Media Asuransi, JAKARTA– Gempa bumi Turki dan Suriah dengan kekuatan 7,8 magnitudo pada 6 Februari 2023 yang menelan banyak korban manusia dan harta benda bakal memperpanjang masa terjadinya hardening market global di indutri perasuransian. Kejadian ini juga mengingatkan bagi para pelaku industri asuransi dan reasuransi untuk selalu mengedepankan prudent underwriting dan portfolio manajemen yang mumpuni. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Teknik Indonesia Re Delil Khairat kepada Media Asuransi, Senin, (7/2).
“Melihat skala gempa Turki yang terjadi dua kali dengan skala 7,5 magnitude dan 7,8 magnitude mengguncang daerah cukup padat yang menimpa 11 kota di Turki dan sampai di perbatasan Suriah termasuk kota-kota di Suriah, kemungkinan besar severity event ini besar sekali, yang meninggal menurut laporan BBC siang tadi sudah mencapai lima ribu dan kemungkinan akan naik,” jelas Delil.
Gempa dengan skala sebesar itu di Turki, lanjut Delil, insured loss–nya akan besar. Ini menegaskan kembali tahun ini kita mulai dengan major nat cat (natural catastrophic ) loss yaitu earthquake di Turki dan Suriah, tentu saja dampaknya pada hard market yang terjadi pada insurance market tentu saja bisa memperlama hard market ini atau mungkin juga tergantung pada skala insured loss-nya. “Entah apakah loss ini mampu juga membuat kenaikan price signifikan setidaknya di regional Eropa middle East atau mungkin membuat terbatasnya kapasitas terutama untuk nat cat, tapi secara umum ini berdampak dan memperlama terjadinya hard market,” paparnya.
|Baca juga: Hadapi Hardening Market, Indonesia Re Dorong Knowledge Based Businesss di Industri Asuransi dan Reasuransi
Ia juga menjelaskan bahwa Turki merupakan negara yang sangat rawan gempa karena terletak pada pertemuan lempeng bumi dan Turki juga salah satu negara yang cukup padat dan aset yang besar. “Sehingga, jika terjadi gempa besar tentu akan membawa kerugian ekonomi dan insured loss yang besar. “Dan, di Turki 10 tahun terakhir sudah banyak terjadi loss–loss gempa bumi,” terangnya.
Dituturkan oleh Delil bahwa gempa Turki 7,8 magnitude kali ini tergolong sangat besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, gempa serupa ini sudah pernah terjadi di Turki pada Desember 1939 yang menwarkan 30 ribu orang. Di Turki 10 sampai 20 tahun terakhir sering terjadi gempa berkekuatan besar. Misalnya, pada Oktober 2020 dengan magnitude 7 tapi hanya menewaskan 24 orang. Januari 2020 gempa 6,7 di Turki bagian Timur meninggal 22 orang, kemudian Oktober 2011 7,2 di Turki bagian Timur menewaskan 138 orang, pada Maret 2010 gempa 6,0. di Turki bagian Timur ada 51 orang meninggal. “Cukup besar pada Agustus 1999 di Turki bagian Barat 7,4 sebanyak 17 ribu orang tewas,” ujarnya.
Kejadian gempa Turki ini menjadi warning bagi pelaku perasuransian Indonesia bahwa nat cat bisa membawa kerugian yang masif seperti ini. Kita juga tidak pernah lupa bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap gempa bumi karena posisinya berada di ring of fire. Artinya siapapun yang meng-underwrite risiko terkait natural catastrophe terutama gempa bumi maka harus memperhatikan pengelolaan risiko dan memastikan bahwa besaran eksposure yang diproteksi oleh setiap perusahan asuransi dan reasuransi itu termonitor terpantau sepanjang waktu, serta memastikan bahwa portfolio itu terproteksi secara memadai atas nat cat dari program reasuransi atau retrosesi.
“Dan, perlu memastikan harga premi, rate, term and condition penutupan gempa bumi dan bencana-bencana alam lainnya dipastikan juga adequate dan sustainable untuk menghadapi kemungkinan loss yang mungkin terjadi,” tutup Delil.
Editor: Wahyu Widiastuti
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News