Media Asuransi, JAKARTA – Banyaknya artis nasional yang diajukan untuk menjadi calon anggota legislatif menjadi sorotan. pencalonan tokoh publik dalam pesta demokrasi merupakan proses instan dan tidak memberikan dampak positif bagi demokrasi itu sendiri.
Menurut Adrian Wijanarko, Direktur Penelitian Paramadina Public Policy (PPPI) dari Universitas Paramadina, saat ini banyak partai politik yang memilih cara ‘instan’ untuk merebut hati masyarakat. “Bukan lebih fokus dalam menjual jual ide, partai politik lebih memilih popularitas sebagai cara singkat untuk mendapatkan suara terbanyak,” katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Kamis, 1 Juni 2023.
Dia tuturkan, setidaknya ada 10 partai politik yang telah mendaftarkan tokoh publik figur ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari 10 partai politik tersebut, Partai Amanat Nasional (PAN) menjadi partai politik yang paling banyak nama artis dalam bursa calon legislatif Pemilu 2024. Partai PDIP, Perindo, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, Golkar, PSI, dan PKS juga tercatat mendaftarkan publik figur ke KPU
|Baca juga: Anggota DPR Minta Peraturan KPU tentang Keterwakilan Perempuan Tidak Diubah
Menurut Adrian, pada pemilu sebelumnya, strategi ini dirasa cukup sukses. Terbukti beberapa tokoh publik figur yang akhirnya melenggang terpilih menjadi anggota dewan dan beberapa kepada daerah. Walau demikian, dia mengutarakan bahwa hal ini merupakan cara yang tidak berkelanjutan dan tidak memberikan nilai yang signifikan terhadap demokrasi itu sendiri.
Adrian membandingkan pemilu dengan kegiatan beauty pageant atau kontes kecantikan. Kontes kecantikan hanya menekankan pada atribut fisik dan popularitas para kontestan. Namun berbeda dengan kontes kecantikan, demokrasi akan berkaitan dengan masa depan kehidupan masyarakat.
“Memilih representasi dengan pertimbangan bahwa representasi lebih populer merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Aspek popularitas merupakan aspek terakhir yang harus dipikirkan dalam memilih representasi dalam pemilihan umum. Aspek latar belakang, program dan kebijakan yang diusung harusnya menjadi pertimbangan dalam pemilihan umum.” tutur Adrian
Dia menilai bahwa kegiatan marketing yang dilakukan partai politik merupakan bentuk kegiatan yang positif karena akan memperkenalkan ide politik yang kemudian dapat diterima oleh masyarakat serta menciptakan suasana demokratis.
Namun, marketing politik juga dapat menciptakan peluang negatif. Partai politik dapat menggunakan kegiatan marketing tanpa memiliki ide atau gagasan yang jelas. Akibat tidak ada ide atau gagasan yang jelas membuat masyarakat akan merasakan ketidakpuasan terhadap tokoh yang dipilih dalam pemilu. Tentu secara jangka panjangnya adalah rasa apatisme yang meningkat terhadap kegiatan demokrasi.
|Baca juga: KPU Perlu Awasi Ketat Kampanye Digital di Media Sosial
“Partai politik yang gemar menggunakan pamor publik figur sebagai bentuk marketing untuk mendapatkan banyak suara di masyarakat merupakan salah satu bentuk kegiatan marketing yang tidak memiliki ide atau gagasan yang jelas. Ini berbeda kalau figure publik yang diajukan sudah melakukan proses kaderisasi partai secara jangka Panjang,” jelasnya.
Adrian mengungkapkan marketing politik harus berlandaskan pada ide politik yang ditawarkan itu sendiri. Tanpa ada ide politik yang jelas, kegiatan marketing akan tidak maksimal. Kegiatan marketing tanpa ada ide politik yang jelas ini hanya akan mengandalkan pada popularitas semata. Terlebih yang diusung dalam pemilihan umum adalah figure publik yang direkrut secara praktis, bukan tokoh yang lahir dari proses kaderisasi partai yang jelas.
Ditambahkan bahwa ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk memutus fenomena kontes kecantikan dalam pemilu. Solusi pertama yang Adrian tawarkan adalah untuk melakukan pencarian informasi secara dalam terhadap calon representatif. Pastikan bahwa sosok yang yang dipilih memiliki program yang baik dan tidak hanya mengandalkan popularitas semata. “Kalau memang tidak dapat mengikuti semua kegiatan representatif tersebut, minimal kita dapat melakukan pencarian melalui google yang tidak akan memakan waktu lama,” katanya.
Solusi kedua adalah melakukan literasi tentang demokrasi kepada masyarakat. Peningkatan literasi demokrasi akan menjadikan kualitas demokrasi yang dihasilkan akan lebih berkualitas. Adrian menambahkan bahwa pemilihan yang menitikberatkan pada popularitas tidak akan memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Oleh karena itu dia mengajak masyarakat menjadi pemilih yang cerdas dalam proses demokrasi.
“Tentu kita harus membuat situasi yakni diskusi politik dan demokrasi adalah kegiatan normal di masyarakat dan keluarga. Perbedaan pola pandang politik merupakan sesuatu yang wajar dan perlu dihargai. Kedewasaan dalam memandang perbedaan merupakan hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan literasi demokrasi kepada masyarakat,” ungkap Adrian.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News