1
1

Walau Dalam Tekanan, Pasar Obligasi Indonesia Masih Resilien

Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Ezra Nazula. | Foto: doc

Media Asuransi, JAKARTA – Imbal hasil US Treasury yang turun ke bawah 4 persen dan arus masuk terjadi, membawa penurunan imbal hasil yang cukup signifikan. Walau demikian, obligasi domestik sedang menghadapi lebih banyak tantangan, terutama akibat tren kenaikan suku bunga acuan. Namun, sampai saat ini pergerakan pasar obligasi Indonesia masih akan relatif resilien.

Di awal November pasar obligasi dunia kembali bergejolak seiring meningkatnya imbal hasil US Treasury sampai ke level 4,17 persen. Komentar Ketua Fed, Jerome Powell, pada rapat FOMC di awal bulan November membuat volatilitas pasar finansial dunia kembali meningkat.

Sesuai ekspektasi, The Fed masih menerapkan –dan menyatakan akan melanjutkan– kebijakan restriktif untuk memerangi inflasi. Namun yang menjadi pembeda, The Fed menyampaikan bahwa peningkatan suku bunga dapat berjalan lebih gradual, memberikan kesempatan pada ekonomi untuk merespons kenaikan sebelumnya, namun puncak suku bunga dapat lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya.

Sisi positifnya, kenaikan suku bunga secara gradual memberikan ruang bagi ekonomi untuk melakukan penyesuaian secara bertahap dan kebijakan moneter bisa menjadi lebih fleksibel. Namun sisi negatifnya, terminal rate atau puncak kenaikan suku bunga menjadi lebih tinggi. Saat ini pasar memperkirakan terminal rate meningkat menjadi 5,0 persen – 5,1 persen di bulan Mei 2023, dari perkiraan sebelumnya 4,8 persen – 4,9 persen di bulan Maret 2023.

|Baca juga: Kondisi Pasar Obligasi Indonesia Saat Ini Dinilai Undervalued

“Walaupun demikian, kami memperkirakan The Fed dapat saja berubah haluan menjadi lebih akomodatif. Terutama jika data-data ekonomi mulai beralih ke arah pelemahan dan inflasi turun secara konsisten,” kata Director & Chief Investment OfficerFixed Income, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI). Ezra Nazula, dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 29 November 2022.

Laju inflasi Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami penurunan, meskipun masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata historis selama ini. Dari sisi permintaan, dampak suku bunga tinggi dan likuiditas yang semakin ketat berpotensi menekan laju konsumsi masyarakat. Sementara sisi pasokan, salah satu faktor utama yang membuat inflasi melonjak, terus menunjukkan perbaikan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia.

“Data terkini seperti volume bongkar muat dan biaya pengapalan kontainer terus menurun dan kelangkaan barang di sektor ritel sudah membaik. Kondisi ini diharapkan dapat menyebabkan ekspektasi turunnya tekanan inflasi,” kata Ezra Nazula.

Dia tambahkan, hal ini sudah mulai terlihat dari data inflasi umum Oktober yang turun ke level 7,7 persen year on year (yoy) dibandingkan 8,2 persen yoy sebulan sebelumnya. Inflasi inti, yang tidak mengikutsertakan komponen volatil seperti pangan dan energi, juga turun ke 6,3 persen yoy dari 6,6 persen sebulan sebelumnya.

Data-data terakhir ini disambut baik pasar obligasi dunia dan domestik. Imbal hasil US Treasury turun ke bawah 4 persen, dan arus masuk terjadi pada pasar obligasi domestik, membawa penurunan imbal hasil yang cukup signifikan. “Walaupun kesinambungannya ke depan masih perlu dicermati, setidaknya terlihat pengetatan moneter dan upaya pengendalian inflasi yang dilakukan The Fed mulai membuahkan hasil,” tutur Ezra.

|Baca juga: Mirae: Prospek IPO Saham dan Obligasi Diperkirakan Bakal Tinggi

Sementara itu, sjalan dengan laju pengetatan The Fed, Bank Indonesia turut melakukan penyesuaian suku bunga untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan menopang Rupiah. Pengendalian inflasi yang lebih baik terlihat dari berubahnya target normalisasi inflasi inti 3±1 persen yang dipercepat dari paruh kedua ke paruh pertama 2023. Meskipun BI menyatakan prioritasnya untuk menjaga stabilitas nilai tukar, namun momentum pertumbuhan ekonomi masih tetap diperhatikan.

Proyeksi pertumbuhan PDB 2023 di kisaran 4,6 persen hingga 5,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global maupun negara berkembang lainnya. Inflasi yang relatif terkendali dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum beroperasi di atas potensinya membuat Bank Indonesia tidak perlu serestriktif negara-negara lain.

Ezra Nazula menjelaskan bahwa komunikasi yang terbuka dari bank sentral terkait kebijakan moneter yang akan ditempuh membuat pergerakan aset finansial seperti imbal hasil obligasi menjadi lebih selaras dengan kondisi yang ada. Walaupun seberapa besar tepatnya informasi tersebut sudah tercermin pada harga sulit diukur, karena ini adalah suatu kondisi yang berkesinambungan berubah sejalan dengan dinamika pasar.

Ekspektasi yang sudah lebih selaras ini berpotensi mengurangi faktor ketidakpastian, kejutan dan volatilitas. Valuasi pasar saat ini sepertinya telah mempertimbangkan kondisi terburuk, contohnya imbal hasil UST naik ke level tertinggi sejak tahun 2007 dan valuasi pasar saham Asia telah turun di bawah -1 standar deviasi, level yang sama tercapai ketika konflik dagang di 2018 dan pandemi Covid-19 di 2020. “Kondisi ini tentu membuka peluang investasi yang menarik terutama bagi investor dengan jangka waktu investasi panjang,” jelasnya.

Saat ini kelas aset obligasi domestik sedang menghadapi lebih banyak tantangan. Terutama jika mengacu pada teori umum bahwa pergerakan suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik, sedangkan saat ini adalah siklus kenaikan suku bunga.

|Baca juga: Jumlah Investor Pasar Modal Mencapai 9,76 Juta  

Namun Ezra mengingatkan agar kita tidak mengabaikan faktor-faktor lainnya yang juga berpengaruh. “Sampai saat ini pergerakan pasar obligasi Indonesia masih akan relatif resilien didukung oleh fundamental makro ekonomi Indonesia yang baik, likuiditas domestik yang masih tinggi, aksi jual asing yang lebih terbatas karena kepemilikannya yang semakin rendah yakni kurang dari 15 persen, dan target penerbitan obligasi yang lebih rendah di kuartal keempat,” tuturnya.

Menurut dia, diperlukan strategi investasi yang tepat guna mendorong kinerja portofolio yang optimal. “Pengelolaan akan didasari pada pendekatan top-down, analisa makro ekonomi global dan domestik dan kekuatan analisa bottom-up, untuk pembentukan portofolio yang optimal,” katanya.

Ezra menambahkan, strategi investasi akan memperhatikan tiga aspek. Pertama, duration management.Mengedepankan pengelolaan aktif dan stabilitas kinerja, durasi portofolio akan sangat dinamis. Overweight atau underweight terhadap tolok ukur, bergantung dari tinjauan terhadap prospek pasar.

Kedua, security selection. Melakukan penempatan pada tenor tertentu yang memberikan spread imbal hasil yang menarik. Ketiga, yield enhancement. Memaksimalkan potensi imbal hasil pada porsi kas portofolio dengan melakukan penempatan pada obligasi korporasi tenor kurang dari 1 tahun dengan tingkat kelayakan kredit yang kuat dan terpercaya.

“Di samping itu kami juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali,” jelas Ezra.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Market Brief: Dow Jones Merosot, Imbas Kerusuhan di China
Next Post Outlook Ekonomi Indonesia Masih Positif

Member Login

or