeli mayoritas SBN. Kebijakan BI untuk menaikkan GWM secara bertahap juga harus dicermati efeknya dalam mengurangi likuiditasi di pasar.
Sedangkan mengenai pengelolaan portofolio didasari pada pendekatan top-down, analisa makro ekonomi global, dan domestik, serta kekuatan analisa bottom–up, pemilihan efek berdasarkan fundamental yang solid, untuk pembentukan portofolio yang optimal. “Dalam hal ini selain didukung tim investasi yang berpengalaman di pasar domestik, kami juga didukung jaringan global Manulife Investment Management yang memiliki tim investasi on-the-ground yang dapat memberikan keunggulan informasi dan analisa yang terkini dan tajam,” jelas Syuhada Arief.
Dengan volatilitas pasar yang tinggi, berbeda dengan strategi pada sebelumnya, kami tidak memfokuskan strategi pada overweight atau underweight duration versus durasi tolok ukur, namun kami lebih fokus kepada relative valuation methodology. “Pada strategi ini kami fokus pada pemilihan seri obligasi atau alokasi sektor tenor pada kurva imbal hasil yang memberikan spread paling optimal relative dibandingkan spread imbal hasil pada seluruh sektor tenor yang lain. Di samping itu kami juga terus mencermati likuiditas, dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terukur,” jelasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News