Media Asuransi, JAKARTA – Climate change atau perubahan iklim menjadi salah satu tantangan pembangunan saat ini dan masa mendatang.
Di tahun ini kita telah melihat dampak perubahan iklim yang semakin menghancurkan, seperti tragedi manusia dan pergolakan ekonomi dengan topan di Bangladesh, banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya di Pakistan, gelombang panas di Eropa, kebakaran hutan di Amerika Utara, sungai kering di Cina, dan kekeringan di Afrika.
Pembahasan perubahan iklim biasanya dikaitkan dengan efek rumah kaca. Suatu keadaan dimana atmosfir bumi berfungsi seperti atap kaca. Sinar matahari bisa menembus masuk, namun panasnya tidak dapat keluar dari rumah kaca tersebut.
Atmosfir bumi meningkat akibat kandungan yang ada dalam rumah kaca seperti karbondioksida dan metan yang mempunyai kemampuan untuk menangkap sinar infra merah dari sinar matahari yang direfleksikan oleh bumi.
|Baca juga: Inflasi dan Perubahan Iklim Picu Kenaikan Premi Asuransi di AS
Karena itu semakin besar jumlah rumah kaca semakin panas suhu di bumi kita. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya temperatur dan mengakibatkan pemanasan global. Professor Kerry Emanuel, ahli meteorologi di Massachusetts Institute of Technology, AS, juga berpendapat bahwa ancaman badai meningkat karena pemanasan global.
Perubahan iklim menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas dan menjadi fokus bagi para ahli. Dampaknya sudah kita rasakan. Hingga tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon hingga 26% pada tahun 2020. Keseriusan pemerintah sudah selayaknya disambut baik. Ini karena dampak perubahan iklim merupakan risiko yang bisa terjadi pada seluruh umat manusia.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perubahan iklim bisa berpengaruh pada pola kehidupan manusia. Dari segi kesehatan, meningkatnya gelombang panas bisa menyebabkan serangan panas (heat stroke), kardiovaskuler, dan gangguan pernapasan. Pola curah hujan yang beragam akan mengganggu ketersediaan air bersih. Pada akhirnya bisa menimbulkan penyakit kolera dan wabah diare.
Melelehnya lempengan es di Antartika akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut hingga 1,4 meter pada akhir abad ke-21. Akibatnya, terjadi rob di pesisir. Efek selanjutnya adalah menciptakan perpindahan penduduk, potensi kehilangan pekerjaan, dan berdampak negatif pada sosial-ekonomi.
Dampak perubahan iklim juga mengakibatkan nelayan yang tidak dapat melaut karena perubahan cuaca ekstrim. Juga petani yang gagal panen karena curah hujan yang berlebihan atau kemarau yang berkepanjangan. Termasuk daerah pemukiman yang terus tergenang banjir, yang tidak lagi menjadi layak huni.
|Baca juga: Waspada, Cuaca Ekstrem Bisa Menimbulkan Penyakit Berbahaya Ini
Menurut para ahli di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada tahun 1950 penduduk di kota-kota di Asia lebih dari 231 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2050 nanti, diperkirakan akan mencapai 3,5 miliar manusia. Ini berarti ancaman bencana terhadap kehidupan manusia akan makin besar.
Apakah perubahan iklim penting bagi usaha asuransi?
Tentu saja. Usaha asuransi adalah suatu jenis usaha pengelolaan risiko. Utamanya adalah bentuk pengelolaan suatu kejadian yang tidak bisa diketahui kapan, di mana dan akan seperti apa dampaknya. Risiko dari ketidakpastian semacam inilah yang ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Karena mengelola ketidakpastian, maka diperlukan kehati-hatian di dalam pengelolan risiko. Segala hal yang berkaitan dengan peningkatan suatu risiko (hazard) sudah selayaknya menjadi perhatian kalangan industri asuransi, baik asuransi umum maupun asuransi jiwa.
Bencana adalah peristiwa yang tidak pasti. Awalnya, kerugian bencana tak bisa diasuransikan karena kerugiannya bersifat katastrop, yakni sangat besar. Namun kemudian bencana menjadi bagian penting dalam industri asuransi. Tiap ada bencana, kerugian bisa bersifat korban jiwa, luka badan, kerusakan materi dan penderitaan.
Tiap kali ada bencana, industri asuransi termasuk yang menanggung kerugian besar. Badai Katrina yang melanda Amerika Serikat, Teluk Meksiko, Bohamasa, dan Atlantik Utara pada 25 Agustus 2005 disebut-sebut sebagai bencana dengan klaim asuransi terbesar di dunia sepanjang periode 1970-2011, yakni mencapai 74.686 dolar AS.
|Baca juga: Benny Waworuntu: Asuransi Parametrik Bisa Digunakan atau Dikembangkan
Disusul gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 yang memaksa industri asuransi menggelontorkan klaim tidak kurang dari 35.000 dolar AS. Bencana alam lainnya yang tidak kalah besar klaimnya adalah Badai Andrew di Amerika Serikat dan Bahamas yang menelan dana 25.641 dolar AS, serta serangan teroris yang dikenal dengan peristiwa 9 September 2001 di Amerika Serikat yang membukukan klaim sebesar 23.848 dolar AS. Swiss Re, Sigma No 2/2012, juga mencatat Gempa bumi Northridge di Amerika Serikat pada 17 Januari 1994 sebagai bencana dengan jumlah klaim terbesar kelima di dunia, yakni 21.239 dolar AS.
Klaim-klaim besar tersebut didominasi badai, banjir dan topan. Semuanya terkait perubahan iklim, kecuali gempa bumi dan serangan teroris 9/11. Klaim di atas tentu saja belum memasukkan badai Sandy pada akhir Oktober 2012 di wilayah sekitar Amerika Serikat. Dahsyatnya badai tersebut merenggut banyak nyawa dan memporak-porandakan properti.
Setiap ada bencana yang menghasilkan klaim besar, efeknya tak cuma dirasakan oleh perusahaan/industri asuransi. Tetapi juga ditanggung oleh pemegang polis (tertanggung). Industri asuransi adalah industri yang saling terkoneksi jaringan global. Hal ini karena ada sistem reasuransi. Klaim asuransi yang terjadi di suatu belahan dunia, akan dirasakan juga oleh belahan dunia lainnya.
Ada market cycle di industri asuransi dan reasuransi global. Bila ada klaim besar, maka dipastikan akan terjadi kenaikan premi (re)asuransi dunia. Inilah yang terjadi pascabadai Katrina, Wilma, dan Rita tahun 2005.
Industri asuransi global butuh recovery pascaklaim besar. Setelah labanya tergerus karena bayar klaim besar, maka butuh pemasukan untuk mengembalikan laba bisnisnya. Caranya dengan menaikkan premi asuransi bencana. Ini yang disebut sebagai kondisi ‘hard market’.
Tak cuma premi yang naik. Reasuransi dunia sering menerapkan limit atau batasan besarnya klaim atau menaikkan risiko sendiri (deductible). Siapa yang menanggung dampak negatif tersebut? Perusahaan asuransi dan tertanggung.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News