Kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit perbankan akan berakhir pada Maret 2023. Artinya, tersisa waktu kurang lebih 7 bulan lagi. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperpanjang masa berlaku kebijakan countercyclical dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang seharusnya berakhir pada Maret 2022. Stimulus yang dikeluarkan sejak awal 2020 itu ditujukan untuk membantu perbankan dan para debitur yang mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19.
Menurut OJK, perpanjangan masa relaksasi kredit hingga 2023 dilakukan mengingat adanya perkembangan varian Delta dan pembatasan mobilitas sehingga perbankan butuh waktu lebih untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan bagi debitur untuk menata usahanya agar menghindari gejolak ketika stimulus berakhir. Per Juni 2022, nilai restrukturisasi kredit mencapai Rp576,17 triliun dari 2,99 juta debitur.
Nilai tersebut melandai dari posisi tertingginya yang sempat menembus Rp1.000 triliun pada tahun 2020. Bagi perusahaan asuransi, berakhirnya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini tentu berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, berakhirnya relaksasi kredit akan berpotensi memicu lonjakan klaim asuransi kredit akibat peningkatan kasus kredit macet alias non-performing loan (NPL). Di hadapan anggota Komisi XI DPR, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) HSM Widodo mengatakan berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit akan menjadi suatu hal yang berat bagi industri asuransi umum.
Menurut Widodo, perkembangan kredit perbankan yang masuk subprime loan dengan kualitas rendah yang risikonya dilempar ke asuransi ini justru yang memotori pertumbuhan kredit asuransi dalam beberapa tahun terakhir. “Di Maret 2020 dikatakan bahwa semua loan yang diberikan relaksasi itu dinyatakan statusnya lancar meski dengan catatan atau special mention. Saat relaksasi berhenti, loan yang special mention itu dan dengan loan at risk yang ada, itu dapat menjadi buruk dan mungkin bisa meningkatkan NPL,” katanya.
Sementara itu, jelas Widodo, rata-rata kontrak asuransi kredit adalah jangka panjang yaitu 10 tahun hingga 15 tahun sehingga mayoritas kontrak menghitung NPL yang lebih rendah yaitu di bawah 2 persen saat kontrak dibuat. Namun, saat ini actual NPL sudah berada di atas 3 persen, bahkan beberapa bank mencapai 3,9 persen. “Sufficiency dari premium yang diterima (perusahaan asuransi) sangat-sangat tidak cukup,” katanya.
Isu potensi ledakan klaim asuransi kredit ini pun telah menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. Dalam kesempatan CEO Gathering, OJK disebut berulangkali memperingatkan pelaku asuransi umum untuk melihat isu ini dan menyiapkan langkah-langkah mitigasi serta perbaikan.
Menurut Wakil Ketua Bidang Statistik, Riset, & Analisa AAUI Trinita Situmeang, asosiasi telah mengomunikasikan isu relaksasi kredit ini kepada para anggota baik perusahaan asuransi maupun perusahaan reasuransi untuk menyiapkan mitigasi risiko bila seandainya terjadi lonjakan klaim saat masa relaksasi berakhir. “Isu utama apakah nanti relaksasi selesai, klaimnya lantas akan datang? Apakah yang sudah dilakukan memadai? Apakah perusahaan bisa bertahan dengan gempuran (klaim) itu? Jadi ada halhal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh pemain asuransi kredit,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, asuransi kredit merupakan kontributor terbesar ketiga pendapatan premi asuransi umum dengan proporsi mencapai 14,6 persen. Hasil kajian IFG Progress Financial Research, unit think thank dari Indonesia Financial Group (IFG) menunjukkan penetrasi asuransi kredit di Indonesia meningkat pesat hingga dua kali lipat sepanjang 2016-2019. Penetrasi asuransi kredit di Indonesia yang massif tersebut terbilang anomali karena tidak terjadi di negara-negara lain. Bahkan market share premi asuransi kredit di negara advanced economies terbilang sangat rendah dan kurang berkembang secara market.
Ada lima tantangan industri asuransi kredit yang di-highlight oleh IFG Progress yaitu pertama, karakteristik dari produk asuransi kredit di Indonesia yang menyediakan kontrak jangka panjang yang mengunci pembayaran premi tunggal (single premium) sehingga kondisi perekonomian yang berubah dari waktu ke waktu tidak dipertimbangkan di dalamnya.
Kedua, asuransi kredit tidak melihat aspek underwriting loan oleh bank dan tidak menguasai risiko kredit. Ketiga, tidak menguasai kuantifikasi risiko yang ada, sehingga rating menjadi spekulatif. Keempat, infrastruktur seperti sistem IT dan database yang digunakan belum memadai untuk dapat melakukan proses administrasi klaim yang efisien dan pencadangan dengan baik. Kelima, adanya informasi asimetris yang merupakan penyebab terjadinya moral hazard.
Semoga berbagai upaya mitigasi dan antisipatif yang telah dilakukan oleh pelaku asuransi kredit saat ini dapat membuat soft landing saat masa relaksasi restrukturisasi kredit berakhir.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News