Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mencatat penguatan pasar global di bulan Juli 2022, di tengah siklus kenaikan suku bunga The Fed dan kekhawatiran resesi ekonomi. Sentimen pasar didukung oleh ekspektasi bahwa The Fed sudah mendekati puncak dari siklus kenaikan suku bunganya dan akan mulai beranjak lebih dovish di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Sentimen pasar juga tertopang oleh laporan keuangan emiten AS kuartal dua yang lebih baik dari ekspektasi, terutama karena ekspektasi pasar terhadap kinerja emiten sudah sangat rendah di tengah kondisi inflasi tinggi yang dapat menggerus marjin laba. Selain itu dari perspektif valuasi, pasar saham AS sudah turun ke level yang atraktif di bulan Juli, yakni rasio P/E sudah turun ke -1 standard deviasi di bawah rata-rata lima tahun.
“Hal ini memberikan entry point menarik bagi investor yang menilai kalau seluruh berita negatif terkait melemahnya pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, dan kenaikan suku bunga yang agresif sudah diperhitungkan oleh pasar saat ini,” kata Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi yang dikutip Media Asuransi, Kamis, 18 Agustus 2022.
Ekonomi AS mengalami kontraksi -0,9 persen di kuartal II/2022, merupakan kontraksi ekonomi dua kuartal berturut-turut, mengundang tanya apakah AS mengalami resesi ekonomi. Menurut Samuel, secara teknis kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut dapat dikatakan sebagai resesi. Tetapi MAMI melihat kondisi saat ini lebih kompleks dari definisi tersebut.
|Baca juga: Sentimen The Fed Mereda, Nilai Tukar Rupiah Berpotensi Menguat
Umumnya pada kondisi resesi terdapat tingkat pengangguran yang meningkat, serta aktivitas industri dan konsumsi masyarakat melemah. Namun saat ini MAMI tidak melihat kondisi tersebut terjadi di Amerika. Tingkat pengangguran masih sangat rendah yakni di 3,5 persen dan tingkat ketenagakerjaan masih pada level kuat yang tidak mengindikasikan kalau ekonomi dalam kondisi resesi.
“Secara umum kami melihat data PDB Amerika ini sebagai indikasi bahwa ekonomi Amerika dalam kondisi pelemahan, kondisi yang wajar seiring dengan kenaikan suku bunga secara agresif. Kami ekspektasikan pertumbuhan ekonomi Amerika akan relatif rendah di semester dua tahun ini dan 2023,” jelasnya.
Di tengah pelemahan ekonomi AS ini, MAMI menilai prioritas utama kebijakan The Fed adalah menanggulangi inflasi walaupun harus sedikit ‘mengorbankan’ pertumbuhan ekonomi. MAMI melihat The Fed akan melanjutkan kenaikan suku bunga di tahun ini hingga terdapat bukti kalau tekanan inflasi mereda secara konsisten.
Menariknya sudah terdapat indikasi tekanan inflasi mulai berkurang seiring dengan meredanya harga komoditas dunia. Harga minyak dunia sudah turun ke bawah USD100 per barel, turun 26 persen dari titik tertingginya di USD127, dan harga gandum yang sempat melesat karena konflik Rusia-Ukraina juga sudah turun 45 persen dari titik tertingginya.
Menurut Samuel, apabila kondisi ini dapat dipertahankan, maka sangat mungkin bagi The Fed untuk mulai mengurangi intensitas kenaikan suku bunganya yang dapat menjadi kabar positif bagi pasar finansial. Ekspektasi pasar saat ini memperkirakan suku bunga The Fed dapat mencapai 3,5 persen di akhir tahun, dengan besaran kenaikan suku bunga tiga rapat terakhir tahun ini akan lebih kecil dibanding kenaikan 75 bps di bulan Juni dan Juli.
|Baca juga: MARKET BRIEF: Bursa Wall Street Reli Merespons Keputusan The Fed
Sementara itu mengenai dampak perlambatan ekonomi global terhadap outlook ekonomi Indonesia, MAMI melihat kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan kondisi di kawasan negara maju yang cenderung mengalami perlambatan. Indonesia berada pada siklus pemulihan ekonomi didukung pembukaan kembali ekonomi yang suportif bagi pertumbuhan konsumsi domestik.
Berbagai data seperti penjualan otomotif, keyakinan konsumen, dan pertumbuhan kredit terus menunjukkan pemulihan sepanjang tahun ini. Dari sisi ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terus menurun mengindikasikan penyerapan kerja yang membaik. Data pertumbuhan ekonomi mengafirmasi momentum pemulihan ini, yakni ekonomi tumbuh 5,44 persen yoy di kuartal II/2022, naik dari 5,01 persen di kuartal pertama.
“Saat ini kami melihat risiko resesi terhadap Indonesia relatif minim, karena pemulihan konsumsi domestik memberi bantalan bagi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global,” jelas Samuel Kesuma.
Di sisi lain, inflasi umum memang meningkat mendekati 5 persen, namun inflasi inti yang merupakan acuan kebijakan BI tetap terjaga di 2,86 persen per bulan Juli. Dengan inflasi inti yang masih terjaga maka memang belum ada urgensi bagi BI untuk menaikkan suku bunga sejauh ini.
Menariknya, nilai tukar rupiah merupakan salah satu nilai tukar dengan kinerja terbaik di Asia tahun ini, walau BI belum menaikkan suku bunga. Ini mengindikasikan keyakinan pasar terhadap kredibilitas kebijakan moneter BI.
BI juga memiliki alat kebijakan selain suku bunga untuk menyerap likuiditas domestik, seperti melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM). Sepanjang tahun ini GWM sudah naik dari 3,5 persen menjadi 7,5 persen di Juli. Jadi sebetulnya pengetatan kebijakan moneter sudah dilakukan secara gradual sepanjang tahun ini.
“Namun seiring dengan pemulihan ekonomi, kami melihat inflasi inti akan naik secara gradual sehingga BI berpotensi menaikkan suku bunga ke level 4,0 persen – 4,25 persen tahun ini,” kata Samuel.
|Baca juga: Bukan AS atau Indonesia, Ini Pasar Saham Terbaik di Dunia
Di pasar modal, MAMI memiliki pandangan positif terhadap outlook pasar saham Indonesia. Volatilitas pasar di kuartal dua lebih disebabkan oleh sentimen global karena The Fed yang menjadi lebih agresif dan kekhawatiran resesi ekonomi. Namun secara fundamental kondisi makroekonomi domestik tidak berubah, tetap suportif di mana momentum pemulihan ekonomi terus terjadi.
Meningkatnya aktivitas domestik dan harga komoditas yang suportif berdampak positif pada profitabilitas emiten dalam pasar saham. Ekspektasi target level IHSG MAMI, dapat mencapai 7600 dengan ekspektasi pertumbuhan earnings di kisaran 12 persen. Hal ini dapat menjadi katalis pasar ke depannya adalah apabila terdapat perbaikan sentimen pasar global seperti The Fed yang menjadi lebih dovish atau meredanya tekanan inflasi global secara konsisten.
Samuel Kesuma juga menuturkan bahwa pengelolaan reksa dana saham MAMI dilakukan secara aktif yang didasari oleh analisa fundamental dengan riset mendalam untuk membentuk portofolio yang optimal. MAMI menerapkan kerangka GCMV (growth, cashflow, management, valuation) dalam pemilihan saham untuk menyaring saham dengan fundamental yang baik dan tingkat valuasi yang atraktif.
“Untuk strategi portofolio, kami memiliki pandangan positif pada sektor yang menangkap potensi pertumbuhan struktural Indonesia di bidang pembangunan industri energi terbarukan dan ekonomi digital. Kami melihat eksposur di saham sektor komoditas dan teknologi dapat menangkap potensi Indonesia dalam tema ini.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News